17 Fakta Mbah Qodir, Begawan Qur’an Penerus Mbah Munawwir Krapyak.
1. Mbah Qodir meneruskan estafet tanggung jawab ayahnya dalam usia 18 tahun. Meskipun masih muda, namun apa yang telah beliau dapatkan dari guru-guru beliau, khususnya Mbah Munawwir Krapyak dan Mbah Dalhar Watucongol, sudah cukup sebagai bekal, khususnya dalam hal pengajian Quran.
2. Mbah Qodir bergelar ‘raden’, sebab ibu beliau, Ny. R. Ayu Mursyidah, merupakan keluarga Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, istri pertama dari Mbah Munawwir, pendiri Pesantren Krapyak Yogyakarta. Maka beliau akrab disapa dengan panggilan ‘Den Qodir’. Beliau lahir pada tahun 1919 M.
3. Mbah Qodir dipuji Mbah Hamid Pasuruan sebagai sosok putra yang sangat mengerti dan memahami keberadaan orangtuanya, nampu menyerap ilmu dari orangtuanya, mengabulkan apa yang menjadi harapan orangtuanya, mampu menggantikan serta meneruskan perjuangan orangtuanya, mampu meneladani sifat-sifat serta kepribadian orangtuanya yang mulia.
4. Mbah Qodir menikah pada usia 25 tahun dengan Ny. Hj. Salimah Nawawi (Jejeran), diakadkan oleh Mbah Manshur Popongan yang merupakan mursyid Thoriqoh Naqsyabandiyah Kholidiyyah. Di kemudian hari putra beliau, Kiai Najib, menikah dengan cucu Mbah Manshur Popongan.
5. Mbah Qodir melanjutkan metode pengajian Quran sebagaimana di zaman Mbah Munawwir. Santri yang ingin menghapal Quran disyaratkan terlebih dahulu membacanya di hadapan kiai dengan melihat mushaf secara baik dan benar.
6. Mbah Qodir menerapkan standar yang cukup ideal. Santri yang diijinkan mengikuti prosesi wisuda khataman sebagai hafizh adalah santri yang sudah mampu membaca 30 juz dengan sempurna dalam posisi sebagai imam tunggal dalam shalat tarawih, yang dilaksanakan selama 20 malam pada bulan Ramadhan.
7. Mbah Qodir biasa melakukan ujian mendadak. Saat santri hendak setoran hapalan, kadang beliau langsung membaca sebagian ayat Qur’an kemudian menunjuk salah satu santri untuk melanjutkannya.
8. Mbah Qodir menerapkan program semacam ujian semester yang dilaksanakan pada bulan Rabi’ul Awwal dan Sya’ban. Kalau ada juz yang sudah didapat ternyata tidak semuanya lancar, maka beliau memerintahkan untuk menyetorkan kembali juz yang belum lancar tersebut, dan tidak diperkenankan menambah lagi.
9. Mbah Qodir memulai aktivitas harian dari jam tiga dini hari. Beliau bangun, kemudian membangunkan salah satu santri ndalem untuk diajak shalat tahajjud. Kemudian membaca Quran hingga menjelang subuh, lalu membangunkan para santri.
10. Mbah Qodir mengajar Quran para santri putra selesai zikir pagi sampai jam tujuh pagi. Istirahat sebentar, lalu mengajar Quran santri putri. Lepas zhuhur, sekitar jam setengah dua siang, beliau kembali mengajar Quran di masjid. Kali ini lebih bersifat umum, ada yang menghapal dan ada yang tidak, tidak hanya para santri tetapi juga masyarakat umum, hingga jam setengah lima sore. Jam sembilan malam beliau mengajar qiraah sab’iyyah kepada beberapa santri tertentu.
11. Mbah Qodir biasa mengkhatamkan Quran saat bepergian. Pernah beliau bepergian bersama santri untuk berziarah di sekitar Bantul. Berangkat ba’da Ashar, dimulai dari makam Dongkelan kemudian meluncur ke makam Sewu. Lalu beristirahat di Giriloyo jam sepuluh malam. Pagi harinya melanjutkan perjalanan. Sesampainya di Gesikan, persis di musholla agak kecil, beliau berhenti untuk membaca tahlil dan doa Khotmil Quran. Lalu kembali ke Krapyak.
12. Mbah Qodir juga mengisi pengajian di pelosok-pelosok kampung di Yogyakarta, termasuk sima’an rutin Ahad Pahing setiap bulan yang dilaksanakan secara bergilir dari satu tempat ke tempat lain di wilayah Bantul. Juga aktif di Nahdlatul Ulama, Jam’iyyatul Qurro’ wal Huffadz Pusat, serta Majlis Pentashih Quran.
13. Mbah Qodir tak begitu memedulikan kesenangan duniawi. Beliau tak pernah menghitung harta bendanya. Namun setiap kebutuhan hidup keluarga beliau senantiasa tercukupi, bahkan istri beliau diperintahkan untuk mengambil sendiri berapapun banyaknya yang dibutuhkan tanpa sepengetahuan beliau.
14. Mbah Qodir seringkali ikut mengaji bersama para santri kepada santri beliau sendiri, membawa dan maknani kitabnya sendiri dalam pengajian kitab-kitab kuning. Tentunya, santri yang dimaksud telah mendapat mandat dari beliau dan dianggap sudah mumpuni dalam mengajarkan kitab.
14. Mbah Qodir sangat menyayangi orang fakir dan anak yatim. Beliau senantiasa menyempatkan waktu untuk menghadiri undangan, terlebih kalau pihak yang mengundang berasal dari keluarga tidak mampu.
15. Mbah Qodir mengalami sakit diabetes yang menyebabkan kesehatan beliau menurun. Meskipun beliau hanya mampu berbaring, pengajian Quran tetap berlangsung seperti biasanya, hingga akhirnya betul-betul parah dan mengharuskan beliau dirawat di rumah sakit.
16. Mbah Qodir masih sempat mengkhatamkan Quran 30 juz untuk sekali lagi dan terakhir kalinya saat kritis di rumah sakit.
17. Mbah Qodir wafat pada Kamis malam Jum’at Kliwon, 2 Februari 1961, di RS Panti Rapih, dalam usia 42 tahun. Saat itu, beliau wafat meninggalkan seorang istri dan lima putra-putri; Ummi Salamah (9 tahun) Muhammad Najib (6 tahun, kini pengasuh Pesantren Al-Munawwir Krapyak), Munawwaroh (4 tahun), Abdul Hamid (2 tahun, kini pengasuh Pesantren Ma’unah Sari Bandar Kidul – Kediri), dan Abdul Hafidz (6 bulan dalam kandungan, kini telah wafat).
Demikian tentang 17 Fakta Mbah Qodir, Begawan Qur’an Penerus Mbah Munawwir Krapyak, semoga bermanfaat.
*Diolah dari buku Romo Kyai Qodir; Pendiri Madrosatul Huffadh Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta susunan Gus Mas’udi Fathurrohman.
Foto; putra-putra Mbah Qodir, dari kiri ke kanan; almarhum KHR. Abdul Hafizh, KHR. Abdul Hamid, dan KHR. Muhammad Najib.
Penulis: Zia Ul Haq, santri Kiai Najib Abdul Qodir.