2035. MAKALAH : Berhati-hatilah dalam berfatwa

Salah satu tanda-tanda akhir zaman adalah akan bermunculan fitnah dari orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah dari Bani Tamim An Najdi yakni orang-orang yang berfatwa tanpa ilmu.

Telah menceritakan kepada kami Isma’il bin Abu Uwais berkata, telah menceritakan kepadaku Malik dari Hisyam bin ‘Urwah dari bapaknya dari Abdullah bin ‘Amru bin Al ‘Ash berkata; aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu sekaligus mencabutnya dari hamba, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para ulama hingga bila sudah tidak tersisa ulama maka manusia akan mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh, ketika mereka ditanya mereka berfatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan menyesatkan (HR Bukhari 98)

Bacaan Lainnya

Orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah dari Bani Tamim An Najdi adalah orang-orang yang pemahamannya telah keluar (kharaja) dari pemahaman mayoritas kaum muslim (as-sawad al a’zham) yang disebut juga dengan khawarij. Khawarij adalah bentuk jamak (plural) dari kharij (bentuk isim fail) artinya yang keluar.

Orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah dari Bani Tamim An Najdi yakni orang-orang yang membaca Al Qur`an dan mereka menyangka bahwa Al Qur`an itu adalah (hujjah) bagi mereka, namun ternyata Al Qur`an itu adalah (bencana) atas mereka

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda: “Dari kelompok orang ini (orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah dari Bani Tamim Al Najdi), akan muncul nanti orang-orang yang pandai membaca Al Qur`an tetapi tidak sampai melewati kerongkongan mereka, bahkan mereka membunuh orang-orang Islam, dan membiarkan para penyembah berhala; mereka keluar dari Islam seperti panah yang meluncur dari busurnya. Seandainya aku masih mendapati mereka, akan kumusnahkan mereka seperti musnahnya kaum ‘Ad.” (HR Muslim 1762)

Kalimat yang artinya “mereka yang membaca Al Qur’an tetapi tidak sampai melewati kerongkongan” adalah kalimat majaz . “Tidak melewati kerongkongan” kiasan dari “tidak sampai ke hati” artinya mereka membaca Al Qur’an namun tidak menjadikan mereka berakhlakul karimah.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Sesungguhnya aku diutus (Allah) untuk menyempurnakan Akhlak.” (HR Ahmad)

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang bertambah ilmunya tapi tidak bertambah hidayahnya, maka dia tidak bertambah dekat kepada Allah melainkan bertambah jauh

Semakin banyak mengenal Allah (ma’rifatullah) melalui ayat-ayat-Nya qauliyah dan kauniyah, maka semakin dekat hubungan dengan-Nya. Ilmu harus dikawal hidayah. Tanpa hidayah, seseorang yang berilmu menjadi sombong dan semakin jauh dari Allah ta’ala. Sebaliknya seorang ahli ilmu (ulama) yang mendapat hidayah (karunia hikmah) maka hubungannya dengan Allah ta’ala semakin dekat sehingga meraih maqom disisiNya.
Sebagaimana diperibahasakan oleh orang tua kita dahulu bagaikan padi semakin berisi semakin merunduk, semakin berilmu dan beramal maka semakin tawadhu, rendah hati dan tidak sombong.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Akan muncul suatu sekte/firqoh/kaum dari umatku yang pandai membaca Al Qur`an. Dimana, bacaan kalian tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan bacaan mereka. Demikian pula shalat kalian daripada shalat mereka. Juga puasa mereka dibandingkan dengan puasa kalian. Mereka membaca Al Qur`an dan mereka menyangka bahwa Al Qur`an itu adalah (hujjah) bagi mereka, namun ternyata Al Qur`an itu adalah (bencana) atas mereka. Shalat mereka tidak sampai melewati batas tenggorokan. Mereka keluar dari Islam sebagaimana anak panah meluncur dari busurnya”. (HR Muslim 1773)

Kalimat yang artinya “Shalat mereka tidak sampai melewati batas tenggorokan” adalah kalimat majaz . “Tidak melewati batas kerongkongan” kiasan dari “tidak sampai ke hati” maknanya sholat mereka tidak sampai ke hati yakni sholatnya tidak mencegah dari perbuatan keji dan mungkar sehingga mereka semakin jauh dari Allah ta’ala

Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang shalatnya tidak mencegah dari perbuatan keji dan mungkar, maka ia tidak bertambah dari Allah kecuali semakin jauh dariNya” (diriwayatkan oleh ath Thabarani dalam al-Kabir nomor 11025, 11/46)

Firman Allah ta’ala yang artinya “Sesungguhnya shalat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar” (QS al Ankabut [29]:45).

Orang-orang seperti Dzul Khuwaisarah at Tamimi an Najdi atau khawarij karena pemahaman mereka telah keluar (kharaja) dari pemahaman mayoritas kaum muslim (as-sawad al a’zham) sehingga berani menghardik Sayyidina Ali bin Abi Thalib telah berhukum dengan thagut, berhukum dengan selain hukum Allah.

Semboyan kaum khawarij pada waktu itu adalah “La hukma illah lillah”, tidak ada hukum melainkan hanya dari Allah. Sayyidina Ali ra menanggapi semboyan tersebut berkata , “kalimatu haqin urida bihil batil” (perkataan yang benar dengan tujuan yang salah).
Kaum khawarij salah memahami firman Allah ta’ala yang artinya, “Dan barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir”. (QS: Al-Maa’idah: 44). Kesalahpahaman kaum khawarij sehingga berkeyakinan bahwa Imam Sayyidina Ali ra telah kafir dan berakibat mereka membunuh Sayyidina Ali ra

Abdurrahman ibn Muljam adalah seorang yang sangat rajin beribadah. Shalat dan shaum, baik yang wajib maupun sunnah, melebihi kebiasaan rata-rata orang di zaman itu. Bacaan Al-Qurannya sangat baik. Karena bacaannya yang baik itu, pada masa Sayyidina Umar ibn Khattab ra, ia diutus untuk mengajar Al-Quran ke Mesir atas permintaan gubernur Mesir, Amr ibn Al-’Ash. Namun, karena ilmunya yang dangkal (pemahamannya tidak melampaui tenggorokannya) , sesampai di Mesir ia malah terpangaruh oleh hasutan (gahzwul fikri) orang-orang Khawarij yang selalu berbicara mengatasnamakan Islam, tapi sesungguhnya hawa nafsu yang mereka turuti. Ia pun terpengaruh. Ia tinggalkan tugasnya mengajar dan memilih bergabung dengan orang-orang Khawarij sampai akhirnya, dialah yang ditugasi menjadi eksekutor pembunuhan Imam Sayyidina Ali ra.

Orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah At Tamim An Najdi yakni orang-orang muda yang suka berdalil atau berfatwa dengan Al Qur’an dan Hadits namun salah paham.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Akan keluar suatu kaum akhir jaman, orang-orang muda yang pemahamannya sering salah paham. Mereka banyak mengucapkan perkataan “Khairil Bariyyah” (maksudnya: suka berdalil dengan Al Qur’an dan Hadits). Iman mereka tidak melampaui tenggorokan mereka. Mereka keluar dari agama sebagaimana meluncurnya anak panah dari busurnya. Kalau orang-orang ini berjumpa denganmu perangilah mereka (luruskan pemahaman mereka).” (Hadits Sahih riwayat Imam Bukhari 3342).

“Orang-orang muda” adalah kalimat majaz yang maknanya orang-orang yang kurang berpengalaman atau kurang berkompetensi dalam berijtihad dan beristinbat atau bukan ahli istidlal

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa menguraikan Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad)

Tentulah kita mempergunakan akal untuk memahami Al Qur’an namun ada dua jenis cara mempergunakan akal yakni

1. Akal mendahului firmanNya
2. Akal mengikuti firmanNya

Akal mendahului firmanNya ditimbulkan karena mengikuti hawa nafsu. FirmanNya dipergunakan bukan untuk berdalil tetapi berdalih. Sebagaimana contohnya  orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah dari Bani Tamim an Najdi atau khawarij yang mempergunakan ayat-ayat yang diturunkan bagi orang-orang kafir lantas mereka terapkan untuk menyerang kaum muslim

Abdullah bin Umar ra dalam mensifati kelompok khawarij mengatakan: “Mereka menggunakan ayat-ayat yang diturunkan bagi orang-orang kafir lantas mereka terapkan untuk menyerang orang-orang beriman”.[Lihat: kitab Sohih Bukhari jilid:4 halaman:197]

Akal mengikuti firmanNya adalah akal pikiran yang ditundukkan kepada akal qalbu dan mengikuti tata cara dalam memahami Al Qur’an.  Untuk memahami Al Qur’an dan As Sunnah tidak cukup dengan arti bahasa. Diperlukan kompetensi menguasai alat bahasa seperti Nahwu, Shorof, Balaghoh (ma’ani, bayan dan badi’) dan lain lain.  Apalagi jika ingin menetapkan hukum-hukum syara’ bedasarkan dalil syar’i diperlukan penguasaan ilmu ushul fiqih. Penjelasan tentang hal ini telah disampaikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/10/07/tak-cukup-arti-bahasa/

Ilmu fiqh adalah hukum yang terinci pada setiap perbuatan manusia, baik halal, haram, makruh atau wajib beserta dalilnya masing-masing.
Adapun pengertian ‘ashl’ (jamaknya: ‘ushul’) menurut etimologi adalah dasar (fundamen) yang diatasnya dibangun sesuatu. Pengertian ini sama dengan pengertian ushul secara terminologi, karena ushul fiqh menurut terminologi adalah “dasar yang dijadikan pijakan oleh ilmu fiqh”.

Oleh karena itu Syeikh Kamaluddin ibn Himam di dalam Tahrir memberikan defenisi ushul fiqh: “ushul fiqh adalah pengertian tentang kaidah-kaidah yang dijadikan sarana (alat) untuk menggali hukum-hukum fiqh”. Atau dengan kata lain, ushul fiqh adalah kaidah-kaidah yang menjelaskan tentang cara (methode) pengambilan (penggalian) hukum-hukum yang berkaitan dengan perbuatan manusia dari dalil-dalil syar’i. Sebagai contoh, ushul fiqh mnenetapkan, bahwa perintah (amar) itu menunjukkan hukum wajib, dan larangan (nahi) menunjukkan hukum haram dan lain lain.

Jadi Ushul Fiqh adalah pendekatan metodologi yang harus diikuti dalam penafsiran teks, atau dengan redaksi lain, Ushul Fiqh adalah tata bahasa dan ilmu pengetahuan yang harus diikuti dalam upaya menggali hukum dari sumber-sumbernya. Atau menjelaskan sumber-sumber hukum fiqh yang sudah mendapatkan legitimasi syari’at seperti Al-Quran, Sunnah, konsensus, analogi, dan seterusnya.

Untuk memahami hukum bersumber dari Al Quran dan As Sunnah maka harus betul betul memahami gaya bahasa (uslub) yang ada dalam bahasa Arab dan cara penunjukkan lafazh nash kepada artinya. Para ulama ahli ushul fiqih mengarahkan perhatian mereka kepada penelitian terhadap uslub-uslub dan ibarat-ibarat bahasa Arab yang lazim dipergunakan oleh sastrawan-sastrawan Arab dalam menggubah syair dan menyusun prosa. Dari penelitian ini, mereka menyusun kaidah-kaidah dan ketentuan-ketentuan yang dapat dipergunakan untuk memahami nash-nash syari’at secara benar sesuai dengan pemahaman orang Arab sendiri yang nash itu diturunkan dalam bahasa mereka.

Kompetensi yang dibutuhkan untuk dapat menggali sendiri dari Al Qur’an dan As Sunnah seperti

a. Mengetahui dan menguasai bahasa arab sedalam-dalamnya, karena al-Quran dan as-sunnah diturunkan Allah dan disampaikan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam bahasa Arab yang fushahah dan balaghah yang bermutu tinggi, pengertiannya luas dan dalam, mengandung hukum yang harus diterima. Yang perlu diketahui dan dikuasainya bukan hanya arti bahasa tetapi juga ilmu-ilmu yang bersangkutan dengan bahasa arab itu seumpama nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’).

b. Mengetahui dan menguasai ilmu ushul fiqh, sebab kalau tidak, bagaimana mungkin menggali hukum secara baik dan benar dari al-Quran dan as-Sunnah padahal tidak menguasai sifat lafad-lafad dalam al-Quran dan as-Sunnah itu yang beraneka ragam seperti ada lafadz nash, ada lafadz dlahir, ada lafadz mijmal, ada lafadz bayan, ada lafadz muawwal, ada yang umum, ada yang khusus, ada yang mutlaq, ada yang muqoyyad, ada majaz, ada lafadz kinayah selain lafadz hakikat. Semua itu masing-masing mempengaruhi hukum-hukum yang terkandung di dalamnya.

c. Mengetahui dan menguasai dalil ‘aqli penyelaras dalil naqli terutama dalam masalah-masalah yaqiniyah qath’iyah.

d. Mengetahui yang nasikh dan yang mansukh dan mengetahui asbab an-nuzul dan asbab al-wurud, mengetahui yang mutawatir dan yang ahad, baik dalam al-Quran maupun dalam as-Sunnah. Mengetahui yang sahih dan yang lainnya dan mengetahui para rawi as-Sunnah.

e. Mengetahui ilmu-ilmu yang lainnya yang berhubungan dengan tata cara menggali hukum dari al-Quran dan as-Sunnah.

Bagi yang tidak memiliki sanad ilmu dan kompetensi di atas maka termasuk orang awam (bukan ahli istidlal) sehingga tidak ada jalan lain kecuali taqlid kepada imam mujtahid yang dapat dipertanggungjawabkan kemampuannya.

Diantara para mujtahid yang madzhabnya mudawwan adalah empat imam mujtahid, yaitu:

– Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit;
– Imam Malik bin Anas;
– Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i ; dan
– Imam Ahmad bin Hanbal.

Sehingga bagi para ulama yang bukan ahli istidlal maka dalam berfatwa sebaiknyalah merujuk kepada ulama-ulama yang sholeh terdahulu yang mengikuti salah satu dari Imam Mazhab yang empat.

Kita tentu boleh memahami Al Qur’an dan As Sunnah untuk keperluan diri sendiri namun ketika kita akan menetapkah hukum perkara terhadap sebuah perbuatan dilakukan atau tidak dilakukan maka kita wajib menanyakan atau merujuk kepada ulama yang istiqomah mengikuti salah satu dari Imam Mazhab yang empat
Berkata Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah : Aku bertanya pada bapakku : “Ada seorang lelaki yang memiliki kitab-kitab mushannaf, di dalam kitab tersebut ada perkataan Rasulullah Shallallahu alaihi wa Sallam, para sahabat dan tabi’in, akan tetapi ia tidak meliliki ilmu untuk bisa mengetahui hadits yang lemah yang matruk dan tidak pula bisa membedakan hadits yang kuat dari yang lemah, maka bolehkah mengamalkan sesuai dengan apa yang dia inginkan dan memilih sekehendaknya lantas ia berfatwa dan mengamalkannya?”
Beliau menjawab : “Tidaklah boleh mengamalkannya sehingga ia bertanya dari apa yang ia ambil, maka hendaknya ia beramal di atas perkara yang shahih dan hendaknya ia bertanya tentang yang demikian itu kepada ahli ilmu” (lihat i’lamul muwaqi’in 4/179)

Kita tidak boleh sembarangan menetapkan hukum perkara terhadap perkara yang jika dikerjakan berdosa (larangan dan pengharaman) atau terhadap perkara yang jika ditinggalkan berdosa (kewajiban) karena perkara tersebut adalah hak Allah Azza wa Jalla menetapkannya atau mensyariatkannya

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam diutus oleh Allah Azza wa Jalla membawa agama atau perkara yang disyariatkanNya yakni apa yang telah diwajibkanNya (jika ditinggalkan berdosa), apa yang telah dilarangNya dan apa yang telah diharamkanNya (jika dilanggar berdosa). Allah ta’ala tidak lupa.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban (ditinggalkan berdosa), maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa larangan (dikerjakan berdosa)), maka jangan kamu langgar dia; dan Allah telah mengharamkan sesuatu (dikerjakan berdosa), maka jangan kamu pertengkarkan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu perbincangkan dia.” (Riwayat Daraquthni, dihasankan oleh an-Nawawi)

Telah sempurna agama Islam maka telah sempurna atau tuntas segala laranganNya, apa yang telah diharamkanNya dan apa yang telah diwajibkanNya, selebihnya adalah perkara yang didiamkanNya atau dibolehkanNya.

Firman Allah ta’ala yang artinya “dan tidaklah Tuhanmu lupa” (QS Maryam [19]:64)

Firman Allah ta’ala yang artinya, “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu” (QS Al-Maaidah: [5] : 3)

Ibnu Katsir ketika mentafsirkan (QS. al-Maidah [5]:3) berkata, “Tidak ada sesuatu yang halal melainkan yang Allah halalkan, tidak ada sesuatu yang haram melainkan yang Allah haramkan dan tidak ada agama kecuali perkara yang di syariatkan-Nya.

Rasulullah Shallallau ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Apa-apa yang Allah halalkan dalam kitabNya adalah halal, dan apa-apa yang diharamkan dalam kitabNya adalah haram, dan apa-apa yang didiamkanNya adalah dibolehkan. Maka, terimalah kebolehan dari Allah, karena sesungguhnya Allah tidak lupa terhadap segala sesuatu.” Kemudian beliau membaca (Maryam: 64): “Dan tidak sekali-kali Rabbmu itu lupa.” (HR. Al Hakim dari Abu Darda’, beliau menshahihkannya. Juga diriwayatkan oleh Al Bazzar)

Jadi kaum muslim tidak boleh mengada ada larangan yang tidak dilarangNya, mengharamkan yang tidak diharamkanNya atau mewajibkan yang tidak diwajibkanNya karena hal tersebut termasuk bid’ah dalam urusan agama (urusan kami) yakni bid’ah dalam urusan Allah Azza wa Jala untuk menetapkannya atau menyasriatkannya. Allah ta’ala tidak lupa. Hal ini telah dijelaskan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/10/29/tidaklah-tuhanmu-lupa/

Bidah dalam urusan agama (urusan kami) atau bid’ah dalam perkara syariat termasuk bid’ah yang sesat (dholalah)

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Barang siapa yang membuat perkara baru dalam urusan agama yang tidak ada sumbernya (tidak turunkan keterangan padanya) maka tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Telah menceritakan kepada kami Ya’qub telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Sa’ad dari bapaknya dari Al Qasim bin Muhammad dari ‘Aisyah radliallahu ‘anha berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Siapa yang membuat perkara baru dalam urusan kami ini yang tidak ada perintahnya (tidak turunkan keterangan padanya) maka perkara itu tertolak.” (HR Bukhari 2499)

Firman Allah Azza wa Jalla yang artinya, “Katakanlah! Tuhanku hanya mengharamkan hal-hal yang tidak baik yang timbul daripadanya dan apa yang tersembunyi dan dosa dan durhaka yang tidak benar dan kamu menyekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak turunkan keterangan padanya dan kamu mengatakan atas (nama) Allah dengan sesuatu yang kamu tidak mengetahui.” (QS al-A’raf [7] : 33)

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Rabbku memerintahkanku untuk mengajarkan yang tidak kalian ketahui yang Ia ajarkan padaku pada hari ini: ‘Semua yang telah Aku berikan pada hamba itu halal, Aku ciptakan hamba-hambaKu ini dengan sikap yang lurus, tetapi kemudian datanglah syaitan kepada mereka. Syaitan ini kemudian membelokkan mereka dari agamanya, dan mengharamkan atas mereka sesuatu yang Aku halalkan kepada mereka, serta mempengaruhi supaya mereka mau menyekutukan Aku dengan sesuatu yang Aku tidak turunkan keterangan padanya”. (HR Muslim 5109)

Allah Azza wa Jalla berfirman,Mereka menjadikan para rahib dan pendeta mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah“. (QS at-Taubah [9]:31 )

Ketika Nabi ditanya terkait dengan ayat ini, “apakah mereka menyembah para rahib dan pendeta sehingga dikatakan menjadikan mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah?” Nabi menjawab, “tidak”, “Mereka tidak menyembah para rahib dan pendeta itu, tetapi jika para rahib dan pendeta itu menghalalkan sesuatu bagi mereka, mereka menganggapnya halal, dan jika para rahib dan pendeta itu mengharamkan bagi mereka sesuatu, mereka mengharamkannya“

Pada riwayat yang lain disebutkan, Rasulullah bersabda ”mereka (para rahib dan pendeta) itu telah menetapkan haram terhadap sesuatu yang halal, dan menghalalkan sesuatu yang haram, kemudian mereka mengikutinya. Yang demikian itulah penyembahannya kepada mereka.” (Riwayat Tarmizi)

Bagi orang-orang yang mengikuti ulama yang berfatwa tanpa ilmu sama dengan menjadikan ulama-ulama mereka “sebagai tuhan-tuhan selain Allah“. (QS at-Taubah [9]:31 ) karena ulama mereka boleh jadi melarang atau mengharamkan yang tidak dilarang atau diharamkan oleh Allah Azza wa Jalla

Jadi ulama tidak boleh sembarangan berfatwa untuk melarang yang tidak dilarangNya, mengharamkan yang tidak diharamkanNya atau mewajibkan yang tidak diwajibkanNya.  Jika ragu dalam beristinbat atau menetapkan suatu hukum perkara maka sebaiknya untuk perkara yang dianggap terlarang hukum perkara tertingginya adalah makruh sedangkan untuk perkara yang dianggap kebaikan, hukum perkara tertingginya adalah anjuran atau sunnah(mandub).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda “Orang muslim yang paling besar dosanya (kejahatannya) terhadap kaum muslimin lainnya adalah orang yang bertanya tentang sesuatu yang sebelumnya tidak diharamkan (dilarang) bagi kaum muslimin, tetapi akhirnya sesuatu tersebut diharamkan (dilarang) bagi mereka karena pertanyaannya.” (HR Bukhari 6745, HR Muslim 4349, 4350)

Berikut contoh kasus beberapa ulama melarang wanita berziarah kubur, mereka beralasan dengan hadits:

عن أبي هريرة أن رسول الله صلى الله عليه و سلم لعن زوارات القبور

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melaknat zawaaraat (wanita peziarah) kubur. (HR. At Tirmidzi No. 1056, )

عن ابن عباس قال لعن رسول الله صلى الله عليه و سلم زائرات القبور والمتخذين عليها المساجد والسرج .

Dari Ibnu Abbas, katanya: Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melaknat para wanita yang berziarah kubur, dan orang-orang yang menjadikan masjid dan penerangan di atasnya. (HR. Abu Daud No. 3236)

Inilah pendapat ulama Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz, ulama Abdul Muhsin Al ‘Abbad Al Badr, ulama Sholeh Al-Fauzan dan lainnya. Menurut mereka hadits ini tegas menjadi larangan bagi wanita, yakni haram berziarah kubur. Makna zawarat menurut mereka bukan sering atau banyak berziarah, tetapi bermakna asalnya yakni berziarah itu sendiri.

Ulama Sholeh bin Fauzan Al-Fauzan berkata  “Dan ziarah itu disyariatkan bagi laki-laki, adapun wanita diharamkan bagi mereka berziarah kubur” (Al-Muntaqo Min Fatawa, Sholeh Al-Fauzan).

Ulama Abdul Muhsin Al ‘Abbad Al Badr  menjelaskan:

فالقول الصحيح هو القول بالتحريم، وأن النساء لا يجوز لهن أن يزرن القبور، ثم أيضاً -كما هو واضح- أن المرأة إذا تركت الزيارة فأكثر ما في الأمر أنها تركت أمراً مستحباً، وأما إذا فعلت الزيارة فإنها تتعرض للعنة كما في هذا الحديث، ومعلوم أن ترك هذا الفعل الذي تسلم فيه من اللعنة أولى ومقدم على كونها تفعل شيئاً لو تركته لم يحصل لها شيء إلا أنها تركت أمراً مستحباً لا يترتب على تركه شيء. إذاً: القول بالتحريم والمنع هو الأظهر والأولى

Maka, pendapat yang benar adalah pendapat yang mengharamkannya, bahwa wanita tidak boleh berziarah kubur, lalu juga –sebagaimana yang telah jelas- bahwa wanita jika dia meninggalkan ziarah, maka paling banyak dia  akan meninggalkan perkara sunah saja, ada pun jika dia melakukan ziarah, maka dia akan mendapatkan laknat sebagaimana disebutkan oleh hadits, telah maklum bahwa meninggalkan perbuatan ini, yang dengan itu akan membuatnya selamat dari laknat, adalah lebih utama dan didahulukan dibanding dia melakukan perbuatan yang jika dia tinggalkan tidak berdampak apa-apa, melainkan hanya dia telah meninggalkan  anjuran saja, dan jika dia tinggalkan tidak apa-apa. Jadi, pendapat yang mengharamkannya lebih kuat dan utama. (Syarh Sunan Abi Daud, 17/150)

Sedangkan fatwa Abdul Aziz bin Baaz ada pada http://www.alsofwah.or.id/?pilih=lihatfatwa&id=626

Banyak ulama yang membolehkan wanita untu berziarah kubur dan telah mengkoreksi alasan-alasan pihak yang melarang ini.

عن بُرَيْدَة – رضي الله عنه – ، قَالَ : قَالَ رسول الله – صلى الله عليه وسلم – : (( كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عن زِيَارَةِ القُبُورِ فَزُوروها )) رواه مسلم . وفي رواية : (( فَمَنْ أرَادَ أنْ يَزُورَ القُبُورَ فَلْيَزُرْ ؛ فإنَّهَا تُذَكِّرُنَا الآخِرَةَ ))

Dari Buraidah Radhiallahu ‘Anhu, katanya: Bersabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Dahulu saya melarang kalian dari berziarah kubur, maka sekarang berziarahlah.” (HR. Muslim). Riwayat lain: “maka barangsiapa yang hendak berziarah kubur maka berziarahlah, karena hal itu bisa mengingatkan akhirat.”

Kata fazuuruuha (maka berziarahlah kalian) adalah berlaku umum, baik laki-laki atau wanita.

Imam At Tirmidzi Rahimahullah mengatakan tentang hadits La’ana Az Zawaaraat Al Qubur (Rasulullah melaknat wanita yang berziarah kubur):

قد رأى بعض أهل العلم أن هذا كان قبل أن برخص النبي – صلى الله عليه وسلم – في زيارة القبور، فلما رخص دخل في رخصته الرجال والنساء.

Sebagian ulama mengatakan bahwa hal ini terjadi ketika sebelum diberikan keringanan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tentang ziarah kubur, maka ketika sudah diberikan keringanan, maka keringanan itu mencakup laki-laki dan wanita. (Lihat Sunan At Tirmidzi No. 1056, lihat juga Imam As Suyuthi dalam Syarh Sunan Ibni Majah, 1/113, Imam Al Baghawi dalam Syarhus Sunnah, 2/417 )

Imam Ibnu Abdil Bar menyebutkan:

قال أبو بكر وسمعت أبا عبد الله يعني أحمد بن حنبل يسأل عن المرأة تزور القبر فقال أرجو إن شاء الله أن لا يكون به بأس عائشة زارت قبر أخيها قال ولكن حديث ابن عباس أن النبي صلى الله عليه وسلم لعن زوارات القبور ثم قال هذا أبو صالح ماذا كأنه يضعفه ثم قال أرجو إن شاء الله عائشة زارت قبر أخيها قيل لأبي عبد الله فالرجال قال أما الرجال فلا بأس به

Berkata Abu Bakar: Aku mendengar Abu Abdillah –yakni Imam Ahmad bin Hambal- ditanya tentang wanita yang berziarah kubur. Beliau menjawab: “Aku harap hal itu tidak apa-apa, Insya Allah. ‘Aisyah menziarahi kubur saudaranya. ” Orang itu berkata: “Tetapi ada hadits Ibnu Abbas bahwa Nabi Shallallahu ’Alaihi wa Sallam melaknat wanita peziarah kubur.” Imam Ahmad menjawab: “Hadits ini terdapat Abu Shalih.”   Apa yang dikatakannya seakan dia mendhaifkan hadits ini. Lalu Imam Ahmad berkata: “Aku harap tidak apa-apa, Insya Allah, ‘Aisyah berziarah ke kubur saudaranya.” Ditanyakan kepada beliau: “Kalau kaum laki-laki?” Beliau menjawab: “Ada pun laki-laki, tidak apa-apa.” (At Tamhid, 3/234)

Imam As Suyuthi mengatakan, bahwa yang dilaknat dalam hadits ini adalah wanita yang berziarah dengan tanpa menjaga adab dan akhlak, katanya:

إن اللعن محمول على زيارتهم بما لا يجوز كالتبرج والجزع والصياح وغير ذلك مما لا ينبغي ، وأما إذا أمن جميع ذلك فلا مانع من الإذن لهن

Sesungguhnya laknat di sini dimaknai bahwa ziarahnya mereka itu dibarengi dengan hal-hal yang tidak diperbolehkan seperti tabarruj (bersolek), mengeluh, berteriak,  dan hal-hal tidak pantas lainnya. Ada pun jika aman dari semua hal ini, maka tidak terlarang mengizinkan mereka (untuk ziarah). (Misykah Al Mashabih, 5/1033)

Hadits ini telah mansukh (dihapus) sebagaimana yang disebutkan oleh Imam At Tirmidzi, Imam Al Baghawi, dan lainnya, bahwa laknat ini terjadi ketika sebelum diberikan kebolehan berziarah.

Mansukh-nya hadits ini semakin jelas dengan riwayat  ketika ‘Aisyah berziarah ke kubur saudaranya:

فقيل لها أليس قد نهى النبي صلى الله عليه و سلم عن ذلك قالت نعم كان نهى ثم أمر بزيارتها انتهى

Dikatakan kepada ‘Aisyah, bukankah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah melarang hal itu? Beliau menjawab: “Ya, dahulu  Beliau melarang, kemudian Beliau memerintahkan untuk berziarah.”  (Tuhfah Al Ahwadzi, 4/137)

Aisyah Radhiallahu ‘Anha pernah berziarah ke kubur saudaranya, bernama Abdurrahman bin Abu Bakar.

عن ابن أبي مليكة عن عائشة رضي الله عنها أنها كانت إذا قدمت مكة جاءت إلى قبر أخيها عبد الرحمن بن أبي بكر رضي الله عنهما فسلمت عليه

Dari Ibnu Abi Malikah, dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, bahwa Beliau jika datang ke Mekkah, mendatangi ke kubur saudaranya Abdurrahman bin Abu Bakr Radhiallahu ‘Anhuma, dan mengucapkan salam kepadanya. (HR. Al Fakihi, Akhbar Makkah, No. 2443, Ibnu Abdil Bar, At Tamhid, 3/235)

Apa yang ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha lakukan menunjukkan kebolehannya, sebab jika berziarah ke kubur terlarang bagi wanita, tentu ‘Aisyah adalah pihak yang paling tahu itu, karena Beliau isteri terdekat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu menceritakan:

مَرَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِامْرَأَةٍ تَبْكِي عِنْدَ قَبْرٍ فَقَالَ اتَّقِي اللَّهَ وَاصْبِرِي قَالَتْ إِلَيْكَ عَنِّي فَإِنَّكَ لَمْ تُصَبْ بِمُصِيبَتِي وَلَمْ تَعْرِفْهُ فَقِيلَ لَهَا إِنَّهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَتَتْ بَابَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ تَجِدْ عِنْدَهُ بَوَّابِينَ فَقَالَتْ لَمْ أَعْرِفْكَ فَقَالَ إِنَّمَا الصَّبْرُ عِنْدَ الصَّدْمَةِ الْأُولَى

Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melewati seorang wanita yang menangis di sisi kubur. Nabi bersabda: “Bertaqwa-lah kepada Allah dan bersabarlah.” Wanita itu berkata: “Enyah kau dariku, kau tidak  mendapatkan musibah seperti yang aku terima.” Wanita itu tidak mengenalinya, lalu dikatakan kepadanya bahwa itu adalah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Lalu wanita itu mendatangi pintu rumah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, tidak menemui penjaga pintu. Lalu  dia berkata: “Aku tadi tidak mengenali engkau.” Nabi bersabda: “Sabar itu dihantaman yang pertama.”  (HR. Bukhari No. 1283)

Hadits ini sangat jelas menunjukkan kebolehannya, jika terlarang tentulah wanita itu sudah dilarang oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Wassalam

Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830

Pos terkait