pembahasan ini akan mengupas dasar penetapan membaca al-Qur’an atau khusunya surat Yasin dan tahlil di kuburan sebagaimana yang kerap dilakukan oleh warga Nahdhiyyin saat berziarah atau nyekar di makam orang tua atau saudara.
Dalam satu haditsnya, Rasulallah bersabda:
مَنْ زَارَ قَبْرَ وَالِدَيْهِ كُلَّ جُمْعَةٍ فَقَرَأَ عِنْدَهُمَا أَوْ عِنْدَهُ يَس غُفِرَ لَهُ بِعَدَدِ كُلِّ آيَةٍ أَوْ حَرْفٍ
“Barangsiapa berziarah ke kuburan kedua orang tuanya setiap Jum’at lalu membacakan di sisinya Surat Yasin, niscaya akan diampuni sebanyak jumlah ayat dan huruf yang dibaca.”
Hadits riwayat Ibnu ‘Adi dari Abu Bakar ini masih diperselisihkan para pakar ahli hadits. Al-Hafizh Ibnul Jauzi menilainya maudhu’, sementara ulama lain mengatakan hanya dha‘if[1] seperti al-Hafizh as-Suyuthi dan lain-lain.
Berangkat dari pendapat yang terakhir ini sebagian ulama fiqh mengamalkannya sebagai fadha’ilul ‘amal. Andai hadits tersebut berstatus sangat dha‘if pun, juga masih bisa diamalkan dalam fadha’il karena banyaknya riwayat-riwayat hadits tentang ziarah makam kedua orang tua setiap Jum’at, seperti riwayat at-Tirmidzi dan ath-Thabarani (lihat al-Jami’ ash-Shaghir dan Faidhul Qadir hadits no. 8718 dan Bujairami ‘ala al-Khathib bab ‘Jenazah’).
Imam ath-Thabari, sebagaimana keterangan di atas mengatakan bahwa membaca surat Yasin di samping orang yang telah meninggal adalah legal. Dan membaca surat Yasin saat berziarah adalah termasuk dari membaca di samping orang yang telah meninggal.
Dalil disunahkan membaca Al-Qur’an di kuburan memang tidak ada yang shahih dari Rasulallah, semuanya berkisar dha‘if seperti yang dijelaskan al-Mubarakfuri dalam kitab Tuhfah al-Ahwadzi Syarah Sunan at-Tirmidzi [pembahasan shadaqah pada mayit]. Namun, bukan berarti hadits dha‘if tersebut tidak boleh diamalkan dalam fadha’il, apalagi hadits-hadits di atas dikuatkan pendapat para ulama, seperti riwayat al-Marwazi dari Ahmad bin Hanbal, beliau mengatakan: “Bila kalian masuk ke dalam taman makam (kuburan), maka bacalah al-Fatihah, Surat Ikhlash dan al-Mu’awwidzatain! Jadikanlah pahalanya untuk mayit-mayit kuburan tersebut, karena sungguh pahalanya sampai kepada mereka.”[2]
Seperti juga riwayat Abu Hurairah, bahwa Rasulallah mengatakan: “Siapa saja yang masuk kuburan kemudian membaca al-Fatihah, al-Ikhlash dan at-Takatsur dan lalu berdoa: ’Aku jadikan pahala kalam-Mu yang telah aku baca untuk penduduk kuburan muslimin dan muslimat.’ Maka mereka (ahli kubur) akan memintakan syafa’at kepada Allah untuk orang tersebut.’”[3]
Syaikh Abdul Wahhab As-Sya’rani dalam Mukhtasar Tadzkirah al-Qurthubi (hal-25) bercerita tentang Imam Ahmad bin Hanbal yang berkata “Jika kalian masuk ke kuburan, maka bacalah surat al-Fatihah, al-Mu’awwidzatain dan Qulhuwallahu Ahad (surat al-Ikhlash) dan jadikankanlah pahalanya untuk penghuni kuburan tersebut, karena sesungguhnya pahala (bacaan al-Qur’an) bisa sampai kepada mereka”. Memang, sebelumnya Imam Ahmad pernah mengingkari ketetapan hukum yang menyatakan bahwa pahala bisa sampai kepada mayit, namun setelah beliau menerima cerita dari orang-orang yang tsiqah (kredibel dalam riwayat hadits) tentang Sayyidina Abdullah bin Umar bin Khaththab[4] yang pernah berwasiyat supaya nanti setelah wafat untuk di bacakan surat al-Fatihah dan akhir surat al-Baqarah dibagian arah kepalanya, maka kemudian Imam Ahmad menarik pendapatnya tersebut.
Begitu juga dengan Syaikh Izzuddin bin Abdissalam yang pernah ingkar terhadap ketetapan hukum tersebut. Ketika beliau wafat, sebagian dari muridnya ada yang bermimpi bertemu beliau dan bertanya mengenai masalah kirim pahala kepada mayit dan di jawab bahwa beliau kini telah menarik pendapatnya setelah mengetahui sendiri ternyata pahala bisa sampai (kepada mayit) saat beliau dalam alam kubur.
Dalam kitab at-Tahdzir ‘an al-Ightirar bima ja’a fi kitab al-Hiwar hal. 82 di jelaskan bahwa Ibnu Taimiyyah juga mendukung Imam Ahmad dalam mencetuskan legalnya membaca al-Qur’an di samping makam. Bahkan Ibnu Qayyim juga mendukung dan dalam kitabnya ar-Ruh hal. 10, menuturkan tentang segolongan ulama salaf yang berwasiyat supaya di bacakan al-Qur’an setelah mereka di makamkan.
Ibnu Muflih dalam al-Furu’ (II/304) mengatakan, “Tidak makruh membaca (al-Qur’an) di samping makam atau di dalam kuburan. Ketetapan ini di pilih oleh Abu Bakar, al-Qadli dan segolongan ulama dan ini adalah ketetapan madzhab serta di amalkan oleh masyayikh madzhab Hanafiyyah. Sebagian mengatakan mubah dan sebagian mengatakan sunat”. Ibnu Tamim juga berkata, “Ketetapan ini seperti salam (kepada ahli kubur), dzikir, berdo’a dan istighfar”. Dan pernyataan Ibnu Tamim tersebut sangat mendukung pembacaan ratib tahlil di samping makam yang memang isi dari ratib tersebut adalah bacaan al-Qur’an, dzikir, istighfar dan shalawat.
Ar-Rafi’i menuturkan bahwa Abu Thayyib ditanya tentang mengkhatamkan Al-Qur’an dalam kuburan. Beliau menjawab: “Pahalanya untuk pembacanya, sedangkan si mayit seperti orang yang hadir (dalam majelis pembacaan Al-Qur’an) yang diharapkan juga mendapat rahmat dan barakah. Oleh karena itu, disunahkan membaca Al-Qur’an di dalam kuburan.”[5] Apalagi berdoa (dalil berdoa dalam kuburan shahih) lebih mustajabah ketika dilakukan setelah membaca Al-Qur’an.[6]
[1] Faidh al-Qadir juz 6 hlm. 172.
[2] Hujjah Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah hlm.15, I’anah al-Thalibin juz 2 hlm.162
[3] Hujjah Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah hlm.16
[4] Riwayat wasiyat Abdullah bin Umar tersebut adalah shahih. Lihat kitab Manhaj as-Salaf hlm. 385
[5] Syarh al-Wajiz juz 5 hlm. 249.
[6] Hujjah Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah hlm. 14.