Oleh : Ustadz Hariz Jaya
Dalam surat Al Maidah ayat 38 Allah ta’ala berfirman :
.وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Artinya : Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
(QS. Al-Maidah : 38)
Penjelasannya : Allah berfirman, menjelaskan dan memerintahkan agar tangan pencuri laki-laki dan perempuan di potong. As-sauri meriwayatkan dari jabir ibnu yazid al-ju’fi, dari amir ibnu syarahil asy-sya’bi bahwa sahabat ibnu mas’ud di masa lalu membaca ayat ini dengan bacaan berikut :”Laki-laki yang mencuru dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan kanan keduanya”. Tapi qiro’ah ini di nilai zazzah (asing) sekali pun hukumnya menurut semua ulama’ sesuai dengan makna bacaan tersebut, karena sesunggahnya dalil (memotong tangan kanan) di ambil dari yang lain.
Dahulu di masa jahiliyah, hukum potong tangan ini berlaku, kemudian di setujui oleh islam dan di tambahkan kepada syarat-syarat lain, seperti yang akan kami sebutkan. Perihalnya sama dengan QISAMAH, DIAT, QIRAD, dan lain-lainnya, yang syari’at datang dengan menyetujuinya sesuai dengan pa adanya di sertai dengan beberapa tambahan demi menyempurnakan kemaslahatan.
Menurut suatu pendapat, orang-orang yang bermula-mula mengadakan hukum potong tangan pada masa jahiliyah adalah kabilah Quraisy. Mereka memotong tangan seorang laki-laki yang dikenal dengan nama Duwaik maula bani bani malih ibnu amr, dari khuza’ah, karena mencuri harta perbendaharaan ka’bah. Menurut pendapat lain, yang mencurinya adalah suatu kaum, kemudian mereka meletakkan hasil curiannya di rumah Duwaik.
Sebagian kalangan ulama’ fiqh dari madzhab dzahiri mengatakan, apabila seorang mencuri sesuatu, maka tangannya harus di potong, tanpa memandang apakah yang di curinya itu sedikit atau pun banyak. Karena berdasarkan kepada ke umuman makna yang di kandung oleh firman-Nya : “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya”. (QS. Al-Maidah : 38). Mereka tidak mempertimbangkan adanya NISAB dan tidak pula tempat penyimpanan barang yang di curi, bahkan mereka hanya memandang dari sudut pencuriannya saja.
Ibnu Jarir dan Ibnu Abu Hatim telah meriwayatkan melalui jalur abdul mu’min, dari najdah al-hanafi yang mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada Ibnu Abbas mengenai makna firman-Nya : “laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri potonglah tangan keduanya”. (QS. Al-Maidah : 38). Apakah ayat ini mengandung makna khusus atau umum? Ibnu Abbas menjawab, ayat ini mengandung makna umum. Hal ini barangkali merepukan suatu kebetulan dari ibnu abbas yang bersesuaian dengan pendapat mereka (madzhab dzahiri), barangkali pula tidak demikian keadaannya, hanya Allah yang Maha Mengetahui. Mereka berpegang pada sebuah hadist yang di sebutkan di dalam kitab shahihain.
Dari abu Hurairah, Rasulullah saw bersabda :”Semoga Allah melaknat pencuri, yang mencuri telur, maka tangannya di potong, dan mencuri tali maka tangannya di potong”. (HR. Bukhori No. 6779 dan Muslim No. 1687).
Jumhur ulama’ mempertimbangkan adanya NISOB dalam kasus pencurian, sekalipun mengenai kadarnya masih diperselisihkan di kalangan mereka. Masing-masing dari madzhab yang empat mempunyai pendapatnya sendiri.
Menurut imam malik ibnu anas, NISOB hukum potong tangan adalah tiga keping uang perak (dirham) murni. Apabila seseorang mencuri suatu yang nilainya mencapai tiga dirham atau lebih maka tangannya harus di potong. Imam malik mengatakan pendapatnya ini berdalilkan sebuah hadist.
Dari nafi’, dari ibnu ‘umar r.a, Rasulullah saw melakukan hukum potong tangan dalam kasus pencurian sebuah tameng yang harganya tiga dirham. (HR. Bukhori No. 6797 dan Muslim No. 1686).
Hadist di ketengahkan oleh syaikhain di dalam kitab shahihain, imam malik mengatakan bahwa khalifah ustman r.a pernah menjatuhkan hukum potong tangan terhadap kasus pencurian buah UTRUJJAH (jeruk bali), yang harganya di taksir tiga dirham. Atsar ini, menurut imam malik merupakan atsar yang palingf di sukainya mengenai hal tersebut.
Atsar ini bersumberkan dari khalifah utsman r.a yang di riwayatkan oleh imam malik. Dari Abdullah ibnu abu bakar, dari ayahnya, dari amrah binti abdurrahman, bahwa di masa pemerintahan Khalifah utsman pernah ada seorang pencuri buah ATRUJJAH (jeruk bali). Maka khalifah utsman memerintahkan agar barang yang di curi itu di taksir harganya. Ketika di lakukan penaksiran, ternyata harganya, mencapai tiga dirham menurut harga lama. Sedangkan menurut harga sekarang. Sama dengan dua belas dirham. Maka khalifah utsman memotong tangan pelakunya. (Lihat Kitab Al-Muwatho’ Juz 2 Halaman 832).
Para pendukung imam malik mengatakan bahwa keputusan yang semisal telah terkenal dan tidak ada yang memprotesnya. Permasalahannya sama dengan ijma’ sukuti. Di dalam atsar ini terkandung dalil yang menunjukkan adanya hukum potong tangan, terhadap kasus pencurian buah.
Hal ini berbeda dengan pendapat kalangan madzhab hanafi. Dan berdasarkan pertimbangan tiga dirham, berbeda pula dengan mereka (madzhab hanafi) karena mereka menetapkan bahwa NISOB-nya harus mencapai sepuluh dirham. Sedangkan menurut pertimbangan madzhab syafi’i, jumlah yang harus di capai adalah seperempat dinar.
Imam Syafi’I mengatakan bahwa hal yang di jadikan standar dalam menjatuhkan sangsi potong tangan atas pencurian adalah seperempat dinar atau uang atau barang yang seharga seperempat dinar hingga lebih.
Dalil yang di jadikan pegangan dalam hal ini adalah sebuah hadist yang di ketengahkan oleh syaikhan, yaitu Imam Bukhori dan Imam Muslim.
Dari az-zuhri, dari amrah, dari aisyah r.a bahwa Rasulullah saw telah bersabda : “tangan pencuri di potong karena mencuri seperempat dinar, (atau sesuatu yang bernilai dengannya atau yang berupa barang yang senilai dengannya) hingga selebihnya. (HR. Bukhari No. 6789 dan Muslim No. 1684).
Teman-teman kami mengatakan bahwa hadist ini merupakan penyelesaian dalam masalah yang bersangkutan, dan merupakan nash yang menyatakan seperempat dinar, sebagai NISOB-nya, bukan selainnya.
Mereka mengatakan, hadist yang menyebutkan perihal harga sebuah tameng yang menurut taksiran sehingga tiga dirham, pada kenyataannya tidak bertentangan dengan hadist ini. Mengingat saat kejadiannya nilai satu dinar sama dengan dua belas dirham. Jika dikatakan tiga dirham, berarti samadengan seperempat dinar. Dengan demikian berarti keduanya dapat di gabungkan melalui analisis ini.
Pendapat ini telah di riwayatkan dari umar ibnul khattab, utsman, ibnu affan dan ali ibnu abi thalib, hal yang sama telah di katakan pula oleh umar ibnul abdul aziz, al-laits ibnu sa’d, al-auza’I, imam syafi;I dan semua muridnya, ishaq ibnu Rahawaih, menuruts suatu riwayat darinya, dan daud ibnu ali az-zahiri.
Imam ahmad ibnu hambal berpendapat, begitu pula ishaq ibnu Rahawih dalam suatu riwayat, yang bersumberkan darinya, bahwa masing-masing dari kedua pendapat yang mengatakan seperempat dinar dan tiga dirham mempunyai dalil syar’inya. Maka barang siapa yang mencuri seharga salah satu dari keduanya atau yang senilai dengannya di kenai hukuman potong tangan karena berdasarkan hadist ibnu umar dan hadist aisyah r.a menurut suatu lafadz dari imam Ahmad sebagai berikut :
Dari sitti Aisyah r.a, Rasulullah saw pernah bersabda : “lakukanlah hukum potong tangan karena seperempat dinar, dan jangan kalian lakukan hukum potong tangan karena (mencuri), suatu yang lebih rendah dari itu. (HR. Ahmad dalam Musnadnya Juz 6 Halaman 80)
Dahulu nilai seperempat dinar adalah tiga dirham, karena satu dinar sama dengan dua belas dirham, menurut lafadz imam Nasa’I di sebutkan seperti berikut :
Tangan pencuri tidak boleh di potong karena mencuri sesuatu yanhg harganya lebih rendah daripada harga sebuah tameng. Ketika di tanya kepada aisyah, tentang harga sebuah tameng di masa lalu, ia menjawab, seperempat dinar. (HR. An-Nasa’I Juz 8 Halaman 80).
Demikian pula sufyan as-sauri, sesungguhnya mereka berpendapat bahwa NISOB kasus pencurian adalah sepuluh dirham mata uang asli, bukan mata uang palsu. Mereka mengatakan demikian dengan berdalilkan bahwa harga sebuah tameng ketika tangan seorang pencuri di potong karena mencurinya di masa Rasulullah saw adalah sepuluh dirham.
Abu bakar ibnu abu syaibah mengatakan, telah menceritakan kepada kami ibnu numair, dan abdul a’la, telah menceritakan kepada kami muhammad ibnu ishaq, dari ayyub ibnu musa, dari ‘atha’ dari ibnu abbas, yang mengatakan bahwa, harga sebuah tameng di masa Rasulullah saw adalah sepuluh dirham. (Dalam Kitab Al-Mushonnif Juz 9 Halaman 474 dan HR. Ad-Daruqutniy Juz 3 Halaman 191 dari jalur muhammad bin ishaq). Dahulu harga sebuah tameng (perisai) adalah sepuluh dirham.
Mereka mengatakan bahwa ibnu abbas dan abdullah ibnu amr berpeda pendapat dengan ibnu umar tentang masalah harga perisai. Maka untuk tindakan preventifnya adalah mengambil pendapat mayoritas karena masalah-masalah yang menyangkut hukuman had di tolak dengan hal-hal yang syubhat.
Sebagian ulama’ salaf dan yang berpendapat bahwa tangan seorang pencuri di potong karena mencuri sepuluh dirham atau satu dinar atau sesuatu yang harganya senilai dengan salah satu dari keduanya. Hal ini di riwayatkan oleh ali, ibnu mas’ud, ibrahim an-nakha’I, dan abu ja’far, al-baqir.
Sebagian ulama’ salaf mengatakan bahwa tangan pencuri tidak boleh di potong kecuali karena mencuri lima dirham atau lima puluh dirham. Pendapat ini di nukil dari sa’id ibnu jubair.
Sedangkan jumhur ulama’ membantah pegangan madzhab dzahiri yang bersandarkan kepada hadis abu hurairah yang mengatakan : “dia mencuri sebuah telur, maka tangannya di potong dan dia mencuri tali maka tangannya di potong”. Melalui jawaban-jawaban sebagai berikut :
Pertama : hadist tersebut telah di MANSUKH oleh hadis siti aisyah, tetapi sanggahan ini masih perlu di pertimbangkan, mengingat tarikh penanggalannya harus di jelaskan.
Kedua : makna lafzdz AL-BAIDAH dapat di interpretasikan dengan pengertian “TOPI BESI”, sedangkan tali yang di maksud adalah tali perahu. Demikianlah menurut alasan yang di kemukakan oleh al-amasy melalui Riwayat imam bukhori dan lain-lainnya, dari al-amasy.
Ketiga : bahwa hal ini merupakan sarana yang menunjukkan pengertian bertahap dalam menangani kasus pencurian yaitu di mulai dari sedikit sampai jumlahnya yang banyak, yang mengakibatkan pelakunya di kenai hukuman potong tangan karena mencuri sejumlah banyak itu.
Dapat di interpretasikan pula bahwa apa yang di sebutkan di dalam hadist merupakan suatu berita tentang keadaan yang pernah terjadi di masa jahiliyah. Mengingat mereka menjatuhkan hukum potong tangan dalam kasus pencurian, baik sedikit maupun banyak, maka si pencuri melakukannya karena dia menyerahkan tangannya yang mahal karena hanya sesuatu yang tidak berarti.
Mereka telah meriwayatkan bahwa abu ala al-ma’arri ketika tiba di baghdad di kenal telah mengemukakan suatu hal yang sulit menurutnya kepada fiqh karena mereka menetapkan NISOB pencurian seperempat dinar. Lalu ia menyusun sebuah sya’ir mengenai hal tersebut yang pada intinya menunjukkan kebodohannya sendiri dan keminiman pengetahuannya tentang agama.
Dia mengatakan : Diat (potong) tangan adalah limaratus kali dua keping emas, tetapi mengapa tangan di potong karena mencuri seperempat dinar?, ini suatu kontradiksi, tidak lain bagi kami kecuali diam terhadapnya dan memohon perlindungan kepada Tuhan kami dari siksa neraka. (Di Nukil Oleh Adz-dzahabi dalam kitab Syir ‘A’la An-Nubala’ Juz 18 Halaman 30)
Ketika abul ala mengucapkan sya’irnya itu dan sya’irnya di kenal orang, maka para ulama’ fiqh mencari-carinya, akhirnya dia melarikan diri dari kejaran mereka.
Kemudian orang-orang menjawab ucapan tersebut, jawaban yang di kemukakan oleh al-qadi abdul wahhab al-maliki yaitu manakala tangan dapat di percaya maka harganya mahal, dan manakala tangan berkhianat maka harganya menjadi murah.
Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa di dalam hukum tersebut (potong tangan) terkandung hikmah yang sempurna, maslahat dan rahasia syari’at yang besar. Karena sesungguhnya di dalam Bab “Tidak Pidana (Pelukaan)”. Sangatlah sesuai bila harga sebuah tangan di besarkan hingga lima ratus dinar, dengan maksud agar terjaga keselamatannya, tidak ada yang berani melakukannya. Sedangkan dalam Bab “Pencurian”. Sangatlah sesuai bila NISOB yang di wajibkan hukuman potong tangan adalah seperempat dinar, dengan maksud agar orang-orang tidak berani melakukan tindak pidana pencurian. Hal ini merupakan suatu hikmah yang sesungguhnya menurut pandangan orang-orang yang berakal.
Allah berfirman :”Sebagai pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah, dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (QS. Al-Maidah : 38). Yakni sebagai pembalasan atas perbuatan jahat yang di lakukan oleh kedua tangannya yang berani mengambil harta orang lain secara tidak sah. Maka sangatlah sesuai bila kedua tangan yang di pakai sebagai sarana untuk tindak pidana pencurian itu di potong.
Allah berfirman :”Sebagai siksaan dari Allah”. (QS. Al-Maidah : 38). Yaitu sebagai balasan dari Allah terhadap keduanya karena berani melakukan tindak pencurian.
Allah berfirman :”Dan Allah Maha Perkasa”. (QS. Al-Maidah : 38). Yakni dalam pembalasan-Nya.
Allah berfirman : “Lagi Maha Bijaksana”. (QS. Al-Maidah : 38). Yaitu dalam perintah dan larangan-Nya serta dalam syari’at dan takdir-Nya.
Sumber :
يقول تعالى حاكمًا وآمرًا بقطع يد السارق والسارقة، وروى الثوري عن جابر بن يزيد الجُعْفي، عن عامر بن شراحيل الشعبي؛ أن ابن مسعود كان يقرؤها: “والسارق والسارقة فاقطعوا أيمانهما”. وهذه قراءة شاذة، وإن كان الحكم عند جميع العلماء موافقًا لها، لا بها، بل هو مستفاد من دليل آخر.
وقد كان القطع معمولا به في الجاهلية، فقُرِّرَ في الإسلام وزيدت شروط أخَر، كما سنذكره إن شاء الله تعالى، كما كانت القسامة والدية والقرَاض وغير ذلك من الأشياء التي ورد الشرع بتقريرها على ما كانت عليه، وزيادات هي من تمام المصالح. ويقال: إن أول من قطع الأيدي في الجاهلية قريش، قطعوا رجلا يقال له: “دويك” مولى لبني مُلَيح بن عمرو من خُزَاعة، كان قد سرق كنز الكعبة، ويقال: سرقه قوم فوضعوه عنده.وقد ذهب بعض الفقهاء من أهل الظاهر إلى أنه متى سرق السارق شيئًا قطعت يده به، سواء كان قليلا أو كثيرًا؛ لعموم هذه الآية:{ وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا } فلم يعتبروا نصابًا ولا حِرْزًا، بل أخذوا بمجرد السرقة.
وقد روى ابن جرير وابن أبي حاتم من طريق عبد
المؤمن، عن نَجْدَة الحَنَفِي قال: سألت ابن عباس عن قوله: { وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا } أخاص أم عام؟فقال: ب عام.وهذا يحتمل أن يكون موافقة من ابن عباس لما ذهب إليه هؤلاء، ويحتمل غير ذلك، فالله أعلم.
وتمسكوا بما ثبت في الصحيحين، عن أبي هريرة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: “لَعَن الله السارق، يسرق البيضة فتقطع يده، ويسرق الحبل فتقطع يده”.
وأما الجمهور فاعتبروا النصاب في السرقة، وإن كان قد وقع بينهم الخلاف في قدره، فذهب كل من الأئمة الأربعة إلى قول على حِدَةٍ، فعند الإمام مالك بن أنس، رحمه الله: النصاب ثلاثة دراهم مضروبة خالصة، فمتى سرقها أو ما يبلغ ثمنها فما فوقها وجب القطع، واحتج في ذلك بما رواه عن نافع، عن ابن عمر؛ أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قطع في مِجَن ثمنه ثلاثة دراهم. أخرجاه في الصحيحين.
قال مالك، رحمه الله: وقطع عثمان، رضي الله عنه، في أتْرُجَّة قُوِّمَت بثلاثة دراهم، وهو أحب ما سمعت في ذلك. وهذا الأثر عن عثمان، رضي الله عنه، قد رواه مالك عن عبد الله بن أبي بكر، عن أبيه، عن عَمْرة بنت عبد الرحمن: أن سارقًا سرق في زمان عثمان أترجة، فأمر بها عثمان أن تُقَوم، فَقُومَت بثلاثة دراهم من صرف اثني عشر درهمًا بدينار، فقطع عثمان يده.
قال أصحاب مالك: ومثل هذا الصنيع يشتهر، ولم ينكر، فمن مثله يحكى الإجماع السُّكوتي، وفيه دلالة على القطع في الثمار خلافًا للحنفية. وعلى اعتبار ثلاثة دراهم خلافًا لهم في أنه لا بد من عشرة دراهم، وللشافعية في اعتبار ربع دينار، والله أعلم.
وذهب الشافعي، رحمه الله، إلى أن الاعتبار في قطع يد السارق بربع دينار أو ما يساويه من الأثمان أو العروض فصاعدًا. والحجة في ذلك ما أخرجه الشيخان: البخاري ومسلم، من طريق الزهري، عن عَمْرة، عن عائشة، رضي الله عنها؛ أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: “تقطع يد السارق في ربع دينار فصاعدا”.ولمسلم من طريق أبي بكر بن محمد بن عمرو بن حزم، عن عَمْرة، عن عائشة؛ أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: “لا تقطع يد السارق إلا في ربع دينار فصاعدا”
قال أصحابنا: فهذا الحديث فاصل في المسألة ونص في اعتبار ربع الدينار لا ما ساواه. قالوا: وحديث ثمن المجن، وأنه كان ثلاثة دراهم، لا ينافي هذا؛ لأنه إذ ذاك كان الدينار باثني عشردرهمًا، فهي ثمن ربع دينار، فأمكن الجمع بهذه الطريق.ويروى هذا المذهبُ عن عُمَر بن الخطاب، وعثمان بن عفان، وعلي بن أبي طالب، رضي الله عنهم. وبه يقول عمر بن عبد العزيز، والليث بن سعد، والأوزاعي، والشافعي، وأصحابه، وإسحاق بن راهويه -في رواية عنه-وأبو ثور، وداود بن علي الظاهري، رحمهم الله.
وذهب الإمام أحمد بن حنبل، وإسحاق بن راهويه -في رواية عنه-إلى أن كل واحد من ربع الدينار والثلاثة دراهم مَرَدٌ شرعي، فمن سرق واحدًا منهما، أو ما يساويه قطع عملا بحديث ابن عمر، وبحديث عائشة، رضي الله عنهما، ووقع في لفظ عند الإمام أحمد، عن عائشة [رضي الله عنها] أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: “اقطعوا في ربع دينار، ولا تقطعوا فيما هو أدنى من ذلك” وكان ربع الدينار يومئذ ثلاثة دراهم، والدينار اثني عشر درهمًا.
وفي لفظ للنسائي: لا تقطع يد السارق فيما دون ثمن المجن. قيل لعائشة: ما ثمن المجَن؟ قالت: ربع دينار.فهذه كلها نصوص دالة على عدم اشتراط عشرة دراهم، والله أعلم.وأما الإمام أبو حنيفة وأصحابه: أبو يوسف، ومحمد، وزُفَر، وكذا سفيان الثوري، رحمهم الله، فإنهم ذهبوا إلى أن النصاب عشرة دراهم مضروبة غير مغشوشة. واحتجوا بأن ثمن المجن الذي قطع فيه السارق على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم، كان ثمنه عشرة دراهم. وقد روى أبو بكر بن أبي شيبة: حدثنا ابن نُمَير وعبد الأعلى وعن محمد بن إسحاق، عن أيوب بن موسى، عن عطاء، عن ابن عباس قال: كان ثمن المجن على عهد النبي صلى الله عليه وسلم عشرة دراهم.ثم قال: حدثنا عبد الأعلى، عن محمد بن إسحاق، عن عمرو بن شعيب، عن أبيه، عن جده قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: لا تقطع يد السارق في دون ثمن المِجَن”. وكان ثمن المجن عشرة دراهم.
قالوا: فهذا ابن عباس وعبد الله بن عمرو قد خالفا ابن عمر في ثمن المجن، فالاحتياط الأخذ بالأكثر؛ لأن الحدود تدرأ بالشبهات.وذهب بعض السلف إلى أنه تُقْطَعُ يدُ السارق في عشرة دراهم، أو دينار، أو ما يبلغ قيمته واحدًا منهما، يحكى هذا عن علي، وابن مسعود، وإبراهيم النَّخَِي، وأبي جعفر الباقر، رحمهم الله تعالى.
وقال بعض السلف: لا تقطع الخمس إلا في خمس، أي: في خمسة دنانير، أو خمسين درهمًا. وينقل هذا عن سعيد بن جبير، رحمه الله.وقد أجاب الجمهور عما تمسك به الظاهرية من حديث أبي هريرة: “يَسْرقُ البيضة فتقطع يده، ويسرق الحبل فتقطع يده” بأجوبة:أحدها: أنه منسوخ بحديث عائشة. وفي هذا نظر؛ لأنه لا بد من بيان التاريخ.
والثاني: أنه مؤول ببيضة الحديد وحبل السفن، قاله الأعمش فيما حكاه البخاري وغيره عنه.
والثالث: أن هذا وسيلة إلى التدرج في السرقة من القليل إلى الكثير الذي تقطع فيه يده، ويحتمل أن يكون هذا خرج مخرج الإخبار عما كان الأمر عليه في الجاهلية، حيث كانوا يقطعون في القليل والكثير، فلعن السارق الذي يبذل يده الثمينة في الأشياء المهينة.وقد ذكروا أن أبا العلاء المَعرِّي، لما قدم بغداد، اشتهر عنه أنه أورد إشكالا على الفقهاء في جعلهم نصاب السرقة ربع دينار، ونظم في ذلك شعرًا دل على جهله، وقلة عقله فقال:يَدٌ بخمس مئين عسجد وديَتُ ما بالها قُطعَتْ في رُبْع دينار …تَناقض ما لنا إلا السكوت له … وأن نَعُوذ بمَوْلانا من النارِولما قال ذلك واشتهر عنه تَطَلّبه الفقهاء فهرب منهم. وقد أجابه الناس في ذلك، فكان جواب القاضي عبد الوهاب المالكي، رحمه الله، أنه قال: لما كانت أمينة كانت ثمينة، فلما خانت هانت.
ومنهم من قال: هذا من تمام الحكمة والمصلحة وأسرار الشريعة العظيمة، فإنه في باب الجنايات ناسب أن تعظم قيمة اليد بخمسمائة دينار لئلا يُجْنى عليها، وفي باب السرقة ناسب أن يكون القدر الذي تقطع فيه ربع دينار لئلا يتسارع الناس في سرقة الأموال، فهذا هو عين الحكمة عند ذوي الألباب؛ ولهذا قال [تعالى] { جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالا مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ } أي: مجازاة على صنيعهما السِّيئ في أخذهما أموال الناس بأيديهم، فناسب أن يقطع ما استعانا به في ذلك { نَكَالا مِنَ اللَّهِ } أي: تنكيلا من الله بهما على ارتكاب ذلك { وَاللَّهُ عَزِيزٌ } أي: في انتقامه { حِكِيمٌ } أي: في أمره ونهيه وشرعه وقدره.
(Lihat Kitab Tafsir Ibnu Katsir Juz 3 Halaman 107-110)