628. MAKALAH: Pola mereka terindoktrinisasi paham anti mazhab
Pola mereka terindoktrinisasi paham anti mazhab
Alhamdulillah, pagi yang cerah pada hari ini, 18 Nov 2011, kami “dicekal” dari sebuah perbincangan pada http://www.facebook.com/photo.php?fbid=188258381251356&set=a.161218643955330.41076.161132250630636 sehingga apa yang kami sampaikan hilang dari perbincangan di sana.
Kami sudah menyampaikan kepada mereka, bahwa apa yang mereka pahami pada saat ini belumlah pasti pemahaman Salafush Sholeh. Mereka adalah korban dari indoktrinisasi para ulama yang mengaku-aku bahwa apa yang mereka sampaikan adalah pemahaman Salafush Sholeh.
Memang ulama mereka membaca Al Qur’an , Tafsir bil Matsur, Hadits Shohih, Sunan, Musnad, lalu ulama mereka pun berjtihad dengan pendapat mereka. Apa yang ulama mereka katakan tentang kitab-kitab tersebut, pada hakikatnya adalah hasil ijtihad dan ra’yu ulama mereka sendiri. Sumbernya memang Quran dan Sunnah, tapi apa yang ulama-ulama mereka sampaikan semata-mata lahir dari kepala mereka sendiri. Setiap upaya pemahaman bisa benar dan bisa pula salah, yang pasti benar hanyalah lafaz/nash Al Qu’ran dan Hadits
Kesalahpahaman besar telah terjadi ketika ulama-ulama mereka mengatakan bahwa apa yang mereka pahami dan sampaikan adalah pemahaman Salafush Sholeh. Jika apa yang ulama mereka pahami dan sampaikan sesuai dengan pemahaman Salafush Sholeh tentu tidaklah masalah namun ketika apa yang ulama mereka pahami dan sampaikan tidak sesuai dengan pemahaman sebenarnya Salafush Sholeh maka pada hakikatnya ini termasuk fitnah terhadap para Salafush Sholeh. Fitnah akhir zaman.
Ada pelajaran yang cukup menarik yang dapat kami ambil dari perbincangan di sana yang dapat menjawab pertanyaan kami selama ini yakni bagaimana pola indoktrinisasi sehingga mereka terjerumus kedalam gerakan paham anti mazhab yang dihembuskan oleh kaum Yahudi yang pada masa kini khususnya dipimpin oleh Zionis Yahudi.
Kami dapatkan dari pertanyaan mereka yakni,
*****awal kutipan*****
“Ayat al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam ada yang bersifat umum dan ada juga yang bersifat khusus. Jika kita menemukan suatu dalil yang bersifat umum bagaimana cara kita mengembalikannya?
Apakah dalil tersebut kita kembalikan kepada ulama Salaf yakni para Shahabat dan Tabi’in atau dengan pemahaman ulama Khalaf? Atau dengan pemahaman kita sendiri?
*****akhir kutipan*****
Dari pertanyaan mereka dapat kita ketahui bahwa mereka tentu akan menjawab “kembalikan kepada ulama Salaf”. Mereka tidak akan menjawab mengembalikan kepada pemahaman sendiri dan juga mereka telah diindoktrinisasi untuk meninggalkan pemahaman ulama Khalaf yang umumnya adalah para ulama yang sholeh pengikut Imam Mazhab. Padahal tidak ada hubungannya antara upaya pemahaman dengan zaman kehidupan atau generasi seperti yang diuraikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/07/26/khalaf-yang-sholeh/
Permasalahannya adalah apa yang mereka maksud dengan “kembalikan kepada ulama Salaf” sedangkan kita tentu tidak dapat lagi bertemu dengan ulama Salaf. Pada saat ini yang tertinggal adalah lafaz/tulisan perkataan atau pendapat ulama Salaf yang perlu upaya pemahaman lebih lanjut. Hal ini telah kami uraikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/10/13/perlu-pemahaman-lanjut/
Mereka katakan “kembalikan kepada ulama Salaf” namun pada kenyataannya mereka mengembalikan kepada ulama-ulama mereka yang berupaya memahami tulisan/lafaz perkataan atau pendapat ulama Salaf dimana setiap upaya pemahaman bisa benar dan bisa pula salah.
Fitnah akhir zaman secara tidak disadari oleh mereka terjadi dikarenakan mengatasnamakan pemahaman (kaum) sendiri sebagai pemahaman Salafush Sholeh. Akibatnya kaum muslim yang awam menjadi terpedaya, sehingga mereka merasa meyakini sebuah kebenaran terhadap apa yang disampaikan oleh ulama yang mengaku-aku bahwa apa yang disampaikan adalah pemahaman Salafush Sholeh
Mereka terindoktrinisasi gerakan anti mazhab dengan mencitrakan buruk terhadap ulama khalaf yang merupakan ulama-ulama pengikut para Imam Mazhab. Mereka diarahkan untuk mengikuti pemahaman ulama-ulama mereka yang tidak dikenal berkompetensi sebagai Imam Mazhab yang mutlak.
Contohnya mereka tidak dapat memahami dengan baik apa yang dimaksud sunnah hasanah dan sunnah sayyiah sehingga boleh jadi mereka terjerumus kesyirikan sebagaimana yang dinginkan oleh kaum Zionis Yahudi. Hal ini telah diuraikan dalam tulisan sebelumnya pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/10/16/terjerumus-kesyirikan/
Begitupula upaya kaum Zionis Yahudi mengangkat kembali pola pemahaman ala pemahaman Ibnu Taimiyyah yakni pemahaman secara dzahir atau harfiah atau dengan metodologi “terjemahkan saja” sehingga segelintir umat Islam terjerumus pada kekufuran dalam i’tiqod. Padahal pada akhir hidupnya ulama Ibnu Taimiyyah telah bertobat dari kesalahpahamannya dalam i’tiqod.
Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H/1182 M) dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad, “Sunu ‘Aqaidakum Minat Tamassuki Bi Dzahiri Ma Tasyabaha Minal Kitabi Was Sunnati Lianna Dzalika Min Ushulil Kufri”, “Jagalah aqidahmu dari berpegang dengan dzahir ayat dan hadis mutasyabihat, karena hal itu salah satu pangkal kekufuran”.
Imam besar ahli hadis dan tafsir, Jalaluddin As-Suyuthi dalam “Tanbiat Al-Ghabiy Bi Tabriat Ibn ‘Arabi” mengatakan “Ia (ayat-ayat mutasyabihat) memiliki makna-makna khusus yang berbeda dengan makna yang dipahami oleh orang biasa. Barangsiapa memahami kata wajh Allah, yad , ain dan istiwa sebagaimana makna yang selama ini diketahui (wajah Allah, tangan, mata, bertempat), ia kafir secara pasti.”
Dapatlah kita ketahui adanya gerakan anti mazhab dengan “kemasan slogan” agar umat Islam merujuk kepada Al Qur’an dan Hadits dengan pemahaman masing-masing tanpa mempedulikan kompetensi sebagai mujtahid.
Berdasarkan analisa kami, ada dua gerakan yang ditempuh oleh Zionis Yahudi untuk meruntuhkan kaum muslim dari dalam dengan teknik ghazwul fikri (perang pemahaman) yakni gerakan anti mazhab seperti uraian di atas dan gerakan anti tharikat (tasawuf).
Salah satunya adalah perwira Yahudi Inggris bernama Edward Terrence Lawrence yang dikenal oleh ulama jazirah Arab sebagai Laurens Of Arabian. Laurens menyelidiki dimana letak kekuatan umat Islam dan berkesimpulan bahwa kekuatan umat Islam terletak kepada ketaatan dengan mazhab (bermazhab) dan istiqomah mengikuti tharikat-tharikat tasawuf.
Laurens telah membuktikan hujjahnya dengan sejarah, bagaimana gerakan tarikat Idrisiah di Maghribi (Maroko) berhasil dengan gemilang merebut kemerdekaan dari penjajajah. Raja-raja kerajaan Osmaniah dan para tentaranya adalah terdiri dari ahli-ahli tharikat. Mereka berkhalwatbeberapa hari sebelum keluar berperang.
Selain itu pihak orientalis atas arahan pihak kolonial telah menyelidiki juga tharikat-tharikat, antara lain Idrisiah di Libya dan beberapa negara Islam lainnya, termasuk kepulauan Melayu oleh Snouck Hurgronje orientalis Belanda di Indonesia.
Hasil kajian dan laporan yang diberikan kepada pemerintah kolonial itulah yang menyebabkan lahirnya kecurigaan terhadap gerakan tharikat dalam Islam. Pihak penjajajah memandang gerakan tharikat berbahaya bagi kekuasaan mereka. Untuk menyekat dan menghapuskannya, Prof. Haji Abu Bakar Acheh dalam bukunya Syariat telah menyampaikan puncak timbulnya ordinan’s guru tahun 1925 di Indonesia. Melalui ordinan’s itu katanya, bagi guru-guru agama yang hendak mengajar agama terutamanya bidang tarikat hendaklah mendaftarkan diri dan mendaftarkan sekaligus kitab-kitab yang hendak diajarkan.
Laurens mengupah seorang ulama yang anti tharikat dan anti mazhab untuk menulis sebuah buku yang menyerang tarikat dan mazhab. Buku tersebut diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dan dibiayai oleh pihak orientalis. Beberapa saat kemudian kerajaan Arab Saudi setelah diambil alih oleh pemimpin yang bermazhab Wahabiah telah mengharamkan Tasauf (Tharikat) serta termasuk gerakan anti mazhab.
Selain menggunakan media masa (buku dan majalah) untuk menghapuskan tharikat sufi, pihak musuh Islam juga menggunakan berbagai cara lain, diantaranya mereka menciptakan tharikat sesat (palsu) dan menyelewengkan tharikat yang sebenarnya dengan menyelundupkan ajaran-ajaran mereka ke dalam gerakan tharikat. Ajaran mereka itulah yang mendakwa konon mendapat wahyu, dilantik menjadi nabi, menjadi Nabi Isa, Imam Mahdi dan lain sebagainya. Di antaranya yang jelas kepada kita adalah gerakan Qadiani, Bahai, Ismailiah di India, pimpinan Agha Khan dll.
Gerakan tharikat sesat (palsu) telah dikembangkan di seluruh dunia dan ini menjadi alasan bagi ulama anti tharikat untuk menguatkan hujjah mereka bahwa tharikat bukanlah ajaran Islam termasuk bertawassul itu suatu perbuatan sirik. Gerakan tharikat sesat tersebut tidak mustahil datang (tersebar) di negara kita sehingga merusak tharikat yang sebenarnya. Akibatnya pihak yang berwenang melakukan penyelidikan atas tharikat sesat tersebut kemudian membuat kesimpulan menyalahkan semua tharikat-tharikat yang ada termasuk tharikat yang haq.
Abuya Prof. DR. Assayyid Muhammad bin Alwi Almaliki Alhasani dalam makalahnya dalam pertemuan nasional dan dialog pemikiran yang kedua, 5 s.d. 9 Dzulqo’dah 1424 H di Makkah al Mukarromah, menyampaikan bahwa dalam kurikulum tauhid kelas tiga Tsanawiyah (SLTP) cetakan tahun 1424 Hijriyyah di Arab Saudi berisi klaim dan pernyataan bahwa kelompok Sufiyyah (aliran–aliran tasawuf) adalah syirik dan keluar dari agama. Kutipan makalah selengkapnya ada pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/08/18/ekstrem-dalam-pemikiran-agama/
Merekapun menyusun kurikulum pendidikan bekerjasama dengan Amerika yang dibelakangnya adalah kaum Zionis Yahudi. Hal ini terurai dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/02/07/muslim-bukanlah-ekstrimis/
Pada hakekatnya gerakan anti tharikat (tasawuf) adalah gerakan penjauhan umat Islam dari pengetahuan tentang akhlak atau tentang Ihsan atau menjauhkan umat Islam dari berakhlak baik. Tasawuf adalah tentang akhlak atau tentang Ihsan.
Para ulama Sufi setelah mereka memenuhi perkara syariat, berupaya memperjalankan diri mereka agar sampai (wushul) kepada Allah ta’ala atau dengan kata lain berupaya mengungkapkan apa yang dimaksud dengan firman Allah ta’ala seperti yang artinya, “Aku adalah dekat“.( Al Baqarah [2]:186 ).
“Dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada kamu. Tetapi kamu tidak melihat” (QS Al-Waqi’ah [56]: 85 ).
“Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” (QS. Qaaf [50] :16 )
Para ulama sufi banyak mengambil pelajaran dari Imam Sayyidina Ali ra untuk dapat berma’rifat ditengah umumnya kaum muslim menghindari mendalami apa yang disampaikan khataman Khulafaur Rasyidin karena takut dianggap termasuk kaum Syiah khususnya kaum Syiah yang terkena ghazwul fikri dari orang Yahudi.
Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib Al-Yamani,
“Apakah Anda pernah melihat Tuhan?”
Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?”
“Bagaimana Anda melihat-Nya?” tanyanya kembali.
Sayyidina Ali ra menjawab “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan manusia yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati”
Tasawuf adalah tentang Ihsan atau tentang akhlak yang berupaya memperjalankan diri mereka sehingga bertemu dan melihat Allah ta’ala dengan hati. Sejak dahulu kala di perguruan-perguruan Islam kurikulum Tasawuf terkait dengan akhlak.
Target mereka yang menjalankan Tasawuf adalah berma’rifat, namun sebelum tercapai mereka selalu merasa diawasi/dilihat oleh Allah Azza wa Jalla sehingga mereka mencapai muslim yang ihsan atau muslim yang berakhlak baik. Mereka takut kepada Allah jika mereka melakukan perbuatan keji dan mungkar.
قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا الْإِحْسَانُ قَالَ أَنْ تَخْشَى اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنَّكَ إِنْ لَا تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
Lalu dia bertanya lagi, ‘Wahai Rasulullah, apakah ihsan itu? ‘ Beliau menjawab, ‘Kamu takut (takhsya / khasyyah) kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya, maka jika kamu tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu.’ (HR Muslim 11) Link: http://www.indoquran.com/index.php?surano=2&ayatno=3&action=display&option=com_muslim
Barangsiapa yang merasa diawasi Allah -Maha Agung sifatNya atau mereka yang dapat melihat Rabb atau muslim yang Ihsan (muslim yang baik , muslim yang sholeh) – , maka ia mencegah dirinya dari melakukan sesuatu yang dibenciNya, sehingga ia tidak berzina, tidak korupsi, tidak zalim dalam kepemimpinan, tidak melakukan riba, tidak dengki, tidak iri, tidak mencela/menghujat/mengolok-olok saudara muslimnya sendiri, tidak menunda hak-hak manusia, tidak menyia-nyiakan hak keluarganya, familinya, tetangganya, kerabat dekatnya, dan orang-orang senegerinya serta tidak melakukan perbuatan keji dan mungkar lainnnya
Dari upaya menjauhkan umat Islam dari tasawuf atau tentang Ihsan (akhlak) maka terbentuklah segelintir umat Islam yang takut kepada neraka namun tidak takut karena diawasi/dilihat oleh Allah Azza wa Jalla sehingga mereka berakhlak tidak baik, melakukan perbuatan keji dan mungkar, seperti contohnya mencela, memperolok-olok, menghujat saudara muslim sendiri. Begitupula mereka mencekal kami dari sebuah perbincangan adalah perbuatan zalim (tidak adil) sehingga kami terhambat untuk meluruskan pemahaman-pemahaman kelompok mereka. Semuanya kami kembalikan kepada Allah Ar Rahmaan Ar Rahiim.
Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830