641. MAKALAH: Sedekah dengan membaca Al Fatihah bagi orang yang telah meninggal dunia

641. MAKALAH: Sedekah dengan membaca Al Fatihah bagi orang yang telah meninggal dunia
Sedekah dengan membaca Al Fatihah bagi orang yang telah meninggal dunia
Mereka masih saja mempertanyakan sedekah dengan membaca Al Fatihah bagi orang yang telah meninggal dunia.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah menyampaikan bahwa kita boleh bersedekah atas nama orang yang telah meninggal dunia
حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ قَالَ حَدَّثَنِي مَالِكٌ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ أُمِّي افْتُلِتَتْ نَفْسُهَا وَأُرَاهَا لَوْ تَكَلَّمَتْ تَصَدَّقَتْ أَفَأَتَصَدَّقُ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ تَصَدَّقْ عَنْهَا 
Telah bercerita kepada kami Isma’il berkata telah bercerita kepadaku Malik dari Hisyam bin ‘Urwah dari bapaknya dari ‘Aisyah radliallahu ‘anhabahwa ada seorang laki-laki yang berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam: Sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia secara mendadak dan aku menduga seandainya dia sempat berbicara dia akan bershadaqah. Apakah aku boleh bershadaqah atas namanya? Beliau menjawab: Ya bershodaqolah atasnya. (HR Muslim 2554)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah menyampaikan bahwa sedekah tidak selalu dalam bentuk harta
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ أَسْمَاءَ الضُّبَعِيُّ حَدَّثَنَا مَهْدِيُّ بْنُ مَيْمُونٍ حَدَّثَنَا وَاصِلٌ مَوْلَى أَبِي عُيَيْنَةَ عَنْ يَحْيَى بْنِ عُقَيْلٍ عَنْ يَحْيَى بْنِ يَعْمَرَ عَنْ أَبِي الْأَسْوَدِ الدِّيلِيِّ عَنْ أَبِي ذَرٍّ أَنَّ نَاسًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالُوا لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا رَسُولَ اللَّهِ ذَهَبَ أَهْلُ الدُّثُورِ بِالْأُجُورِ يُصَلُّونَ كَمَا نُصَلِّي وَيَصُومُونَ كَمَا نَصُومُ وَيَتَصَدَّقُونَ بِفُضُولِ أَمْوَالِهِمْ قَالَ أَوَ لَيْسَ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ مَا تَصَّدَّقُونَ إِنَّ بِكُلِّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةً وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْيٌ عَنْ مُنْكَرٍ صَدَقَةٌ 
Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Muhammad bin Asma` Adl Dluba’i Telah menceritakan kepada kami Mahdi bin Maimun Telah menceritakan kepada kami Washil maula Abu Uyainah, dari Yahya bin Uqail dari Yahya bin Ya’mar dari Abul Aswad Ad Dili dari Abu Dzar bahwa beberapa orang dari sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepada beliau, Wahai Rosulullah, orang-orang kaya dapat memperolehpahala yang lebih banyak. Mereka shalat seperti kami shalat, puasa seperti kami puasa dan bersedekah dengan sisa harta mereka. Maka beliau pun bersabda: Bukankah Allah telah menjadikan berbagai macam cara kepada kalian untuk bersedekah? Setiap kalimat tasbih adalah sedekah, setiap kalimat takbir adalah sedekah, setiap kalimat tahmid adalah sedekah, setiap kalimat tahlil adalah sedekah, amar ma’ruf nahi munkar adalah sedekah (HR Muslim 1674)
Kita boleh bersedekah dengan dzikrullah yakni  tasbih, takbir, tahmid, tahlil, membaca Al Fatihah, membaca Yasin,  bahkan mengkhatamkan Al Qur’an.
Mereka membantah dengan pendapat masyhur (pendapat secara umum) Imam As Syafi’i bahwa pahala bacaan tidak sampai. Padahal ada penjelasan pahala bacaan yang bagaimana yang tidak sampai.
Al Imam An Nawawi adalah murid Al Imam Syafi’i yang bersambung sanadnya kepada beliau, maka kita mengambil pendapat dari muridnya karena muridnya lebih tahu disaat seperti ketika Al Imam Syafi’i berbicara, sebagaimana yang diriwayatkan berikut,
*****awal kutipan*****
Suatu waktu Al Imam Syafi’i ditanya oleh seseorang yang kaya raya, dia berkata: “wahai Al Imam, aku berjima’ dengan istriku di siang hari bulan Ramadhan, apa yang harusnya aku lakukan?”,
maka Al Imam berkata : “berpuasalah 2 bulan berturut-turut, dan jika terputus sehari saja maka harus diulang kembali dari awal”,
maka orang itu berkata : “tidak ada yang lain kah”, Al Imam menjawab : “tidak ada”.
Kemudian datang seorang miskin dan bertanya : “wahai Al imam, aku berjima’ dengan istriku di siang hari bulan Ramadhan, apa yang harus aku perbuat?”
Al Imam menjawab : “berilah makan 60 orang miskin”, orang itu berkata : “ tidak ada yang lainkah wahai Al Imam?”, Al Imam Syafi’I menjawab : “tidak ada”.
Maka muridnya bertanya : “ wahai Al Imam mengapa engkau katakan demikian kepada orang yang bertanya, padahal memberi makan 60 orang miskin atau berpuasa 2 bulan berturut-turut keduanya bisa dilakukan?!”,
maka Al Imam berkata : “karena orang yang pertama adalah orang yang kaya raya, jika dikatakan kepadanya agar memberi makan 60 orang miskin maka bisa jadi ia akan berkumpul dengan istrinya setiap hari di siang bulan ramadhan, dan orang yang kedua karena dia orang miskin jika disuruh puasa maka hal itu sangat mudah baginya karena ia telah terbiasa dengan keadaan lapar setiap harinya, maka disuruh agar memberi makan 60 orang miskin, dan hal ini sulit baginya namun supaya tidak diulanginya lagi perbuatan itu”.
Demikian fatwa Al Imam Syafi’i, maka Al Imam mengatakan bahwa bacaan Al Qur’an tidak sampai kepada yang wafat, karena orang-orang kaya yang di masa itu jauh hari sebelum mereka wafat, mereka akan membayar orang-orang agar jika ia telah wafat mereka menghatamkan Al Qur’an berkali-kali dan pahalanya untuknya, maka Al Imam Syafi’i mengatakan bahwa pahala bacaan Al qur’an tidak bisa sampai kepada yang wafat.
*****akhir kutipan*****
Jadi syarat sampai pahala bacaan tergantung niat (hati), kalau niat tidak lurus seperti niat “jual-beli” maka pahala bacaan tidak akan sampai.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupa kalian, tetapi Allah melihat kepada hati kalian.” (HR Muslim)
Hal senada juga diungkapkan oleh Syaikh Ahmad bin Qasim al-Ubadi dalam hasyiah Tuhfatul Muhtaj Jilid VII/74 :
Kesimpulan bahwa jika seseorang meniatkan pahala bacaan kepada mayyit atau dia mendoakan sampainya pahala bacaan itu kepada mayyit sesudah membaca Al-qur’an atau dia membaca disamping kuburnya, maka hasillah bagi mayyit itu seumpama pahala bacaannya dan hasil pula pahala bagi orang yang membacanya ”.  
Kemudian mereka mempertentangkan dengan mempertanyakan kaitannya dengan firman Allah ta’ala yang artinya,  “(yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain, dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya” (QS An Najm [53] : 38-39)
Kita paham bahwa bahwa dosa seseorang tidak akan dipikul oleh orang lain namun kebaikan yang diusahakan oleh  seseorang dapat diniatkan disedekahkan kepada orang lain tanpa mengurangi kebaikan (pahala)  bagi orang yang telah melakukan kebaikan. Ayat tersebut hanya menafikan kepemilikan seseorang terhadap usaha orang lain. Allah Subhanahu wa ta’ala  hanya mengabarkan bahwa orang itu tidak akan memiliki kecuali apa yang diusahakan sendiri.  Adapun usaha orang lain, maka itu adalah milik bagi siapa yang mengusahakannya. Jika dia mau, maka dia boleh memberikannya (mensedekahkan) kepada orang lain dan pula jika ia mau, dia boleh menetapkannya untuk dirinya sendiri. (jadi huruf “lam” pada lafadz “lil insani” itu adalah “lil istihqaq” yakni menunjukan arti “milik”)
Mereka juga mempertentangkan dengan mempertanyakan kaitannya dengan hadit yang lain
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Apabila salah seorang manusia meninggal dunia, maka terputuslah segala amalannya kecuali tiga perkara; sedekah jariyah, ilmu yang bermanfa’at baginya dan anak shalih yang selalu mendoakannya.” (HR Muslim 3084)
Menurut mereka sedekah atas nama si mayyit hanya sampai bila yang mensedekahkan anaknya sendiri.
Pertanyaannya kalau sedekah sampai kepada si mayyit hanya dari anak si mayyit, bagaimana kalau yang bersedekah adalah keluarga si mayyit  dan bagaimapula sampainya doa kaum muslim yang mensholat jenazahkan si mayyit ?
Sampai doa ataupun sedekah kaum muslim lainnya kepada si mayyit atas silaturrahmi yang dijalankan si mayyit sewaktu hidup. Selengkapnya telah diuraikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/10/27/2011/09/22/sampai-karena-silaturrahim/
Begitupula para ulama menyatakan bahwa do’a dalam shalat jenazah maupun sedekah dari kaum muslim lainnya bermanfaat bagi si mayyit. Contoh, bebasnya utang mayyit yang ditanggung oleh orang lain sekalipun bukan keluarga. Ini berdasarkan hadits Abu Qotadah dimana ia telah menjamin untuk membayar hutang seorang mayyit sebanyak dua dinar. Ketika ia telah membayarnya Nabi bersabda: “Sekarang engkau telah mendinginkan kulitnya” (HR Ahmad)
Senada dengan apa yang disampaikan dalam syarah Thahawiyah hal. 456 bahwa sangat keliru berdalil dengan hadist tersebut untuk menolak sampainya pahala kepada orang yang sudah mati karena dalam hadits tersebut tidak dikatakan : “inqata’a intifa’uhu (terputus keadaannya untuk memperoleh manfaat). Hadits itu hanya mengatakan “inqatha’a ‘amaluhu (terputus amalnya)”. Adapun amal orang lain, maka itu adalah milik (haq) dari amil yakni orang yang mengamalkan itu kepadanya maka akan sampailah pahala orang yang mengamalkan itu kepadanya. Jadi sampai itu pahala amal si mayyit itu. Hal ini sama dengan orang yang berhutang lalu dibayarkan oleh orang lain, maka bebaslah dia dari tanggungan hutang. Akan tetapi bukanlah yang dipakai membayar utang itu miliknya. Jadi terbayarlah hutang itu bukan oleh dia telah memperoleh manfaat (intifa’) dari orang lain.
Tidak ada pertentangan antara Al Qur’an dengan As Sunnah maupun pertentangan di dalam Al Qur’an atau di dalam As Sunnah.
Firman Allah Azza wa Jalla,
أَفَلاَ يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِندِ غَيْرِ اللّهِ لَوَجَدُواْ فِيهِ اخْتِلاَفاً كَثِيراً
Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur’an ? Kalau kiranya Al Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (QS An Nisaa 4 : 82)
Firman Allah ta’ala  dalam (QS An Nisaa 4 : 82) menjelaskan bahwa dijamin tidak ada pertentangan di dalam Al Qur’an. Jikalau manusia mendapatkan adanya pertentangan di dalam Al Qur’an maka pastilah yang salah adalah pemahaman mereka atau karena ketidaktahuan.
Kita tidak boleh memahami Al Qur’an dan Hadits hanya bersandarkan dengan pemahaman secara ilmiah yakni pemahaman menggunakan akal pikiran (otak/ratio/akal) dan memori. Contoh bagaimana akal pikiran tidak akan bisa menerima bahwa membaca Al Fatihah dapat digunakan untuk mengobati penyakit.
Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya At Tamimi; Telah mengabarkan kepada kami Husyaim dari Abu Bisyr dari Abu Al Mutawakkildari Abu Sa’id Al Khudri bahwa beberapa orang sahabat melakukan perjalanan jauh dan berhenti untuk istirahat pada salah satu perkampungan ‘Arab, lalu mereka minta dijamu oleh penduduk kampung itu. Tetapi penduduk enggan menjamu mereka. Penduduk bertanya kepada para sahabat; ‘Adakah di antara tuan-tuan yang pandai mantera? Kepala kampung kami digigit serangga.’ Menjawab seorang sahabat; ‘Ya, ada! Kemudian dia mendatangi kepala kampung itu dan memanterainya dengan membaca surat Al Fatihah. Maka kepala kampung itu pun sembuh. Kemudian dia diberi upah kurang lebih tiga puluh ekor kambing. Tetapi dia enggan menerima seraya mengatakan; ‘Tunggu! Aku akan menanyakannya lebih dahulu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, apakah aku boleh menerimanya.’ Lalu dia datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menanyakannya hal itu, katanya; ‘Ya, Rasulullah! Demi Allah, aku telah memanterai seseorang dengan membacakan surat Al Fatihah.’ Beliau tersenyum mendengar cerita sahabatnya dan bertanya: ‘Bagaimana engkau tahu Al Fatihah itu mantera? ‘ Kemudian sabda beliau pula: ‘Terimalah pemberian mereka itu, dan berilah aku bagian bersama-sama denganmu.’ Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basysyar dan Abu Bakr bin Nafi’ keduanya dari Ghundar Muhammad bin Ja’far dari Syu’bah dari Abu Bisyr melalui jalur ini, dia menyebutkan di dalam Haditsnya; ‘Kemudian orang itu mulai membacakan Ummul Qur’an, dan mengumpulkan ludahnya lalu memuntahkannya, setelah itu orang itu sembuh. (HR Muslim 4080) Link: http://www.indoquran.com/index.php?surano=40&ayatno=62&action=display&option=com_muslim 
Kalau kita ketahui terjemahan ayat-ayat Al Fatihah maka secara harfiah (dzahir) tidak akan ditemukan kaitannya dengan “penyembuhan” penyakit
Kita sebaiknya memahami Al Qur’an dan Hadits dengan akal qalbu(hati / lubb) sebagaimana Ulil Albab. Hali ini telah kami uraikan dalam tulisan pada
Pemahaman secara ilmiah dapat membuat mereka mengingkari pendapat Imam Al-Baihaqy, Imam An-Nawawy dan Ibnu Hajar tentang sifat-sifat Allah, sebagaimana telah terurai dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/08/23/2011/09/07/klaim-mereka/
Pemahaman secara ilmiah dapat membuat ulama mereka mengingkari hadits Rasulullah seperti
Rasulullah bersabda “Barangsiapa yang shalatnya tidak mencegah dari perbuatan keji dan mungkar, maka ia tidak bertambah dari Allah kecuali semakin jauh dariNya” (diriwayatkan oleh ath Thabarani dalam al-Kabir nomor 11025, 11/46)
Hal ini telah diuraikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/09/22/sebaik-baik-manusia/
Semakin hari semakin parah , adanya ulama-ulama memperlakukan perkataan Rasulullah bagaikan perkataan atau tulisan ilmiah semata. Semua karena mereka memahaminya secara dzahir, dengan akal pikiran (otak/rasio/logika) dan memori (ingatan) semata. Kita dapat temukan  adanya ulama-ulama yang memperolok-olok “ila hadoroti”. Inilah yang dinamakan fitnah akhir zaman.
Sebaiknyalah kita ingat peringatan Allah Azza wa Jalla dalam firmanNya yang artinya,
Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan“. (QS Luqman [31]:6)
Sebaiknya janganlah kita merujuk kepada Al Qur’an dan Hadits dengan akal pikiran masing-masing dan jangan pula mengikuti ulama-ulama yang tidak jujur karena tidak mau mengakui bahwa apa yang mereka sampaikan adalah upaya pemahaman (ijtihad) mereka sendiri malahan mereka mengatasnamakan pemahaman mereka sebagai pemahaman Salafush Sholeh sehingga muslim yang awam akan mengira bahwa setiap apa yang mereka sampaikan adalah pasti kebenaran. Kita harus ingat setiap upaya penterjemahan, penafsiran, pemahaman Al Qur’an dan Hadits, bisa benar dan bisa pula salah.
Marilah kita dalam memahami Al Qur’an dan Hadits mengikuti atau berpedoman dengan pendapat atau pemahaman para Imam Mazhab dan penejelasan dari para pengikutnya sambil kita merujuk kepada Al Qur’an dan Hadits. Janganlah kita melakukan hal sebaliknya memahami Al Qur’an dan Hadits dengan akal pikiran masing-masing lalu membandingkannya dengan pendapat atau pemahaman para Imam Mazhab karena kita belem tentu berkompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak
Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830

Pos terkait