804. MAKALAH : Siapakah sebenarnya yang mereka ikuti

Dalam tulisan kami sebelumnya pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/09/07/klaim-mereka/ telah disampaikan oleh Fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah lil Buhuts Al-’Ilmiyyah wal Ifta` (Komite Tetap untuk Riset Ilmiah dan Fatwa)  kerajaan dinasti Saudi bahwa Imam Baihaqi, Imam Nawawi maupun Ibnu Hajar dalam memahami ayat-ayat mutasyabihat tentang sifat Allah telah terjatuh/tergelincir pada penakwilan terhadap  sifat-sifat Allah. Pendapat mereka bahwa pemahaman tersebut tidak sesuai dengan pemahaman Salafush Sholeh. Pada kenyataanya yang dimaksud oleh mereka tidak sesuai dengan pemahaman Salafush Sholeh adalah tidak sesuai dengan pemahaman ulama Ibnu Taimiyyah dan para pengikutnya  dalam memahami lafaz/tulisan perkataan Salafush Sholeh. 
Pemahaman ulama Ibnu Taimiyyah dan para pengikutnya dengan istilah mereka sebagai “tanpa tahrif , tanpa tathil, tanpa tamstil/tasybih dan tanpa takyif”  pada dasarnya adalah memahami ayat-ayat mutasyabihat tentang sifat Allah berdasarkan pemahaman secara dzahir atau secara harfiah yang kami sebut sebagai pemahaman dengan metodologi “terjemahkan saja” sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/09/07/2011/02/02/terjemahkan-saja/  Padahal ulama-ulama terdahulu telah memperingatkan kita antara lain
Imam besar ahli hadis dan tafsir, Jalaluddin As-Suyuthi dalam “Tanbiat Al-Ghabiy Bi Tabriat Ibn ‘Arabi” mengatakan “Ia (ayat-ayat mutasyabihat) memiliki makna-makna khusus yang berbeda dengan makna yang dipahami oleh orang biasa. Barangsiapa memahami kata wajh Allah, yad , ain dan istiwa sebagaimana makna yang selama ini diketahui (wajah Allah, tangan, mata, bertempat), ia kafir secara pasti.”
Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H/1182 M) dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad, “Sunu ‘Aqaidakum Minat Tamassuki Bi Dzahiri Ma Tasyabaha Minal Kitabi Was Sunnati Lianna Dzalika Min Ushulil Kufri”, “Jagalah aqidahmu dari berpegang dengan dzahir ayat dan hadis mutasyabihat, karena hal itu salah satu pangkal kekufuran”.
Begitupula kita seharusnya memperhatikan peringatan yang disampaikan oleh khataman Khulafaur Rasyidin, Imam Sayyidina Ali ra dalam riwayat berikut,
Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra berkata : “Sebagian golongan dari umat Islam ini ketika kiamat telah dekat akan kembali menjadi orang-orang kafir.“
Seseorang bertanya kepadanya : “Wahai Amirul Mukminin apakah sebab kekufuran mereka? Adakah karena membuat ajaran baru atau karena pengingkaran?”
Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra menjawab : “Mereka menjadi kafir karena pengingkaran. Mereka mengingkari Pencipta mereka (Allah Subhanahu wa ta’ala) dan mensifati-Nya dengan sifat-sifat benda dan anggota-anggota badan.” (Imam Ibn Al-Mu’allim Al-Qurasyi (w. 725 H) dalam Kitab Najm Al-Muhtadi Wa Rajm Al-Mu’tadi).
Tulisan kali ini menyoroti kembali fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah lil Buhuts Al-’Ilmiyyah wal Ifta` (Komite Tetap untuk Riset Ilmiah dan Fatwa)  kerajaan dinasti Saudi   yang disampaikan oleh Ustadz Abu Karimah ‘Askari bin Jamal Al Bugisi, Murid Ulama Muqbil bin Hadi Al Wadi’i, Yaman. Ustadz Abu Karimah ‘Askari adalah yang berselisih pemahaman dengan ustadz Firanda walaupun mereka berdua sama mengaku-aku mengikuti pemahaman  Salafush Sholeh sebagaimana terurai dalam tulisan pada http://www.salafybpp.com/categoryblog/97-dusta-firanda-ditengah-badai-fitnah-yang-sedang-melanda-bag1.html  
Fatwa Komite Tetap untuk Riset Ilmiah dan Fatwa  yang disampaikan oleh Ustadz Abu Karimah, kami ambil dari dari situs : http://www.darussalaf.or.id/stories.php?id=33
Berikut kutipannya,
***** awal kutipan *****
Jawab: “Do’a jama’i setelah Imam mengucapkan salam dengan serempak, tidak ada asalnya yang menunjukkan bahwa amalan ini disyari’atkan. Dan Dewan Riset dan Fatwa memberikan jawaban sebegai berikut:
“Do’a sesudah shalat fardlu dengan mengangkat kedua tangan baik oleh Imam maupun ma`mum, sendirian atau bersama-sama, bukanlah sunnah. Amalan ini adalah bid’ah yang tidak ada keterangannya sedikitpun dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dan para sahabatnya radliyallahu ‘anhum. Adapun do’a tanpa hal-hal demikian, boleh dilakukan karena memang ada keterangannya dalam beberapa hadits. Wabillahi taufiq. Semoga shalawat tetap tercurah kepada Nabi kita Muhammad beserta keluarga dan para sahabatnya. (Lajnah Daimah).
Pada bagian lain, Lajnah menjawab:”Do’a dengan suara keras setelah shalat lima waktu, ataupun sunnah rawatib. Atau do’a-do’a sesudahnya dengan cara berjama’ah dan terus-menerus dikerjakan merupakan perbuatan bid’ah yang munkar. Tidak ada keterangan sedikitpun dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam tentang hal ini, juga para sahabatnya radliyallahu ‘anhum. Barangsiapa yang berdo’a setelah selesai shalat fardlu atau sunnah rawatibnya dengan cara berjama’ah, maka ini adalah menyelisihi Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Dan apabila mereka menganggap orang yang mengingkari hal ini atau tidak berbuat sebagaimana yang mereka lakukan sebagai orang kafir atau bukan Ahlus Sunnah wal Jama’ah, maka ini adalah kebodohan dan kesesatan serta memutarbalikkan kenyataan yang ada. (Lajnah Daimah, lihat Fatwa Islamiyah 1/318-319)
*****  akhir kutipan  *****
***** awal kutipan *****
Fatwa Syaikh Ibnu Bazz
Al-‘Allamah Syaikh  Ibnu Bazz pernah ditanya tentang sunnah dzikir sesudah shalat, mana yang sesuai sunnah, mengeraskan dzikir atau melirihkannya?
Beliau menjawab: Yang sunnah adalah menjaharkan dzikir sesudah shalat lima waktu dan sesudah shalat Jum’at ba’da salam. Hal itu didasarkan hadits dalam Shahihain, dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa mengeraskan suara dzikir sesudah manusia selesai melaksanakan shalat wajib sudah ada pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Ibnu Abbas berkata, “Aku mengetahui kalau mereka sudah selesai shalat apabila aku mendengarnya.” (Kumpulan pertanyaan yang ditujukan kepada Syaikh Ibnu Bazz oleh Muhammad al-Syayi’)
Dalam Jawaban lain, beliau berkata: “Telah disebutkan dalam kitab shahihain, dari riwayatnya Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, “Sesungguhnya mengeraskan dzikir saat selesai dari shalat wajib, itu telah ada di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam“. Ibnu Abbas juga mengatakan: “Aku tahu selesainya shalat mereka itu, saat aku mendengar (suara dzikir) itu.
Hadits shahih ini dan hadits-hadits semakna lainnya yang berasal dari hadits Ibnu Zubair, dan Al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhuma dan lainnya, semuanya menunjukkan disyariatkannya mengeraskan dzikir ketika orang-orang selesai shalat wajib, yang kira-kira sampai terdengar oleh orang-orang yang berada di pintu-pintu dan di sekitar masjid, sehingga mereka tahu selesainya shalat (jama’ah) dengan (kerasnya suara dzikir) itu. (Tapi) bagi orang yang didekatnya ada orang lain yang sedang menyelesaikan shalatnya, maka sebaiknya ia memelankan sedikit suaranya, agar tidak mengganggu mereka, karena adanya dalil-dalil lain yang menerangkan hal itu.
Dalam tuntunan mengeraskan dzikir ketika para jamaah selesai shalat wajib ini, ada banyak manfaat, diantaranya:
1. Menampakkan pujian kepada Allah Ta’ala yang telah memberikan mereka kenikmatan bisa menjalankan kewajiban yang agung ini.
2. Dan (sebagai sarana untuk) mengajari orang yang jahil dan mengingatkan orang yang lupa. Jika saja tidak ada hal itu, tentunya sunnah ini akan jadi samar bagi banyak orang. Wallahu waliyyut taufiq.
Syaikh Shalih al-Fauzan
Beliau ditanya tentang menjaharkan doa dan dzikir secara umum, dan sesudah shalat secara khusus? Apakah doa dan dzikir itu dengan keras, lirih, atau di antara keduanya?
Beliau menjawab, “Doa yang dicontohkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan yang disyari’atkan, seseorang diberi pilihan antara menjaharkannya atau melirihkannya. Allah Ta’ala berfirman,
ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً
Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut.” (QS. Al-a’raf: 55)
Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala mengetahui yang lirih dan tersembunyi. Engkau boleh berdoa dengan keras dan lirih, kecuali apabila menjaharkannya bisa mengganggu orang disekitarmu; yang tidur, shalat, atau yang sedang membaca Al-Qur’an al-Karim, maka engkau harus melirihkan suaramu. Atau apabila kamu takut tumbuh riya’ dan sum’ah dalam dirimu, maka engkau lirihkan suaramu dalam berdoa, karena hal ini lebih bisa menjadikan ikhlas.
Perlu diperhatikan, bahwa mengeraskan di sini bukan dengan suara bersama-sama (koor), sebagaimana yang dilakukan sebagian orang. Setiap orang berdoa untuk dirinya dengan lirih dan keras. Adapun berdoa dengan berjama’ah (bersama-sama), maka termasuk bid’ah.
Sedangkan dzikir sesudah shalat, maka yang sunnah adalah menjaharkannya sesuai dengan hadits-hadits shahih yang menyebutkan bahwa para sahabat menjaharkan dzikir sesudah shalat; tahlil dan ihtighfar sesudah salam sebanyak tiga kali, lalu membaca:
اللَّهُمَّ أَنْتَ السَّلَامُ وَمِنْكَ السَّلَامُ تَبَارَكْتَ يَا ذَا الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ
لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
sampai akhir dari dzikir-dzikir yang dicontohkan, maka membacanya dengan keras. Tapi dengan sendiri-sendiri, bukan dengan berjamaah (bersama-sama) sebagaimana yang kami sebutkan di awal. Dzikir berjama’ah ini termasuk perkara bid’ah (yang diada-adakan). Setiap orang berdzikir sendiri-sendiri dan mengeraskannya sesudah shalat.” (al-Muntaqa’ min Fatawa al-Fauzan: Juz 3)
*****  akhir kutipan *****
Pada kesimpulan akhirnya penulis tulisan tersebut menuliskanPendapat yang menganjurkan untuk mengeraskan dzikir sesudah shalat sesuai dengan dzahir hadits. Maka, sebagaimana kaidah Ushul Fiqih bahwa makna dzahir harus lebih didahulukan dan diamalkan sehingga ada dalil kuat lainnya yang me-nasakh-nya, atau men-takhshish-nya atau men-takwil-nya. Dan tidak didapatkan adanya dalil kuat yang menerangkan, bahwa dikeraskannya dzikir setelah shalat wajib itu hanya untuk sementara waktu saja.”
Jadi kesimpulan mereka dengan cara memaknai hadits secara dzahir (harfiah) atau  sebagaimana yang tertulis maka sunnah Rasulullah adalah mengeraskan dzikir sesudah shalat secara sendiri-sendiri dan tidak secara berjam’ah.
Bagaimana kenyataannya ?
Apakah mereka ada mengikuti sunnah Rasulullah mengeraskan dzikir secara sendiri-sendiri ?
Apakah mereka lebih memilih melirihkan dzikir daripada sunnah Rasulullah mengeraskan dzikir?
Ataukah mereka ada yang beranggapan sunnah Rasulullah mengeraskan dzikir bertentangan dengan firman Allah ta’ala yang artinya “Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut.” (QS. Al-a’raf: 55)
Dzikir berjamaah  adalah tolong menolong dalam amal kebaikan. Jika salah satu saja peserta atau pemimpin dzikir dapat menghantarkan dzikir sampai (wushul) kepada Allah Azza wa Jalla maka seluruh peserta dzikir akan mendapatkan kebaikannya bahkan orang yang hanya sekedar duduk bergabung dalam dzikir berjamaah tersebut juga akan mendapatkan kebaikan.
Dalam sebuah hadits qudsi Abu Hurairah ra meriwayatkan bahwa Nabi Shalllahu alaihi wasallam bersabda
“Sesungguhnya Allah SWT memiliki beberapa malaikat yang seringkali berkeliling untuk mencari majelis orang-orang berzikir. Maka,ketika mereka menemukan sekelompok orang yang berzikir, para malaikat menghampiri mereka dan saling mengepakkan sayapnya sembari berputar-putar hingga mereka berada di antara ahli zikir dan langit. Saat orang-orang yang berzikir itu bubar, para malaikat kembali dan naik ke langit. Kemudian Allah bertanya kepada para malaikat – sedangkan Allah lebih mengetahui daripada mereka,’Kalian datang dari mana?’ Mereka menjawab, ‘Kami datang dari majelis hamba-hamba-Mu di bumi. Mereka bertasbih, bertahlil, bertakbir, bertahmid, bertahlil dan berdo’a kepada Engkau’ Allah bertanya,’Apa yang mereka minta kepada-Ku?‘ Para malaikat menjawab, ‘Mereka mengharap surga-Mu.’Allah berkata, ‘Apakah mereka bisa melihat surga-Ku?’ Para malaikat menjawab, ‘Tidak, wahai Tuhan.’ Allah berfirman, ‘Bagaimana jika mereka bisa melihat surga-Ku?’ Malaikat menjawab, ‘Mereka akan memohon perlindungan kepada Engkau.’ Allah bertanya, ‘Meminta perlindungan dari apa?’ Mereka menjawab, ‘Dari neraka, wahai Tuhan.’ Allah bertanya, ‘Apakah mereka melihat neraka-Ku?‘ Para malaikat menjawab, ‘Tidak,wahai Tuhan.’ Allah bertanya, ‘Bagaimana jika mereka bisa melihatnya?’ Para malaikat menjawab, ‘Mereka akan memohon ampunan-Mu.’ Allah berfirman, ‘Aku telah mengampuni dosa mereka, mengabulkan permintaan mereka, dan memberikan perlindungan kepada mereka.’ Para malaikat berkata, ‘Ya Tuhan,di dalam majelis zikir itu terdapat fulan, ia sering melakukan perbuatan maksiat. Sebenarnya, ia hanya kebetulan lewat kemudian duduk bergabung dengan mereka.’ Allah berfirman, ‘Aku juga mengampuni dosanya. Mereka (ahli zikir) itu tidak tenodai oleh teman duduk mereka.” (HR Muslim)  
Cara paling mudah untuk mengetahui bagaimana sebenarnya yang telah dilakukan oleh Rasulullah dan para Salafush Sholeh adalah dengan mengetahui dzikir yang dilakukan oleh para Habib dan para Sayyid pada umumnya karena para Habib dan para Sayyid yang merupakan keturunan cucu Rasulullah, mereka mendapatkan pengajaran langsung dari orang tua-orang tua mereka terdahulu yang mendapatkan pengajaran langsung dari keluarga Rasulullah. Bahkan Imam Sayyidina Ali ra mendapatkan didikan langsung dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Dalam masalah teknis pelaksanaan ibadah dapat kita analogikan dengan belajar berenang. Mana yang lebih baik hasilnya, belajar berenang melalui pemahaman tulisan/buku petunjuk cara berenang atau belajar berenang melalui didikan langsung oleh pelatih renang.
Begitupula dalam teknis pelaksanaan sholat segelintir umat Islam yang mengikuti berdasarkan pemahaman ulama Al Albani yang diperolehnya dari upaya beliau memahami lafaz/tulisan hadits sedangkan beliau tidak dikenal oleh jumhur ulama mempunyai kompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak sehingga kemungkinan kesalahpahamannya semakin besar.  Contoh pendapat ulama Al-Albani. (Kitab Sifat Shalat Nabi halaman 140) bahwa menggerakkan jari dilakukan sepanjang membaca lafadz Tasyahhud dengan contoh pada http://www.youtube.com/watch?v=ze8j_wX7Guw
Kajian selengkapnya tentang perihal berisyarat dengan jari telunjuk diuraikan dalam tulisan pada http://albanjari.eramulti.com/berisyarat-dengan-jari-telunjuk  . Terlebih lagi beliaupun ada mengingkari hadits Rasulullah sebagaimana contohnya yang diuraikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/11/22/tidak-cukup/ dan terhadap hadits-hadit lain diuraikan dalam tulisan pada  http://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2010/04/inilahahlussunnahwaljamaah.pdf
Lebih mudah dan selamat mengikuti teknis pelaksanaan sholat mengikuti apa yang dilakukan oleh para Habib dan para Sayyid karena mereka mendapatkan pengajaran langsung dari orang tua-orang tua mereka terdahulu yang mendapatkan pengajaran langsung dari keluarga Rasulullah. Bahkan Imam Sayyidina Ali ra mendapatkan didikan langsung dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Kadang ketakutan umat Islam dalam mengikuti apa yang telah disampaikan oleh Imam Sayyidina Ali ra terlampau berlebihan yang semua itu dikarenakan fitnah orang dari kaum (zionis) Yahudi sehingga takut dikatakan sebagai pengikut Syiah khususnya mereka yang membenci Khulafaur Rasyidin lainnya. Sebagaimana yang ditanyakan oleh Imam ‘Ali رضي الله عنه berkata: aku bertanya: Wahai Rasulullah! Apakah ciri-ciri mereka? Baginda صلى الله عليه وآله وصحبه وسلم bersabda: “Mereka menyanjungimu dengan sesuatu yang tidak ada padamu
Padahal  Imam Sayyidina Ali ra adalah khataman Khulafaur Rasyidin yang menyampaikan secara mendalam dan rinci bagaimana cara mencapai muslim yang Ihsan.
Apakah Ihsan ?
قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا الْإِحْسَانُ قَالَ أَنْ تَخْشَى اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنَّكَ إِنْ لَا تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
Lalu dia bertanya lagi, ‘Wahai Rasulullah, apakah ihsan itu? ‘ Beliau menjawab, ‘Kamu takut (takhsya / khasyyah) kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya, maka jika kamu tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu.’ (HR Muslim 11) Link: http://www.indoquran.com/index.php?surano=2&ayatno=3&action=display&option=com_muslim
Rasulullah bersabda “Iman paling afdol ialah apabila kamu mengetahui bahwa Allah selalu menyertaimu dimanapun kamu berada“. (HR. Ath Thobari)
Ada dua kondisi yang dicapai oleh muslim yang ihsan atau muslim yang telah berma’rifat
Kondisi minimal adalah mereka yang selalu merasa diawasi oleh Allah Azza wa Jalla
Kondiri terbaik adalah mereka yang dapat melihat Allah Azza wa Jalla dengan hati (ain bashiroh)
Imam Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib Al-Yamani,
“Apakah Anda pernah melihat Tuhan?”
Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?”
“Bagaimana Anda melihat-Nya?” tanyanya kembali.
Sayyidina Ali ra menjawab “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan manusia yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati”
Sebuah riwayat dari Ja’far bin Muhammad beliau ditanya: “Apakah engkau melihat Tuhanmu ketika engkau menyembah-Nya?” Beliau menjawab: “Saya telah melihat Tuhan, baru saya sembah”. Bagaimana anda melihat-Nya? dia menjawab: “Tidak dilihat dengan mata yang memandang, tapi dilihat dengan hati yang penuh Iman.”
Muslim yang telah mencapai Ihsan atau muslim yang telah berma’rifat, minimal mereka yang selalu merasa diawasi oleh Allah Azza wa Jalla atau yang terbaik mereka yang dapat melihat Allah dengan hati maka mereka mencegah dirinya dari melakukan sesuatu yang dibenciNya , menghindari perbuatan maksiat, menghindari perbuatan keji dan mungkar hingga terbentuklah muslim yang berakhlakul karimah sesuai dengan tujuan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam diutus oleh Allah Azza wa Jalla
Rasulullah menyampaikan yang maknanya “Sesungguhnya aku diutus (Allah) untuk menyempurnakan Akhlak.” (HR Ahmad).
Jadi pada hakikatnya ghazwul fikri yang dilakukan oleh kaum Zionis Yahudi melalui pusat-pusat kajian Islam yang mereka dirikan atau melalui orang-orang yang telah “dibentuk” oleh mereka adalah menjauhkan umat Islam dari apa yang telah disampaikan oleh Imam Sayyidina Ali ra atau dengan kata lain  menjauhkan umat Islam dari tentang Ihsan. Dari sinilah sumber terjadinya kerusakan akhlak pada segelintir kaum muslim sama bahayanya dengan upaya perusakan akhlak melalui pornografi, sex bebas, miras, narkoba, gaya hidup bebas, hedonisme, sekulerisme, pluralisme, liberalisme , dll .
Pengetahuan tentang Ihsan ada pada Tasawuf dalam Islam. Dalam kurikulum perguruan tinggi Islam, sejak dahulu kala,   tasawuf adalah pendidikan akhlak yakni jalan (thariqat) untuk menjadi muslim yang Ihsan. Hal ini telah diuraikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/01/16/2010/06/07/pendidikan-akhlak/
Cobalah tanyakan kepada koruptor, apakah mereka takut dengan neraka. Pastilah mereka akan menjawab bahwa mereka takut akan siksa neraka. Namun mereka tidak takut bahwa perbuatan korupsi mereka telah dilihat Allah Azza wa Jalla karena mereka tidak pernah sampai pengetahuan tentang Ihsan sehingga mereka tidak mempunyai keyakinan bahwa segala sikap dan perbuatan mereka selalu dilihat oleh Allah Azza wa Jalla, setiap saat, dan Dia tidak tidur sebagaimana firmanNya yang artinya “Dia yang Maha Hidup, yang terus menerus mengurus (makhlukNya), tidak mengantuk dan tidak tidur. Milik Nya apa yang dilangit dan apa yang di bumi” (Qs Al Baqarah [2]:255)
Begitupula dengan penguasa negeri kita yang telah diingatkan oleh para ulama bahwa “Negara dinilai tidak hadir untuk melindungi segenap kehidupan warganya. Bahkan retorika yang disampaikan pemerintah lebih banyak berbau kebohongan“. Bohong adalah tidak sesuai perkataan dengan kenyataannya.  Bohong adalah termasuk akhlak buruk dan yang melakukannya pada hakikatnya karena tidak tahu tentang Ihsan atau tidak meyakini bahwa sikap dan perbuatan mereka dilihat oleh Allah Azza wa Jalla.
Apakah penguasa negeri kita telah dengan nyata melindungi rakyatnya di Ambon, Papua maupun rakyatnya yang terkena bencana lumpur Sidoarjo ?
Bandingkanlah dengan akhlak yang diperlihatkan oleh  Khalfiah Umar ra berikut kutipannya
Khalifah Umar ra menjenguk ke dalam panci tersebut. Alangkah kagetnya ketika mereka melihat apa yang ada di dalam panci tersebut. Sambil masih terbelalak tak percaya, Khalifah Umar ra berteriak, “Apakah kau memasak batu?”
Perempuan itu menjawab dengan menganggukkan kepala.
“Buat apa?”
Dengan suara lirih, perempuan itu kembali bersuara menjawab pertanyaan Umar, “Aku memasak batu-batu ini untuk menghibur anakku. Inilah kejahatan Khalifah Umar. Ia tidak mau melihat ke bawah, apakah kebutuhan rakyatnya sudah terpenuhi atau belum.
Lihatlah aku. Aku seorang janda miskin. Sejak dari pagi tadi, aku dan anakku belum makan apa-apa. Jadi anakku pun kusuruh berpuasa, dengan harapan ketika waktu berbuka kami mendapat rejeki. Namun ternyata tidak. Sesudah petang tiba, makanan belum ada juga. Anakku terpaksa tidur dengan perut yang kosong. Aku mengumpulkan batu-batu kecil, memasukkannya ke dalam panci dan kuisi air. Lalu batu-batu itu kumasak untuk membohongi anakku, dengan harapan ia akan tertidur lelap sampai pagi. Ternyata tidak. Mungkin karena lapar, sebentar-sebentar ia bangun dan menangis minta makan.
Ibu itu diam sejenak. Kemudian ia melanjutkan, “Namun apa dayaku? Sungguh Khalifah Umar tidak pantas jadi pemimpin. Ia tidak mampu menjamin kebutuhan rakyatnya.
Dengan air mata berlinang Khalifah Umar bangkit dan mengajak Sahabatnya untuk kembali ke kota. Tanpa istirahat lagi, Umar segera memikul gandum di punggungnya, untuk diberikan kepada janda tua yang sengsara itu.
Karena Khalifah Umar terlihat keletihan, Sahabatnya berkata, “Wahai Khalifah Umar, biarlah aku saja yang memikul karung itu….”
Dengan wajah merah padam, Khalifah Umar menjawab “Jangan jerumuskan aku ke dalam neraka. Engkau akan menggantikan aku memikul beban ini, apakah kau kira engkau akan mau memikul beban di pundakku ini di hari pembalasan kelak?”
Begitu pula yang terjadi dengan pihak eksekutif, yudikatif, legislatif negeri ini. Pada hakikatnya kebijakan dan implementasinya dalam memenuhi amanat rakyat hanya berdasarkan kesepakatan di antara mereka semata. Mereka tidak menyadari tentang Ihsan, tidak menyadari bahwa Allah Azza wa Jalla melihat sikap dan perbuatan mereka.
Contohnya mereka telah menyetujui undang-undang nomor 44 tahun 2008 tentang pornografi pada tanggal 26 November 2008 namun kenyataannya keping-keping video porno masih saja tersebar dengan bebasnya di negeri tercinta ini. Mereka dapat terjerumus dalam kemunafikan, berbeda antara yang dikatakan dengan kenyataannya.
Begitupula dalam penegakkan hukum hanya berdasarkan interpretasi  dan kesepakatan antar manusia belaka menyesuaikan dengan kepentingan pihak yang akan “dimenangkan”. Bisa dilakukan dengan penggiringan “opini” maupun pencitraan hal ini sesuai dengan “target kerja” kaum Zionis Yahudi
Protokol Zionis yang kelimabelas
…Dibawah pengaruh kita, pelaksanaan hukum kaum non_yahudi harus dapat diredusir seminim mungkin. Penghormatan kepada hukum harus dirongrong dengan cara interpretasi sebebas mungkin sesuai dengan apa yang telah kita perkenalkan pada bidang ini. Pengadilan akan memutuskan apa yang kita dikte, bahkan dalam kasus-kasus yang mungkin mencakup prinsip-prinsip dasar atau isu-isu politik melalui jalur pendapat surat kabar dan jalur lainnya.
Oleh karenanya para penguasa negeri yang muslim sebaiknya janganlah menjadikan Amerika maupun sekutunya yang dibelakang mereka semua adalah kaum Zionis Yahudi sebagai “teman kepercayaan”, penasehat, pelindung, pemimpin.
Taatilah para ulama yang terhimpun dalam Majelis Ulama, mereka yang mentaati Allah Azza wa Jalla dan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Allah Azza wa Jalla memperingatkan kita dengan firmanNya yang artinya
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang, di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya” , (QS Ali Imran, 118)
Beginilah kamu, kamu menyukai mereka, padahal mereka tidak menyukai kamu, dan kamu beriman kepada kitab-kitab semuanya. Apabila mereka menjumpai kamu, mereka berkata “Kami beriman”, dan apabila mereka menyendiri, mereka menggigit ujung jari antaran marah bercampur benci terhadap kamu. Katakanlah (kepada mereka): “Matilah kamu karena kemarahanmu itu”. Sesungguhnya Allah mengetahui segala isi hati“. (QS Ali Imran, 119)
Ironis yang terjadi di wilayah kerajaan dinasti Saudi, mereka menjadikan Amerika sebagai teman kepercayaan, pelindung, penasehat. Contoh paling mudah untuk diketahui bahwa mereka menyusun kurikulum pendidikan agama bekerjasama dengan Amerika yang dibelakangnya adalah kaum Zionis Yahudi , sebagaimana yang terurai dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/02/07/muslim-bukanlah-ekstrimis/   Inilah salah satu “pintu masuk” ghazwul fikri (perang pemahaman) yang dilancarkan oleh kaum Zionis Yahudi dan kesalahpahaman-kesalahpahaman tersebut menyebar luas ke negeri-negeri  kaum muslim melalui perantaraan beasiswa pendidikan di wilayah kerajaan dinasti Saudi.
Abuya Prof. DR. Assayyid Muhammad bin Alwi Almaliki Alhasani dalam makalahnya dalam pertemuan nasional dan dialog pemikiran yang kedua, 5 s.d. 9 Dzulqo’dah 1424 H di Makkah al Mukarromah, menyampaikan bahwa dalam kurikulum tauhid kelas tiga Tsanawiyah (SLTP) cetakan tahun 1424 Hijriyyah di Arab Saudi berisi klaim dan pernyataan bahwa kelompok Sufiyyah (aliran–aliran tasawuf) adalah syirik dan keluar dari agama. Kutipan makalah selengkapnya ada pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/08/18/ekstrem-dalam-pemikiran-agama/
Dalam beberapa tulisan berturut-turut, kami telah menghimbau untuk menggigit As Sunnah dan sunnah Khulafaur Rasyidin berdasarkan pemahaman pemimpin ijtihad kaum muslim (Imam Mujtahid) / Imam Mazhab dan penjelasan dari para pengikut Imam Mazhab sambil merujuk darimana mereka mengambil yaitu Al Quran dan as Sunnah.  Janganlah memahaminya dengan akal pikiran sendiri atau mengikut pemahaman ulama yang tidak dikenal berkompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak. Hal ini telah kami uraikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/10/31/gigitlah-as-sunnah/
Sebaiknya kita mengambil ilmu dari mulut ulama bermazhab dan sholeh. Hal ini telah kami uraikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/11/02/dari-mulut-ulama/
Kita sebaiknya menghindari kitab ulama yang belajar sendiri dan tidak bermazhab hal ini telah kami uraikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/11/03/kitab-tidak-bermazhab/
Salah satu cara mempertahankan sanad ilmu atau sanad guru adalah dengan mengikuti pendapat/pemahaman pemimpin ijtihad kaum muslim (Imam Mujtahid Mutlak) alias Imam Mazhab yang empat dan penjelasan dari para pengikut Imam Mazhab sambil merujuk darimana mereka mengambil yaitu Al Quran dan as Sunnah.
Permasalahan yang terjadi pada Al-Lajnah Ad-Da`imah lil Buhuts Al-’Ilmiyyah wal Ifta` (Komite Tetap untuk Riset Ilmiah dan Fatwa)  adalah mereka tidak lagi mengikuti pendapat pemimpin ijtihad kaum muslim (Imam Mujtahid Mutlak) alias Imam Mazhab yang empat.   Mereka lebih menyandarkan pada pemahaman ulama Ibnu Taimiyyah, ulama Ibnu Qoyyim Al Jauziah, ulama Muhammad bin Abdul Wahhab atau bahkan mungkin pemahaman ulama Al Albani, padahal mereka oleh jumhur ulama tidak dikenal berkompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak atau Imam Mazhab. Memang ada Imam Mazhab yang lain selain yang berempat namun pada akhirnya pendapat / pemahaman mereka karena tidak komprehensive atau tidak menyeluruh sehingga kaum muslim mencukupkannya pada Imam Mazhab yang empat.  Contoh ulama yang masih berpegang teguh kepada pemahaman/pendapat Imam Mazhab adalah Mufti Mesir Profesor Doktor Ali Jum`ah sebagaimana contoh yang terurai dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/10/30/hukum-penutup-muka/
Ulama yang tidak mau bermazhab , pada hakikatnya telah memutuskan rantai sanad ilmu atau sanad guru, berhenti pada akal pikirannya sendiri dimana didalamnya ada unsur hawa nafsu atau kepentingan
Sanad ilmu (sanad guru) sama pentingnya dengan sanad hadits.
Sanad hadits mempertanyakan atau menganalisa dari mana matan/redaksi hadits tersebut diperoleh sampai kepada lisannya Rasulullah
Sedangkan sanad ilmu (sanad guru) mempertanyakan atau menganalisa dari mana penjelasan Al Qur’an dan As Sunnah tersebut diperoleh sampai kepada lisannya Rasulullah
Sanad ini sangat penting, dan merupakan salah satu kebanggaan Islam dan umat. Karena sanad inilah Al-Qur’an dan Sunah Nabawiyah terjaga dari distorsi ataupun serangan ghazwul fikri (perang pemahaman) yang dilakukan kaum kafir dan munafik atau tercampurnya dengan hawa nafsu. Karena sanad inilah warisan Nabi tak dapat diputar balikkan.
Ibnul Mubarak berkata :”Sanad merupakan bagian dari agama, kalaulah bukan karena sanad, maka pasti akan bisa berkata siapa saja yang mau dengan apa saja yang diinginkannya.” (Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Muqoddimah kitab Shahihnya 1/47 no:32 )
Imam Syafi’i ~rahimahullah mengatakantiada ilmu tanpa sanad”.
Al-Hafidh Imam Attsauri ~rahimullah mengatakanPenuntut ilmu tanpa sanad adalah bagaikan orang yang ingin naik ke atap rumah tanpa tangga
Bahkan Al-Imam Abu Yazid Al-Bustamiy , quddisa sirruh (Makna tafsir QS.Al-Kahfi 60) ;  “Barangsiapa tidak memiliki susunan guru dalam bimbingan agamanya, tidak ragu lagi niscaya gurunya syetan”  Tafsir Ruhul-Bayan Juz 5 hal. 203
Tulisan kali ini kami akhiri dengan nasehat Imam Mazhab tentang pentingnya tasawuf dalam Islam atau pentingnya pendidikan akhlak.
Imam Malik ra menyampaikan nasehat (yang artinya) “Dia yang sedang tasawuf tanpa mempelajari fikih (perkara syariat) rusak keimanannya , sementara dia yang belajar fikih tanpa mengamalkan Tasawuf rusaklah dia ., hanya dia siapa memadukan keduanya terjamin benar” .
Imam Syafi’i ra menyampaikan nasehat (yang artinya) ,”Berusahalah engkau menjadi seorang yang mempelajari ilmu fiqih dan juga menjalani tasawuf, dan janganlah kau hanya mengambil salah satunya. Sesungguhnya demi Allah saya benar-benar ingin memberikan nasehat padamu. Orang yang hanya mempelajari ilmu fiqih tapi tidak mahu menjalani tasawuf, maka hatinya tidak dapat merasakan kelazatan takwa. Sedangkan orang yang hanya menjalani tasawuf tapi tidak mahu mempelajari ilmu fiqih, maka bagaimana bisa dia menjadi baik (ihsan)?”
[Diwan Al-Imam Asy-Syafi’i, hal. 47]
Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830

Pos terkait