992. Makalah: Apakah sekte mereka termasuk khawarij

Khawarij adalah bentuk jamak (plural) dari kharij (bentuk isim fail) artinya yang keluar. Khawarij secara umum dapat dikenakan kepada mereka yang pemahamannya telah keluar (menyempal) dari pemahaman kaum muslim pada umumnya sehingga mereka dikatakan sebagai sebuah sekte / firqah.
Rasulullah telah memperingatkan kaum muslim untuk menghindari pemahaman sekte / firqah dan berpegang teguh pada pemahaman jama’ah kaum muslim pada umumnya hingga kematian menjemput.
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda, “hendaklah kamu selalu bersama jamaah muslimin dan imam mereka ! “
Aku bertanya; “kalau tidak ada jamaah muslimin dan imam bagaimana ?”
Nabi menjawab; hendaklah kau jauhi seluruh firqah (kelompok-kelompok / sekte) itu, sekalipun kau gigit akar-akar pohon hingga kematian merenggutmu kamu harus tetap seperti itu
Firman Allah Azza wa Jalla,  wau’bud rabbaka hattaa ya’tiyaka alyaqiinu,  “dan taatilah Tuhanmu sampai kematian menjemputmu” (QS Al Hijr : 99)
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda
المجاهد من جاهد نفسه في طاعة الله
“Seorang mujahid adalah orang yang mengendalikan hawa nafsunya untuk mentaati Allah”
Kita ikuti Sunnah Rasulullah bahwa jika kita mendapatkan perselisihan karena perbedaan pemahaman / pendapat maka agar selamat dari kesesatan kita disuruh untuk mengikuti as-sawad al a’zham atau mengikuti kesepakatan jumhur ulama
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menyampaikan, “Sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat pada kesesatan. Oleh karena itu, apabila kalian melihat terjadi perselisihan maka ikutilah as-sawad al a’zham (jumhur ulama).” (HR. Ibnu Majah, Abdullah bin Hamid, at Tabrani, al Lalika’i, Abu Nu’aim. Menurut Al Hafidz As Suyuthi dalam Jamius Shoghir, ini adalah hadits Shohih)
Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari XII/37 menukil perkataan Imam Thabari rahimahullah yang menyatakan: “Berkata kaum (yakni para ulama), bahwa jamaah adalah Sawadul A’dzam.
Khawarij  atau mereka yang pemahamannya keluar dari pemahaman jama’ah kaum muslim terjadi di setiap masa, baik pada masa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, masa Sayyidina Utsman ra, masa Sayyidina Ali ra, masa Sayyidina Husein ra dll. Pemahaman yang keluar dari pemahaman jama’ah kaum muslim menimbulkan permusuhan dan bahkan pembunuhan terhadap saudara muslimnya sendiri yang dianggap menyelisihi pemahaman mereka.
Kemudian diceritakan dari Ibnu Sirin dari Abi Mas’ud, bahwa beliau mewasiatkan kepada orang yang bertanya kepadanya ketika Sayyidina ‘Utsman ra dibunuh, untuk berpegang teguh pada Jamaah, karena Allah tidak akan mengumpulkan umat Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam kesesatan. Dan dalam hadits dinyatakan bahwa ketika manusia tidak mempunyai imam, dan manusia berpecah belah menjadi kelompok-kelompok maka janganlah mengikuti salah satu firqah/sekte. Hindarilah semua firqah/sekte itu jika kalian mampu untuk menghindari terjatuh ke dalam keburukan”.
Informasi  lain tentang pemahaman mereka menyelisihi pemahaman kaum muslim pada umumnya sehingga mereka “memerangi” orang beriman dapat kita ketahui  dalam tulisan pada http://www.aswaja-nu.com/2010/01/dialog-syaikh-al-syanqithi-vs-wahhabi_20.html atau pada http://www.facebook.com/photo.php?fbid=220630637981571&set=a.220630511314917.56251.100001039095629
Untuk itulah kita hindari pemahaman/pendapat sekte manapun. Hal ini telah diuraikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/12/26/hindari-pemahaman-sekte/
Ikutilah pemahaman/pendapat Imam Mazhab yang empat, pemimpin / imam ijtihad kaum muslim (Imam Mujtahid Mutlak), mereka yang bertalaqqi (mengaji) langsung dengan Salafush Sholeh dan ikutilah penjelasan dari para ulama yang mengikuti Imam Mazhab yang empat  sambil merujuk darimana mereka mengambil yaitu Al Quran dan as Sunnah.
Berikut informasi dari para ulama kalangan  4 mazhab bahwa  pada masa kehidupan mereka, sekte Wahabi pun termasuk khawarij dalam pengertian sekte yang pemahamannya telah keluar dari pemahaman/ pendapat jumhur ulama,  sekte yang mengikuti pemahaman Ulama Muhammad bin Abdul Wahhab yang berasal dari Najd.
Dari kalangan ulama madzhab al-Maliki, al-Imam Ahmad bin Muhammad al-Shawi al-Maliki, ulama terkemuka abad 12 Hijriah dan semasa dengan pendiri Wahhabi, berkata dalam Hasyiyah ‘ala Tafsir al-Jalalain sebagai berikut:
هَذِهِ اْلآَيَةُ نَزَلَتْ فِي الْخَوَارِجِ الَّذِيْنَ يُحَرِّفُوْنَ تَأْوِيْلَ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ وَيَسْتَحِلُّوْنَ بِذَلِكَ دِمَاءَ الْمُسْلِمِيْنَ وَأَمْوَالَهُمْ كَمَا هُوَ مُشَاهَدٌ اْلآَنَ فِيْ نَظَائِرِهِمْ وَهُمْ فِرْقَةٌ بِأَرْضِ الْحِجَازِ يُقَالُ لَهُمُ الْوَهَّابِيَّةُ يَحْسَبُوْنَ أَنَّهُمْ عَلىَ شَيْءٍ أَلاَ إِنَّهُمْ هُمُ الْكَاذِبُوْنَ. (حاشية الصاوي على تفسير الجلالين، ٣/٣٠٧).
“Ayat ini turun mengenai orang-orang Khawarij, yaitu mereka yang mendistorsi penafsiran al-Qur’an dan Sunnah, dan oleh sebab itu mereka menghalalkan darah dan harta benda kaum Muslimin sebagaimana yang terjadi dewasa ini pada golongan mereka, yaitu kelompok di negeri Hijaz yang disebut dengan aliran Wahhabiyah, mereka menyangka bahwa mereka akan memperoleh sesuatu (manfaat), padahal merekalah orang-orang pendusta.” (Hasyiyah al-Shawi ‘ala Tafsir al-Jalalain, juz 3, hal. 307).
Dari kalangan ulama madzhab Hanafi, al-Imam Muhammad Amin Afandi yang populer dengan sebutan Ibn Abidin, juga berkata dalam kitabnya, Hasyiyah Radd al-Muhtar sebagai berikut:
“مَطْلَبٌ فِي أَتْبَاعِ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الْوَهَّابِ الْخَوَارِجِ فِيْ زَمَانِنَا :كَمَا وَقَعَ فِيْ زَمَانِنَافِيْ أَتْبَاعِ ابْنِ عَبْدِ الْوَهَّابِ الَّذِيْنَ خَرَجُوْا مِنْ نَجْدٍ وَتَغَلَّبُوْا عَلَى الْحَرَمَيْنِ وَكَانُوْايَنْتَحِلُوْنَ مَذْهَبَ الْحَنَابِلَةِ لَكِنَّهُمْ اِعْتَقَدُوْا أَنَّهُمْ هُمُ الْمُسْلِمُوْنَ وَأَنَّ مَنْ خَالَفَاعْتِقَادَهُمْ مُشْرِكُوْنَ وَاسْتَبَاحُوْا بِذَلِكَ قَتْلَ أَهْلِ السُّنَّةِوَقَتْلَ عُلَمَائِهِمْ حَتَى كَسَرَ اللهُشَوْكَتَهُمْ وَخَرَبَ بِلاَدَهُمْ وَظَفِرَ بِهِمْ عَسَاكِرُ الْمُسْلِمِيْنَ عَامَ ثَلاَثٍ وَثَلاَثِيْنَ وَمِائَتَيْنِوَأَلْفٍ.” اهـ (ابن عابدين، حاشية رد المحتار، ٤/٢٦٢).
“Keterangan tentang pengikut Muhammad bin Abdul Wahhab, kaum Khawarij pada masa kita. Sebagaimana terjadi pada masa kita, pada pengikut Ibn Abdil Wahhab yang keluar dari Najd dan berupaya keras menguasai dua tanah suci. Mereka mengikuti madzhab Hanabilah. Akan tetapi mereka meyakini bahwa mereka saja kaum Muslimin, sedangkan orang yang berbeda dengan keyakinan mereka adalah orang-orang musyrik. Dan oleh sebab itu mereka menghalalkan membunuh Ahlussunnah dan para ulamanya sampai akhirnya Allah memecah kekuatan mereka, merusak negeri mereka dan dikuasai oleh tentara kaum Muslimin pada tahun 1233 H.” (Ibn Abidin, Hasyiyah Radd al-Muhtar ‘ala al-Durr al-Mukhtar, juz 4, hal. 262).
Dari kalangan ulama madzhab Hanbali, al-Imam Muhammad bin Abdullah bin Humaid al-Najdi berkata dalam kitabnya al-Suhub al-Wabilah ‘ala Dharaih al-Hanabilah ketika menulis biografi Syaikh Abdul Wahhab, ayah pendiri Wahhabi, sebagai berikut:
عَبْدُ الْوَهَّابِ بْنُ سُلَيْمَانَ التَّمِيْمِيُّ النَّجْدِيُّ وَهُوَ وَالِدُ صَاحِبِ الدَّعْوَةِ الَّتِيْ انْتَشَرَشَرَرُهَا فِي اْلأَفَاقِ لَكِنْ بَيْنَهُمَا تَبَايُنٌ مَعَ أَنَّ مُحَمَّدًا لَمْ يَتَظَاهَرْ بِالدَّعْوَةِ إِلاَّ بَعْدَمَوْتِ وَالِدِهِ وَأَخْبَرَنِيْ بَعْضُ مَنْ لَقِيْتُهُ عَنْ بَعْضِ أَهْلِ الْعِلْمِ عَمَّنْ عَاصَرَ الشَّيْخَ عَبْدَالْوَهَّابِ هَذَا أَنَّهُ كَانَ غَاضِبًا عَلىَ وَلَدِهِ مُحَمَّدٍ لِكَوْنِهِ لَمْ يَرْضَ أَنْ يَشْتَغِلَ بِالْفِقْهِكَأَسْلاَفِهِ وَأَهْلِ جِهَتِهِ وَيَتَفَرَّسُ فِيْه أَنَّهُ يَحْدُثُ مِنْهُ أَمْرٌ .فَكَانَ يَقُوْلُ لِلنَّاسِ: يَا مَا تَرَوْنَ مِنْ مُحَمَّدٍ مِنَ الشَّرِّ فَقَدَّرَ اللهُ أَنْ صَارَ مَاصَارَ وَكَذَلِكَ ابْنُهُ سُلَيْمَانُ أَخُوْ مُحَمَّدٍ كَانَ مُنَافِيًا لَهُ فِيْ دَعْوَتِهِ وَرَدَّ عَلَيْهِ رَدًّا جَيِّداًبِاْلآَياَتِ وَاْلآَثاَرِ وَسَمَّى الشَّيْخُ سُلَيْمَانُ رَدَّهُ عَلَيْهِ ( فَصْلُ الْخِطَابِ فِي الرَّدِّ عَلىَمُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الْوَهَّابِ ) وَسَلَّمَهُ اللهُ مِنْ شَرِّهِ وَمَكْرِهِ مَعَ تِلْكَ الصَّوْلَةِ الْهَائِلَةِ الَّتِيْأَرْعَبَتِ اْلأَبَاعِدَ فَإِنَّهُ كَانَ إِذَا بَايَنَهُ أَحَدٌ وَرَدَّ عَلَيْهِ وَلَمْ يَقْدِرْ عَلَى قَتْلِهِ مُجَاهَرَةًيُرْسِلُ إِلَيْهِ مَنْ يَغْتَالُهُ فِيْ فِرَاشِهِ أَوْ فِي السُّوْقِ لَيْلاً لِقَوْلِهِ بِتَكْفِيْرِ مَنْ خَالَفَهُوَاسْتِحْلاَلِ قَتْلِهِ. اهـ (ابن حميد النجدي، السحب الوابلة على ضرائح الحنابلة، ٢٧٥).
“Abdul Wahhab bin Sulaiman al-Tamimi al-Najdi, adalah ayah pembawa dakwah Wahhabiyah, yang percikan apinya telah tersebar di berbagai penjuru. Akan tetapi antara keduanya terdapat perbedaan.Padahal Muhammad (pendiri Wahhabi) tidak terang-terangan berdakwah kecuali setelah meninggalnya sang ayah. Sebagian ulama yang aku jumpai menginformasikan kepadaku, dari orang yang semasa dengan Syaikh Abdul Wahhab ini, bahwa beliau sangat murka kepada anaknya, karena ia tidak suka belajar ilmu fiqih seperti para pendahulu dan orang-orang di daerahnya. Sang ayah selalu berfirasattidak baik tentang anaknya pada masa yang akan datang. Beliau selalu berkata kepada masyarakat, “Hati-hati, kalian akan menemukan keburukan dari Muhammad.” Sampai akhirnya takdir Allah benar-benar terjadi. Demikian pula putra beliau, Syaikh Sulaiman (kakak Muhammad bin Abdul Wahhab), juga menentang terhadap dakwahnya dan membantahnya dengan bantahan yang baik berdasarkan ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Syaikh Sulaiman menamakan bantahannya dengan judul Fashl al-Khithab fi al-Radd ‘ala Muhammad bin Abdul Wahhab. Allah telah menyelamatkan Syaikh Sulaiman dari keburukan dan tipu daya adiknya meskipun ia sering melakukan serangan besar yang mengerikan terhadap orang-orang yang jauh darinya. Karena setiap ada orang yang menentangnya, dan membantahnya, lalu ia tidak mampu membunuhnya secara terang-terangan, maka ia akan mengirim orang yang akan menculik dari tempat tidurnya atau di pasar pada malam hari karena pendapatnya yang mengkafirkan dan menghalalkan membunuh orang yang menyelisihinya.” (Ibn Humaid al-Najdi, al-Suhub al-Wabilah ‘ala Dharaih al-Hanabilah, hal. 275).
Dari kalangan ulama madzhab Syafi’i, al-Imam al-Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan al-Makki, guru pengarang I’anah al-Thalibin, kitab yang sangat otoritatif (mu’tabar) di kalangan ulama di Indonesia, berkata:
وَكَانَ السَّيِّدُ عَبْدُ الرَّحْمنِ الْأَهْدَلُ مُفْتِيْ زَبِيْدَ يَقُوْلُ: لاَ يُحْتَاجُ التَّأْلِيْفُ فِي الرَّدِّ عَلَى ابْنِ عَبْدِ الْوَهَّابِ، بَلْ يَكْفِي فِي الرَّدِّ عَلَيْهِ قَوْلُهُ صلى الله عليه وسلم سِيْمَاهُمُ التَّحْلِيْقُ، فَإِنَّهُ لَمْ يَفْعَلْهُ أَحَدٌ مِنَ الْمُبْتَدِعَةِ اهـ (السيد أحمد بن زيني دحلان، فتنة الوهابية ص/٥٤).
“Sayyid Abdurrahman al-Ahdal, mufti Zabid berkata: “Tidak perlu menulis bantahan terhadap Ibn Abdil Wahhab. Karena sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam cukup sebagai bantahan terhadapnya, yaitu “Tanda-tanda mereka (Khawarij) adalah mencukur rambut (maksudnya orang yang masuk dalam ajaran Wahhabi, harus mencukur rambutnya)”. Karena hal itu belum pernah dilakukan oleh seorang pun dari kalangan ahli bid’ah.” (Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, Fitnah al-Wahhabiyah, hal. 54).
Demikian pernyataan ulama terkemuka dari empat madzhab, Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali, yang menegaskan tentang sekte mereka.
Dalam Shahih al-Bukhari, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
Akan ada sekelompok manusia keluar dari arah timur. Mereka membaca al-Qur’an, namun apa yang mereka baca tidak melewati tenggorokan mereka. Mereka keluar dari agama sebagaimana anak panah keluar dari sasarannya. Tanda-tanda mereka mencukur rambut.”
Al-Imam al-Qasthalani berkata dalam mengomentari hadits ini, bahwa yang dimaksud dari arah timur adalah arah timur kota Madinah seperti Najd dan sesudahnya. Demikian pula Wahhabi, lahir di Najd dan kemudian menyebar ke mana-mana. Di samping mencukur rambut juga menjadi ciri khas mereka. Kaum Wahhabi memerintahkan orang-orang yang mengikuti mereka agar mencukur rambut, meskipun kaum wanita.
Oleh karena itu, sebagian ulama yang semasa dengan lahirnya ajaran Wahhabi berkata, “Tidak perlu menulis bantahan terhadap Ibn Abdil Wahhab. Karena sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam cukup sebagai bantahan terhadapnya, yaitu “Tanda-tanda mereka (Khawarij) adalah mencukur rambut (maksudnya orang yang masuk dalam ajaran Wahhabi, harus mencukur rambutnya)”.
Dalam hadits lain tentang Khawarij, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Mereka akan membunuh umat Islam, akan tetapi membiarkan penyembah berhala”.
Hadits ini persis dengan aliran Wahhabi. Mereka belum pernah mengarahkan peperangan terhadap selain umat Islam. Dalam sejarah mereka belum pernah dikenal bahwa mereka mendatangi atau bermaksud memerangi penyembah berhala, karena hal tersebut tidak masuk dalam prinsip dan buku-buku mereka yang isinya penuh dengan kecaman dan pengkafiran terhadap umat Islam.
Al-Imam al-Bukhari juga meriwayatkan dari Ibn Umar dalam menjelaskan ciri-ciri kaum Khawarij, “Mereka mengambil ayat-ayat al-Qur’an yang turun mengenai orang-orang kafir, lalu mereka tuangkan kepada orang-orang beriman”.
Ibn Abbas juga berkata: “Janganlah kalian seperti Khawarij, memaksakan penafsiran ayat-ayat al-Qur’an untuk umat Islam (ahlil qiblah). Padahal ayat-ayat tersebut turun mengenai ahlul-kitab dan orang-orang musyrik. Mereka tidak mengetahui ilmunya, lalu mereka mengalirkan darah dan merampas harta benda orang-orang Muslim”. Demikian pula kaum Wahhabi, mengambil ayat-ayat yang turun mengenai pemuja berhala, lalu mereka terapkan pada orang-orang yang beriman. Hal tersebut memenuhi buku-buku dan menjadi dasar madzhab mereka.
Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830
Sumber inspirasi tulisan: “Buku Pintar Berdebat dengan Wahhabi” karya Ust. Muhammad Idrus Ramli, alumni Pondok Pesantren Sidogiri tahun 1424/2004

Pos terkait