PERTANYAAN: Apa Perbedaan Tafwidh, Taslim dan Tawakal?
Assalamu’alaikum wr. wb. Mohon penjelasannya, apa perbedaannya kata توكل..تسليم..تفويض [Al-faz M Farid Farid].
Terima kasih admin sudah diperkenankan gabung. Ndalem punya pertanyaan: Apa perbedaannya Tafwidh dan Tawakal? Pengapunten, bahasanya campur kode. Ditunggu jawabannya. Matursuwun. [Rhaa].
JAWABAN atas Pertanyaan Perbedaan Tafwidh, Taslim dan Tawakal.
Wa’alaikumussalam. Syaikh Abu Ali Ad Daqqoq berkata: “Tawakkal itu ada 3 derajat, yaitu tawakkal kemudian taslim kemudian tafwidl. Orang yang bertawakkal tenang pada janji-Nya, orang yang taslim merasa cukup dengan ilmu-Nya dan orang yang tafwidl ridlo dengan hukum-Nya. Tawakkal adalah permulaan, taslim adalah pertengahan dan tafwidl adalah puncaknya. Tawakkal adalah sifatnya mukminin, taslim adalah sifatnya para wali dan tafwidl adalah sifatnya muwahhidin.”
Tawakkal adalah titik permulaan dari berbagai hâl yang khusus berhubungan dengan perintah atau perjalanan rohani, dengan menyandarkan diri kepada Allah dan bersikap percaya penuh (tsiqah) kepada-Nya; kemudian dilanjutkan dengan menggetakkan hati dalam kawasan keberlepasan diri dari segala bentuk kekuatan dan daya manusia. Hasil dari tawakal adalah: mengalihkan segala sesuatu kepada sang Mahakuasa yang kekuasaan-Nya absolut dan tercapainya penyandaran diri secara total kepada Allah secara spiritual di akhirnya.
Setelah tawakal, yang muncul kemudian adalah “taslîm”, setelah itu muncullah “tafwîdh”, dan ujungnya adalah “tsiqah”.
Tawakal berarti: penyandaran hati kepada Allah mempercayai-Nya sepenuhnya, serta kesadaran hati untuk melarikan diri dari pengawasan kekuatan dan sumber manapun. Jika penyandaran diri dan kepercayaan penuh seperti ini belum tercapai, maka seorang hamba tidak dapat disebut sudah bertawakal. Selain itu, seorang hamba juga tidak akan pernah dapat mencapai tawakal yang sejati, selama pintu-pintu hatinya masih terbuka bagi yang selain Allah Swt.
Tawakal harus dilakukan dengan tetap memberi perhatian pada ikhtiar dan tanpa meninggalkan ikhtiar yang ada di kawasan al-asbâb. Barulah setelah itu kita harus menunggu gerakan takdir yang bersifat absolut terhadap kita semua. Dua langkah setelah tawakal, terdapat tahapan “taslîm” yang oleh para Ahl al-Haqq didefinisikan sebagai “sikap berserah diri seperti layaknya mayit di tangan orang yang memandikannya”. Setelah itu, terdapat maqam “tafwîdh” yang artinya adalah: Mengalihkan segala sesuatu kepada Allah ta’ala dan menunggu segala sesuatu dari-Nya.
Jadi, tawakal adalah titik permulaan, sementara taslîm adalah hasilnya, dan tafwîdh adalah buahnya. Itulah sebabnya, tafwîdh lebih luas dari kedua maqam sebelumnya, dan ia layak bagi orang-orang yang sudah sampai di akhir, karena di dalam tafwîdh terkandung maqam yang melebihi maqam “keterlepasan manusia dari kekuatan dan daya yang dimilikinya” yang terdapat pada tahapan taslîm. Pada maqam inilah seseorang mencapai ufuk “lâ haula wa lâ quwwata illâ billâh” (tiada daya dan tiada kekuatan melainkan hanya pada Allah), dan ia akan merasakan isi dari “Khazanah Tersembunyi” (Kanz Makhfi) di setiap saat, serta ia juga akan memiliki seluruh kekayaan yang ada di dalam surga.
Dengan kata lain: Seorang salik yang menempuh jalan kebenaran, selalu merasakan kelemahan dan kefakirannya karena ia selalu ingat pada titik istinâd dan istimdâd yang ada di dalam hatinya. Setelah ia memiliki kesadaran atas dua hal itu, ia pun berkata: “Hamba tak mampu berpaling dari-Mu. Raihlah tangan hamba wahai Ilahi…raihlah tangan hamba…”, lalu ia bertawajuh menuju sang Sumber kekuatan, kehendak, dan keinginan.
Tawakal adalah sikap hamba untuk menjadikan Tuhannya sebagai tempatnya bergantung demi kemaslahatannya, baik pada urusan duniawi maupun ukhrawi. Adapun tafwîdh adalah istilah yang dipakai untuk menyebut pengakuan terhadap esensi yang ada di balik sikap tawakal dengan menggunakan perasaan hati.
Dengan kata lain: Tawakal adalah ketika seorang manusia bersandar kepada Allah dan segala yang dimiliki-Nya serta menutup semua pintu hati dari yang selain Dia. Kita juga mengatakan bahwa tawakal adalah membaktikan tubuh dalam ubudiyah dan mengaitkan hati dengan rububiyah.
Syihab bersyair tentang masalah ini:
( Madarijus Salikin -Ibn Al Qoyyim- 2/170 ). Wallohu a’lam.
Referensi:
Kitab Maslakul Atqiya’ hal. 146, kitab ihya’ 4/258, Kitab Sirojut Tholibin:
[Mujawwib : Nur Hamzah, Muh Jayus, Muchsin El Munawwar, Dul].
Sumber tulisan lihat di sini.
Tulisan terkait baca di sini.