Hadits-hadits yang menerangakan bahwa Nabi Khidhir masih hidup adalah :
1. Ad-Daraqathni riwayat dari Ibnu ‘Abbas : “Nabi Khidhir dan Nabi Ilyas bertemu setiap tahun saat musim haji, dan mereka berdua saling mencukur (tahallul) kepala satu sama yang lain.” Ibnu Hajar mengatakan sanadnya lemah. Sementara riwayat Ahmad dalam az-Zuhd dan ath-Thabarani dengan penambahan “Mereka berdua berpuasa Ramadhan di Baitul Maqdis.” Ibnu Hajar mengatakan sanadnya hasan.
2. Musnad Abu Usamah : “Nabi Khidhir di samudra dan Nabi Ilyas di daratan, mereka bertemu tiap malam di samping tembok yang dibuat Dzul Qarnain.” ( Lihat Syawahid al-Haq hlm. 200 tentang 4 hadits yang dibawakan Ibnul Jauzi. )
Al-Hafizh al-Munawi mengatakan bahwa hadits tentang ini dha‘if, akan tetapi menjadi kuat (hasan) karena banyaknya riwayat dengan lafazh yang berbeda-beda termasuk dalam al-Mustadrak. Dan kesimpulannya hadits-hadits di atas adalah hasan atau shahih bukan lagi dha‘if. (Faidh al-Qadir juz 3 hlm. 618-619.).
Al-Hafizh al-Munawi mengatakan bahwa hadits tentang ini dha‘if, akan tetapi menjadi kuat (hasan) karena banyaknya riwayat dengan lafazh yang berbeda-beda termasuk dalam al-Mustadrak. Dan kesimpulannya hadits-hadits di atas adalah hasan atau shahih bukan lagi dha‘if. (Faidh al-Qadir juz 3 hlm. 618-619.).
Syaikh Yusuf an-Nabhani mengatakan: “Keterangan bahwa Nabi Khidhir masih hidup adalah sudah menjadi ketetapan para wali dan didukung oleh para ahli fiqh, ahli ushul dan hampir mayoritas ahli hadits, begitulah yang dikatakan oleh Syaikh Abu ‘Amr bin ash-Shalah yang dinukil oleh an-Nawawi dan menyetujuinya.” (Syawahid al-Haq hlm. 198-200.).
Beliau menambahkan, sejumlah masyayikh besar bahkan tak terhitung jumlahnya, ada yang pernah berkumpul satu majelis dengan Nabi Khidhir. Izzuddin bin Abdissalam saat ditanya apakah Nabi Khidhir masih hidup, beliau mengatakan: “Demi Allah, tujuh puluh para shiddiqin mengabarkan bahwa mereka melihat Nabi Khidhir dengan mata kepala mereka”.
Masih kata beliau (Yusuf an-Nabhani): “Demi Allah, telah mengabarkan kepadaku tidak hanya satu waliyullah, bahwa mereka pernah berkumpul dengan Nabi Khidhir. Bahkan demi Allah, para auliya’ mengabarkan kepadaku bahwa aku pernah berkumpul satu majelis dengan Nabi Khidhir dan bertanya sesuatu kepadaku dan aku menjawabnya, namun aku tidak mengenalnya karena orang yang dapat mengenalnya hanyalah orang yang mempunyai nur (cahaya keimanan). Keterangan ini disampaikan karena Ibnul Jauzi ingkar terhadap masih hidupnya Nabi Khidhir serta menyelisih keterangan para wali yang shiddiqin.
Menurut al-Yafi‘i, keterangan yang diberikan Ibnul Jauzi dengan menyampaikan hadits-hadits tentang masih hidupnya Nabi Khidhir adalah saling bertentangan. Beliau ingkar tapi anehnya juga meriwayatkan 4 hadits muttashil yang menerangkan tentang masih hidupnya Nabi Khidhir. ( Ibid. hlm. 200 dan Fatawi Haditsiyyah hlm. 218.).
Di antara ulama yang mengatakan Nabi Hidhir masih hidup adalah :
1. As-Suyuthi dalam Khasha’ish
2. Wahb bin al-Munabbih dalam al-Mubtada’
3. Al-Khazin dalam tafsirnya
4. An-Nawawi
5. Ibnu Hajar al-Haitami dalam Fatawi Haditsiyyah
6. Al-Hafizh Ibnu Hajar
7. Ash-Shafuri dalam Nuzhatul Majalis
8. Imam Nawawi Banten dalam Nur azh-Zhalam. Beliau mengatakan masalah Nabi Khidhir masih hidup diperselisihkan ulama namun pendapat yang bisa dipegang adalah Nabi Khidhir masih hidup.
9. Dan lain-lain.
Bukti bahwa Nabi Khidhir masih hidup adalah :
1. As-Suyuthi dalam Khasha’ish
2. Wahb bin al-Munabbih dalam al-Mubtada’
3. Al-Khazin dalam tafsirnya
4. An-Nawawi
5. Ibnu Hajar al-Haitami dalam Fatawi Haditsiyyah
6. Al-Hafizh Ibnu Hajar
7. Ash-Shafuri dalam Nuzhatul Majalis
8. Imam Nawawi Banten dalam Nur azh-Zhalam. Beliau mengatakan masalah Nabi Khidhir masih hidup diperselisihkan ulama namun pendapat yang bisa dipegang adalah Nabi Khidhir masih hidup.
9. Dan lain-lain.
Bukti bahwa Nabi Khidhir masih hidup adalah :
1. Sayyidina Ali yang melihat Nabi Khidhir berada di Ka’bah. (Inayatul Muftaqir hlm. 52. )
2. Al-Mursyi, murid Syaikh Abul Hasan asy-Syadzili mengatakan: “Nabi Khidhir masih hidup, dan aku benar-benar telah bersalaman dengan tanganku ini. Pernah suatu hari Nabi Khidhir As. mendatangiku dan beliau mengenalkan diri dan aku minta supaya diberi tahu tentang arwah-arwah orang muslim, apakah disiksa atau diberi nikmat? Andai datang kepadaku seribu ahli fikih dan mendebatku bahwa Nabi Khidhir telah wafat, maka aku tidak akan mengikuti pendapat mereka.” (Al-Madrasah asy-Syadziliyyah hlm. 186 )
3. Abul Hasan asy-Syadzili yang bertemu Nabi Khidhir di padang Aidzab. (An-Nafahat asy-Syadziliyyah hlm. 280.)
4. ‘Umar bin Sinan mengatakan: “Kami berpapasan dengan Ibrahim al-Khawwash, aku berkata kepadanya: ‘Ceritakanlah kepada kami hal yang paling menakjubkan yang engkau lihat dalam perjalananmu!’ Ibrahim menjawab: ‘Aku bertemu dengan Nabi Khidhir As. dan minta untuk menemaniku dalam perjalanan, lalu aku khawatir malah merusak sifat tawakalku (kepada Allah) dengan merasa nyaman bersama dia, maka kemudian aku berpisah dengannya.” ( Risalah al-Qusyairiyyah hlm. 166. )
5. Bisyr al-Hafi menceritakan:
“Aku mendengar Bilal al-Khawwash berkata: ‘Satu waktu aku berada di Padang Tih Bani Isra’il. Tiba-tiba seorang laki-laki menemaniku berjalan, dan aku keheranan. Kemudian aku diberi ilham oleh Allah bahwa laki-laki tersebut adalah Nabi Khidhir As. Kemudian aku bertanya kepada laki-laki tesebut: ‘Demi kebenaran Allah yang haq siapakah saudara?’ Laki-laki tersebut menjawab: ‘Aku saudaramu, Khidhir.’ Lalu aku katakan: ‘Aku bermaksud bertanya kepadamu?’ ‘Bertanyalah!’ jawab Khidhir. Lalu Bilal bertanya: ‘Bagaimana pendapat engkau tentang asy-Syafi’i ra.?’ Khidhir menjawab: ‘Dia laki-laki yang shiddiq …’” (Ibid. hlm. 405.)
Lebih lengkapnya baca ‘Inayatul Muftaqir karangan Syaikh Muhammad Mahfuzh Termas yang telah dikaji ulang oleh Syaikh KH. Maimun Zubair Sarang, sebuah kitab yang membicarakan tentang Nabi Khidhir secara lengkap yang dinukil dari kitab al-Ishabah karya al-Hafizh Ibnu Hajar.
Perihal Nabi Khidir AS, imam Bukhori, Ibnul-Mandah, Abu Bakar Al-Arobi, Abu Ya’la, Ibnul-Farra’, Ibrahim Al-Harbi dan lain-lain berpendapat, Nabi Khidir AS. tidak lagi hidup dengan jasadnya, ia telah wafat. Yang masih tetap hidup adalah ruhnya saja, yaitu sebagaimana firman Alloh SWT:
وَمَا جَعَلْنَا لِبَشَرٍ مِّن قَبْلِكَ الْخُلْدَ أَفَإِن مِّتَّ فَهُمُ الْخَالِدُونَ
“Kami tidak menjadikan seorang pun sebelum engkau (hai Nabi), hidup kekal abadi.” (QS Al-Anbiya’: 34)
Hadith marfu’ dari Ibn Umar dan Jabir (RA.) menyatakan: “Setelah lewat seratus tahun, tidak seorang pun yang sekarang masih hidup di muka bumi.” Ibnus-Sholeh, Ats-Tsa’labi, Imam An-Nawawi, Al-Hafiz Ibnu Hajar al-Asqolani dan kaum Sufi pada umumnya; demikian juga jumhurul-‘ulama’ dan ahlush sholeh (orang-orang saleh), semua berpendapat, bahwa Nabi Khidir AS. masih hidup dengan jasadnya, ia akan meninggal dunia sebagai manusia pada akhir zaman. Ibnu Hajar al-Asqolani di dalam Fathul-Bari menyanggah pendapat orang-orang yang menganggap Nabi Khidir AS. telah wafat, dan mengungkapkan makna hadits yang tersebut di atas, yaitu uraian yang menekankan, bahwa Nabi Khidir AS masih hidup sebagai manusia. Ia manusia makhsus (dikhususkan Alloh), tidak termasuk dalam pengertian hadits di atas.
Mengenai itu kami berpendapat :
1.Kekal berarti tidak terkena kematian, kalau Nabi Khidir AS. dinyatakan masih hidup, pada suatu saat ia pasti akan wafat. Dalam hal itu, ia tidak termasuk dalam pengertian ayat Al-Qur’an yang tersebut di atas selagi ia akan wafat pada suatu saat.
2.Kalimat ‘di muka bumi’ yang terdapat dalam hadits tersebut, bermaksud adalah menurut ukuran yang dikenal orang Arab pada masa itu (dahulu kala) mengenai hidupnya seorang manusia di dunia. Dengan demikian maka Nabi Khidir AS. dan bumi tempat hidupnya tidak termasuk ‘bumi’ yang disebut dalam hadits di atas, karena ‘bumi’ tempat hidupnya tidak dikenal orang-orang Arab.
3.Yang dimaksud dalam hal itu ialah generasi Rosululloh SAW. terpisah sangat jauh dari masa hidupnya Nabi Khidir AS. Demikian menurut pendapat Ibnu Umar, yaitu tidak akan ada seorang pun yang mendengar bahwa Nabi Khidir AS. wafat setelah usianya lewat seratus tahun. Hal itu terbukti dari wafatnya seorang bernama Abul-Thifli Amir, satu-satunya orang yang masih hidup setelah seratus tahun sejak adanya kisah tentang Nabi Khidir AS.
4.Apa yang dimaksud ‘yang masih hidup’ dalam hadits tersebut ialah : tidak ada seorang pun dari kalian yang pernah melihatnya atau mengenalnya. Itu memang benar juga.
5.Ada pula yang mengatakan, bahwa yang dimaksud kalimat tersebut (yang masih hidup) ialah menurut keumuman (gholib) yang berlaku sebagai kebiasaaan. Menurut kebiasaan amat sedikit jumlah orang yang masih hidup mencapai usia seratus tahun. Jika ada, jumlah mereka sangat sedikit dan menyimpang dari kaedah kebiasaan; seperti yang ada di kalangan orang-orang Kurdistan, orang-orang Afghanistan, orang-orang India dan orang-orang dari penduduk Eropah Timur.
Nabi Khidir AS. masih hidup dengan jasadnya atau dengan jasad yang baru. Dari semua pendapat tersebut, dapat disimpulkan: Nabi Khidir AS. masih hidup dengan jasad dan ruhnya, itu tidak terlalu jauh dari kemungkinan sebenarnya. Tegasnya, Nabi Khidir AS masih hidup; atau, ia masih hidup hanya dengan ruhnya, mengingat kekhususan sifatnya. Ruhnya lepas meninggalkan Alam Barzakh berkeliling di alam dunia dengan jasadnya yang baru (mutajassidah, bukan semacam REINKARNASI yang dibayangkan, namun kehendak Alloh SWT jua, dan Dia yang Maha Mengetahui mekanismenya.). Itupun tidak terlalu jauh dari kemungkinan sebenarnya, dengan demikian maka pendapat yang menganggap Nabi Khidir AS. masih hidup atau telah wafat, berkesimpulan sama; yaitu: Nabi Khidir AS. masih hidup dengan jasadnya sebagai manusia, atau, hidup dengan jasad ruhi (ruhani). Jadi, soal kemungkinan bertemu dengan Nabi Khidir AS. atau melihatnya adalah benar sebenar-benarnya.
Semua riwayat mengenai Nabi Khidir AS. yang menjadi pembicaraan ahlulloh (orang-orang bertaqwa dan dekat dengan Alloh S.W.T.) adalah kenyataan yang benar terjadi. Silahkan lihat kitab Ushulul-Wushul karya Imam Al-Ustaz Muhammad Zaki Ibrahim, Jilid I, Bab: Kisah Khidir Bainas-Šufiyah Wal-‘Ulama’.
Dipetik dengan sedikit perubahan dari Hamid Al-Husaini, Al-Bayanusy-Syafi Fi Mafahimil Khilafiyah; Liku-liku Bid‘ah dan Masalah Khilafiyah (Singapura: Pustaka Nasional Pte Ltd, 1998, m.s. 488).
Badi’uz Zaman Said Nursi di dalam Maktubat, Al-Maktubul-Awwal, dari koleksi Rosailun-Nur. Nursi menjawab satu persoalan…adakah Sayyidina Khidir masih hidup ? Nursi menjawab; ya…karena ‘hayah’ itu 5 peringkat. Nabi Khidir di peringkat kedua.
Lima Peringkat ‘hayah’ itu ialah:
1.Kehidupan kita sekarang yang banyak terikat pada masa dan tempat.
2.Kehidupan Sayyidina Khidir dan Sayyidina Ilyas, mereka mempunyai sedikit kebebasan dari ikatan seperti kita. Mereka boleh berada di banyak tempat dalam satu masa. boleh makan dan minum bila mereka mau. Para Awliya’dan ahli kasyaf telah meriwayatkan secara mutawatir akan wujudnya ‘hayah’ di peringkat ini. Sehingga di dalam maqom ‘wilayah’ ada dinamakan maqom Khidir.
3.Peringkat ketiga ini seperti kehidupan Nabi Idris dan Nabi Isa. Nursi berkata, peringkat ini kehidupan nurani yang mendekati hayah malaikat.
4.Peringkat ini pula…ialah kehidupan para syuhada’, mereka tidak mati, tetapi mereka hidup seperti disebut dalam al-Qur’an. Ustaz Nursi sendiri pernah musyahadah peringkat kehidupan ini.
5.Dan yang ini Hayah atau kehidupan rohani sekalian ahli kubur yang meninggal.
Silahkan merujuk kepada Mursyid masing-masing. Wallohhua’lam. Subhanaka la ‘ilma lana illa ma alamtana innaka antal ‘alimul hakim. Tag On : Artikel Islami; Tasawuf. [Oleh Mbah Jenggot, Sandra Al G].