Oleh Mbah Jenggot
Tercatat dalam kitab Ibanah al-Ahkam syarah Bulugh al-Maram juz 2 halaman 194 berikut :
Rasulallah bersabda sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Jabir:
نَهَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُجَصَّصَ الْقَبْرُ وَأَنْ يُقْعَدَ عَلَيْهِ وَأَنْ يُبْنَى عَلَيْهِ
“Rasulallah melarang mengkapur kuburan, duduk di atasnya dan membangun bangunan di atasnya.”
Dalam menafsiri hadits pelarangan membangun bangunan di atas kuburan tersebut, para ulama madzhab berbeda pendapat.
1.Menurut asy-Syafi’i dan para pengikutnya, Abu Hanifah dan pengikut madzhab Ahmad bin Hanbal (dalam satu pendapat kuat), bahwa pelarangan membangun kuburan yang di maksud adalah makruh jika dibangun di atas kuburan milik pribadi (bukan wakaf atau musabbal). Dan jika bangunan tersebut dibangun di atas pekuburan musabbal (tempat yang sudah menjadi kebiasaan daerah setempat dibuat untuk mengubur mayit) atau kuburan wakaf, maka hukumnya haram dan wajib dirobohkan.
2.Sedangkan menurut ulama Malikiyyah, makruh hukumnya membangun bangunan di atas kuburan tanah bebas (tidak ada pemilik), atau milik seseorang tapi dengan izin atau di bumi mati (mawat) bila tidak kerena sombong. Dan hukumnya haram jika dibangun di atas kuburan tanah tidak bebas seperti tanah wakaf atau membangun karena sombong.
Keharaman membangun bangunan di atas kuburan wakaf atau musabbal, baik kubah atau yang lain, adalah jika tidak ada kekhawatiran dibongkar orang. Jika ada kekhawatiran, maka membangun bangunan tersebut hukumnya boleh.
Jika bangunan makam, baik kubah atau yang lain, sudah ada sedari dulu tanpa diketahui apakah dulunya dibangun dengan benar, artinya dibangun di atas tanah yang bukan wakaf atau musabbal atau dibangun dengan tidak benar seperti di bangun di atas tanah wakaf atau musabbal, maka bangunan kuburan tersebut tidak boleh dirobohkan karena kita tidak yakin jika bangunan tersebut adalah maksiyat. Dan ketetapan hukum ini yang seyogyanya di buat pijakan untuk menyikapi kubah-kubah makam wali-wali di tanah jawa.
Menurut sebagian ulama Syafi’iyyah, membangun kuburan nabi, wali dan orang-orang saleh di atas kuburan musabbal atau wakaf diperbolehkan.
Sedangkan pendapat yang laen mengatakan haram mutlak tanpa terkecuali, artinya baik nabi, wali atau orang biasa hukumnya sama.
Kemudian hukum makruh membangun bangunan di atas tanah pribadi seperti keterangan di atas adalah jika mayit yang dikubur tersebut bukan seorang Nabi, wali atau orang shaleh. Jika mayit yang dikubur adalah seorang Nabi, wali atau orang saleh, maka membangun bangunan di atasnya adalah termasuk qurbah (sesuatu yang di nilai ibadah). Sebab, dapat menghidupkan makam untuk diziarahi dan untuk tabarruk (mendapatkan berkah) sebagaimana dikatakan oleh Zakariyya al-Anshari dan ulama-ulama lain.
Dalam kitab Asna al-Mathalib bab washiyat disebutkan:
)وَتَصِحُّ ) مِنْ مُسْلِمٍ وَكَافِرٍ ( بِعِمَارَةِ الْمَسَاجِدِ ) لِمَا فِيهَا مِنْ إقَامَةِ الشَّعَائِرِ ( وَقُبُورِ اْلأَنْبِيَاءِ وَالْعُلَمَاءِ وَالصَّالِحِينَ ) لِمَا فِيهَا مِنْ إحْيَاءِ الزِّيَارَةِ وَالتَّبَرُّكِ بِهَا . قَالَ صَاحِبُ الذَّخَائِر : وَلَعَلَّ الْمُرَادَ أَنْ يُبْنَى عَلَى قُبُورِهِمْ الْقِبَابُ وَالْقَنَاطِرُ كَمَا يُفْعَلُ فِي الْمَشَاهِدِ إذَا كَانَ فِي الدَّفْنِ فِي مَوَاضِعَ مَمْلُوكَةٍ لَهُمْ أَوْ لِمَنْ دَفَنَهُمْ فِيهَا لاَ بِنَاءُ الْقُبُورِ نَفْسِهَا لِلنَّهْيِ عَنْهُ وَلاَ فِعْلُهُ فِي الْمَقَابِرِ الْمُسَبَّلَةِ فَإِنَّ فِيهِ تَضْيِيقًا عَلَى الْمُسْلِمِينَ .
“Sah wasiyat membangun masjid baik dari orang muslim atau kafir karena termasuk dari bagian untuk menjunjung syiar-syiar Islam. Termasuk juga makam para nabi, wali dan orang-orang shalih karena termasuk menghidupkan ziarah dan tabarruk di kuburan tersebut. Pengarang kitab Dzakha’ir berkomentar: ‘Mungkin maksudnya boleh membangun kubah, bangunan tinggi seperti yang dilakukan di tempat-tempat terhormat dan bersejarah itu baik adalah jika mayit dikuburkan di tanah milik pribadi dan bukan kuburan musabbal. Sebab, hal tersebut dapat menjadikan sempit bagi muslim yang akan dimakamkan di situ.”
Sedangkan menanggapi hadits riwayat Muslim yang sering juga dibuat dalil oleh pengikut faham yang mengharamkan mutlak membangun bangunan di atas kuburan, yaitu hadits berikut:
لَعَنَ اللهُ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ
“Allah melaknat orang Yahudi dan Nashrani yang membuat masjid di kuburan-kuburan para nabinya.”
Al-Allamah Abdurrauf Al-Munawi menguraikan bahwa hadits di atas berbicara tentang perilaku orang Yahudi dan Nashrani yang membuat makam para nabinya sebagai arah kiblat dengan iktikad yang bathil. Mereka juga bersujud di kuburan para nabi tersebut karena ta‘zhim (mengagungkan), menghadapkan shalat mereka ke arah makam tersebut dan membuat berhala-berhala yang menjadi sebab Allah melaknat mereka. Dan hal inilah yang dilarang oleh Allah kepada kaum muslim untuk mengikuti perilaku mereka.
Adapun membangun masjid di samping makam orang shalih atau shalat di kuburan dengan tujuan pahalanya disampaikan kepada mayit yang dikubur di makam tersebut dengan tidak ada niat mengagungkan tempat tersebut atau shalat menghadap makam-makam tersebut maka itu tidak ada dosa baginya. Bukankah makam Nabiyullah Isma’il berada di Hathim (tembok Ka’bah) di dalam Masjidil Haram? ( Faidh al-Qadir juz 4 hlm. 591 (hadits no. 5995).)
———-
Rujukan :
Hasyiyah asy-Syarwani juz 3 hlm. 216.
Ibid juz 3 hlm. 217.
Hasyiyah al-Bajuri juz 1 hlm. 257.
Hasyiyah asy-Syarwani juz 3 hlm. 216.
Tarikh al-Hawadits hlm 54