Menuntut ilmu dengan metode Talaqqi
Sebagaimana telah kami jelaskan pada artkel sebelumnya tentang Allah menuntut kita mencari ilmu dengan sanad di , http://inilah-salafi.blogspot.com/2011/10/carilah-ilmu-dengan-sanad.html, maka sedikit tambahan tentang pentingnya memperhatikan metode Talaqqi dalam menuntut ilmu dan kalaupun tidak memungkinkannya, maka metode ijazah adalah sebuah solusi praktis namun juga harus mengetahui persayaratannya.
Pada periode awal, metode talaqqi menjadi metode pilihan agar dapat meriwayatkan apa yang disampaikan oleh guru mereka, yakni salah satu metode periwayatan dengan teknis murid secara langsung mendengar bacaan gurunya (dalam istilah periwayatan hadits diistilahkan dengan metode Sima’) atau sebaliknya, murid yang membaca dan didengarkan secara seksama oleh gurunya (dalam istilah periwayatan hadits biasa diistilahkan dengan metode Qiroah). Sehingga setiap kitab da cabang ilmu lain yang diriwayatkan oleh mereka pasti memiliki sanad sampai pada mushonnifnya.
Periwayatan dengan metode talaqqi seperti ini, selain untuk memantapkan bahwa kitab yang diriwayatkan memang benar-benar dari mushonnifnya, juga memiliki kesitimewaan lain, yakni mempermudah mereka untuk memahami maksud yang dikehendaki oleh mushonnifnya dari keterangan dalam kitabnya, serta menjaga keakuratan teks kitab yang diriwayatkan, sehingga teks tersebut sampai pada periwayat dalam keadaan terbebas dari pengurangan dan penambahan (distorsi dan talbis).
Dan telah kita saksikan saat ini dengan ilmu metode talaqqi dan bukti naskah asli, terbongkar sudah, banyak kitb-kitab para ulama klasik kita yang telah menjadi sasaran distorsi dan talbis dari para aliran-aliran sempalan yg tidak memiliki sanad keilmuan seperti salafy wahhabi dan syi’ah. Di antaranya kitab Tafsir ash-shofi dari karya ulama yang bermadzhab Maliki yang telah dipotong sebagian naskah aslinya, juga kitab Al-Adzkar karya imam Nawawi yang telah mengalami perubahan sub judul dengan merubah bab Ziayarh qobrin Nabi menjadi bab ziayarah masjidin nabi, kitab Ibanah karya imam Asy’ary dalam hal aqidah tak luput dari tahrif mereka, juga kitab al-Ghunyah karya syaih Abdu Qodir pun benyak perubahan yg dilakuan oleh mereka.
Akan tetapi seiring perkembangan khazanah Islam dan begitu banyaknya kitab yang ditulis oleh para ulama, metode ini lambat laun tidak lagi menjadi satu-satunya metode pengembangan ajaran-ajaran Islam yang telah terukir dalam kitab-kitab karya ulama.
Lag pula tidak sedikit muncul kitab-kitab tebal, sehingga bila metode talaqqi tetap menjadi satu-satunya cara periwayatan demi memperoleh sanad sampai pada mushonnifnya, maka akan membutuhkan waktu yang lama dan akan memperlambat perkembangan ajaran agama Islam sendiri.
Maka metode Ijazah kemudian menjadi solusi yang ditawarkan dan dianggap sebagai metode praktis untuk menjaga keberlangsungan dan kemurnian karya-karya para ulama yang telah diriwayatkan dan dinyatakan kevalidannya, dengan syarat :
Naskah tsb dipercaya kevalidannya
Terdapat bebrapa naskah yang sama sehingga diduga kuat kevalidannya
Penukil adalah orang yang peka terhadap setiap pengurangan dan perubahan yang terdapat dalam sebuah teks kitab.
Sementara bila sayarat tidak terpenuhi maka penukil tidak boleh menisbatkan keterangan suatu kitab pada mushonnifnya.
Meskipun tidak bisa dipungkiri metode ini masih diperselisihkan para ulama. Apakah metode ini dapat menggantikan metode talaqqi dalam menjaga khazanah pustaka Islam dari penambaan, pengurangan atau bahkan pengubahan atau tidak. Sebagaimana metode ini juga dierselisihkan dalam periwayatan hadits. Di antara ulama yang melegalkan metode ijazah untuk menjaga hadits Rasulullah Saw adalah Hasan Al-Bashri, Malik bin Anas, Sufyan At-Tsauri, imam Syafi’I, Ahmad bin Hanbal, Bukhari dan Muslim. Mereka berpijak pada sebuah hadits :
عن عروة بن الزبير قال: بعث رسول الله صلى الله عليه وسلم عبد الله بن جحش إلى نخلة، فقال: كن بها حتى تأتينا بخير من أخبار قريش. ولم يأمره بقتال، وذلك في الشهر الحرام وكتب لهم كتابا قبل ان يعلمه اين يسير وقال: «اُخرج أنت وأصحابك حتّى إذا سرت يومين فافتح كتابك وانظر ما فيه وامض لما أمرتك». ولا تستكرهن احدا من اصحابك على الذهاب معك فلمّا سار يومين وفتح الكتاب فإذا فيه: «أن امض حتّى ننزل نخلة، فائتنا من أخبار قريش بما يصل إليك منهم» فقال لاَصحابه حين قرأ الكتاب: سمعاً وطاعة، من كان له رغبة في الشهادة فلينطلق معي فاني ماض لامر رسول الله صلى الله عليه وسلم
“ Diceritakan dari Urwah bin Zubair, dia berkata “ Rasulullah Saw pernah mengutus Abdullah bin Jahsyin ke sebuah kebun kurma, lalu beliau berkata kepadanya” Tetaplah di sana sehingga sampai pada kami satu berita dari berita-berita kaum Quriasy “. Beliau tidak memerintahkannya untuk berperang. Peristiwa tsb terjadi pada bulan yg dimuliakan. Saat itu Rasululllah Saw menulis sepucuk surat sebeum beliau memberitahukan padanya ke mana belaiu akan pergi. Beliau berkata : “ Keluarlah kamu dan sahabt-sahabatmu, kemudian ketika kamu telah melakukan perjalanan selama dua hari, bukalah surat itu dan lihatlah, maka apapun yang aku perintahkan padamu, laksanakanlah dan jangan kamu memaksa seseorang pun dari sahabat-sahabatmu untuk ikut pergi bersamamu. “. Maka ketika Abdullah telah melakuan perjalanan selama dua hari, dia membuka surat tsb, ternyata surat it berisi perintah “ Lanjutkanlah sehingga kamu tinggal di kebun kurma itu lalu sampaikan padaku abara berita kaum Quaisy yang telah sampai padamu !” setelah beliau membacanya beliau berkata pada para sahabatnya “ Dengarkanakh dan patuhlah ! siapapun di anatara kalian yang ingn mati dalam kesyahidan maka berangkatlah bersamaku, sungguh aku orang yang meneruskan perintah Rasulullah Saw “ (HR. Baihaqi)
Hadits di atas menunjukan bahwa mendengarkan secara langsung bukanlah satu-satunya cara untuk dapat meriwayatkan perintah Rasulullah Saw. Bahkan beliau sendiri haya mnyampaikan pesannya melalui surat, itupun dengan tangan orang lain. Sebab, telah maklum kita ketahui sebagai suatu keistimewaan bahwa Rasulullah Saw adalah seorang ummi, tidak bias membaca dan menulis. Sememntara Abdullah hanya berpegang pada perintah Rasulullah Saw untuk membukanya ketika dia telah berjalan selama dua hari dan menyampaikan pada para sahabatnya. Selain hadits di atas masih banyak hadits lainnya lagi yg senada yang mengisahkan pesan Rasulullah Saw via sepucuk surat.
Meski demikian metode talaqqi tetaplah menjadi metode yang terbaik demi menjaga keautentikan dan keorisinilitas karya para ulama, sehingga tidak mengherankan bila banyak pondok pesantren lebih mengedepankan metode ini daripada metode ijazahan.
Metode talaqqi yaitu bertemu langsung dengan mendengarkan atau membaca di hadapan seorang guru dengan sanad yang tersambung pada mushonnifnya, seseorang akan dapt menuai keberkahan dari guru, para perawi seatasnya dan sang mushannif tentunya.