PERTANYAAN: Haruskah Ada Saksi dalam Pengucapan 2 Kalimat Syahadat?
Assalamu’alaikum Wr. Wb. kiai, ustadz, dan segenap member grup. Saya mau bertanya terkait pembacaan 2 kalimat syahadat bagi orang kafir maupun orang murtad:
1. Apakah harus ada saksi dari seseorang atau hanya cukup sendirian saja tanpa adanya saksi sama sekali. Afwan.
2. Dan yang kedua, bagaimana dengan seorang muslim yang dimana dari perkataan atau perbuatannya melakukan hal yang murtad. Sedangkan dia tidak mengetahui secara ilmu akan perilaku murtadnya tersebut lantaran minim ilmu. Kemudian dia melaksanakan shalat sampai selesai. Apakah kemudian dia bisa dikatakan masuk islam kembali. Karena dalam shalatnya sudah ada tasyahhud dengan yakin di hatinya.
3. Dan terkait wajib bertaubat bagi orang yang murtad, apakah wajib shalat taubat, atau hanya bertaubat biasa tanpa shalat taubat. Afwan. [Penyimak Bangsa].
JAWABAN dari pertanyaan Haruskah Ada Saksi dalam Pengucapan 2 Kalimat Syahadat?
Waalaikumussalam Wr. Wb.
– Duniawi
– Ukhrowiy.
Jika tidak disaksikan atau tidak dikemukakan keislamannya nanti jika tiba-tiba wafat, orang-orang tidak tahu dia sudah muslim. Dengan demikian, orang yang membenarkan syahadatain dengan hatinya tetapi tidak mengikrarkan dengan lisannya, maka dia mukmin menurut Alloh Ta’ala tetapi bukan orang mukmin dalam hukum-hukum duniawi.
2. Dengan sholat, tidak bisa otomatis dihukumi Islam, karena ibadahnya tidak sah kalau dia masih murtad (belum mengulang syahadat). Orang murtad yang sholat di darul Islam tidak menjadikannya otomatis muslim tapi kalau sholat di darul harbi, itu tanda dia muslim. Jika orang yang murtad, shalat di darul Islam (negara Islam), maka dia -dalam fiqih- tidak bisa langsung dianggap islam karena ada kemungkinan dia bertaqiyah (berkamuflase / menyamar / pura-pura) atau untuk menjaga diri saja. Sekali lagi, ini fiqih. Jika dia (orang yang murtad) sholat di darul harbiy, maka dia tidak punya kemungkinan bertaqiyah / menyamar ataupun pura-pura untuk menjaga diri biar tidak dibunuh orang Islam. Justru dia terancam dengan status muslimnya di darul harbiy.
Kalau kafir harbiy, yakni kafir asli melakukan sholat meskipun di daerahnya sendiri maka tidak bisa dihukumi islam. Berbeda dengan orang murtad, karena kewajiban-kewajiban syariat masih terikat baginya dan juga karena suatu kaidah “kembali itu lebih mudah dari pada memulai” maka ia dimaafkan, kecuali orang kafir harbiy itu terdengar bacaan syahadatnya di dalam shalatnya, maka ia dihukumi muslim. (Asnal Matholib Juz 3 Hal 12).
3. Taubatnya adalah dengan menyesal. Jika syahadat saja tapi tidak menyesali perkataan / keyakinan / perbuatannya, maka dia hanya muslim tapi tidak mu’min. Kemudian, murtad ada banyak macam seperti yang diterangkan dalam sullam taufiq (murtad dengan lisan, dengan i’tiqad dan dengan perbuatan). Kalau murtad i’tiqad (misalnya menganggap ada nabi setelah Nabi Muhammad shalla Allahu alaihi wa sallam), maka syahadat saja tidak cukup tapi dia juga harus keluar dari keyakinan adanya Nabi setelah Nabi Muhammad SAW. Kalau murtad i’tiqad (misalnya membenci salah satu fardhu dalam islam atau menghalalkan barang haram), maka syahadat saja tidak cukup tapi juga harus menarik kembali ucapannya (i’tiqadnya).
Imam Abu Bakar bin Sayyid Muhammad Syata al-Dimyati di dalam kitabnya (I’anah al-Thalibin) menjelaskan tentang hal-hal yang dapat menghasilkan keislaman secara mutlak atas orang kafir asli dan orang murtad (dan seterusnya). Ungkapan pengarang: (Dengan mengucapkan dua kalimat syahadat) adalah berkaitan dengan kalimat “ﻳﺤﺼﻞ ”. Tergantungnya keafsahan Islam atas pengucapan tersebut, karena pembenaran hati adalah perihal batin yang tidak tampak bagi kita, maka Allah dan Rasulullah (al-Syari’) menjadikannya sebagai hal yang bergantung dengan pengucapan dua kalimat Syahadat yang merupakan poros Islam.
Imam Muhammad bin Salim di dalam kitab karyanya (Is’adu al-Rafiq) menambahkan bahwa intinya, sesungguhnya syarat-syarat Islam adalah baligh, berakal, mengucapkan kehusususan dua kalimat syahadat atau dengan sesuatu yang mengindikasikan keduanya, mengetahui maknanya, berkesinambungan antara keduanya, tunduk dan menerima sekira tidak tampak suatu hal yang mengindikasikan ketidak patuhan, tidak terpaksa, mengakui dengan keingkarannya terhadap hal-hal yang diwajibkan atasnya, tidak digantungkan (dengan suatu apapun) dan menyertakan huruf “ ﻭﺍﻭ ” (diantara dua kalimat syahadat). Sebagian pendapat (syarat terakhir) ini tidak disyaratkan.
Syaikh Muhammad Nawawi di dalam kitabnya (Mirqatu Su’udi al-Tasdiq Fi Syarhi Sullam al-Taufiq) juga menambahkan bahwa kedua kalimat tersebut adalah “Asyhadu allaa ilaaha illallaah wa asyhadu anna Muhammadar rasulullaah shallallahu ‘alaihi wa sallam”. Dan disyaratkan keduanya harus berkesinambungan, urut dan menggunakan bahasa Arab jika mampu serta mengerti maknanya, mengacu atas yang ditekankan oleh Imam Ahmad al-Zahid dan al-Ramli (dan seterusnya). Dan wajib bagi pengikut “Isawi” (orang yang berkeyakinan bahwa Nabi Muhammad hanya diutus pada orang Arab) untuk mengucapkan kalimat “Ilaa jamii’il khalqi” setelah kalimat “Muhammad Rasulullah” . Dikutip dari Imam al-Syarqawi.
Dari pemaparan tersebut di atas, dapat diketahui bahwa syarat dan rukun membaca dua kalimat Syahadat untuk keabsahan keislaman orang kafir atau orang murtad adalah sebagai berikut:
1. Mencapai usia baligh
2. Berakal
3. Mengucapkan kehususan dua kalimat syahadat atau dengan sesuatu yang mengindikasikan keduanya
4. Mengetahui maknanya
5. Berkesinambungan antara keduanya
6. Tunduk dan menerima sekira tidak tampak suatu hal yang mengindikasikan ketidak patuhan
7. Tidak terpaksa
8. Mengakui dengan keingkarannya terhadap hal-hal yang diwajibkan atasnya
9. Tidak digantungkan (dengan suatu apapun)
10. Menyertakan huruf “ﻭﺍﻭ ” (di antara dua kalimat syahadat) menurut sebagian pendapat
11. Bagi pengikut “Isawi” (orang yang berkeyakinan bahwa Nabi Muhammad hanya diutus pada orang Arab) harus mengucapkan kalimat “Ilaa jamii’il khalqi” setelah kalimat “Muhammad Rasulullah”.
Referensi :
ولا يحصل له الرجوع إلا (بالنطق) أي تلفظ (بالشهادتين) من الناطق. قال في التحفة: فلا يكفى ما بقلبه من الإيمان -وإن قال به الغزالي- وجمع المحققون، لأن تركه التلفظ بهما مع القدرته عليه وعلمه بشرطيته لا يقصر عن نحو رمي مصحف بقذرة، ولو بالعجمية وإن أحسن العربية على المنقول المعتمد.
اسعاد الرفيق ج١ ص ٦٣
فيجب عليه قضاء كل عبادة وجبت عليه (في تلك المدة) أي مدة الردة وإن فعلها فيها لأنه لا تصح منه عبادة
مرقة صعود التصديق شرح سلم التوفيق ص ١٤
(بالنطق بالشهادتين) وظاهر كلام المصنف أنه لا بد من تكرار الشهادة كما اعتمده الشبراملسي وكما أفاده الرملي.
ﻓﺈﻥ ﻛﺎﻥ اﻟﻤﺮﺗﺪ ﻣﻤﻦ ﻻ ﺗﺄﻭﻳﻞ ﻟﻪ ﻓﻲ ﻛﻔﺮﻩ ﻓﺄﺗﻰ ﺑﺎﻟﺸﻬﺎﺩﺗﻴﻦ ﺣﻜﻢ ﺑﺈﺳﻼﻣﻪ ﻟﺤﺪﻳﺚ ﺃﻧﺲ ﺭﺿﻲ اﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ
ﻓﺈﻥ ﺻﻠﻰ ﻓﻲ ﺩاﺭ اﻟﺤﺮﺏ ﺣﻜﻢ ﺑﺈﺳﻼﻣﻪ ﻭﺇﻥ ﺻﻠﻰ ﻓﻲ ﺩاﺭ اﻹﺳﻼﻡ ﻟﻢ ﻳﺤﻜﻢ ﺑﺎﺳﻼﻣﻪ ﻷﻧﻪ ﻳﺤﺘﻤﻞ ﺃﻥ ﺗﻜﻮﻥ ﺻﻼﺗﻪ ﻓﻲ ﺩاﺭ اﻹﺳﻼﻡ ﻟﻠﻤﺮاﺁﺓ ﻭاﻟﺘﻘﻴﺔ ﻭﻓﻲ ﺩاﺭ اﻟﺤﺮﺏ ﻻ ﻳﺤﺘﻤﻞ ﺫﻟﻚ ﻓﺪﻝ ﻋﻠﻰ ﺇﺳﻼﻣﻪ
ﻭﺇﻥ ﻛﺎﻥ ﻣﻤﻦ ﻳﺰﻋﻢ ﺃﻥ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺑﻌﺚ اﻟﻰ اﻟﻌﺮﺏ ﻭﺣﺪﻫﺎ ﺃﻭ ﻣﻤﻦ ﻳﻘﻮﻝ ﺇﻥ ﻣﺤﻤﺪا ﻧﺒﻲ ﻳﺒﻌﺚ ﻭﻫﻮ ﻏﻴﺮ اﻟﺬﻱ ﺑﻌﺚ ﻟﻢ ﻳﺼﺢ ﺇﺳﻼﻣﻪ ﺣﺘﻰ ﻳﺘﺒﺮﺃ ﻣﻊ اﻟﺸﻬﺎﺩﺗﻴﻦ ﻣﻦ ﻛﻞ ﺩﻳﻦ ﺧﻼﻑ اﻹﺳﻼﻡ ﻷﻧﻪ ﺇﺫا اﻗﺘﺼﺮ ﻋﻠﻰ اﻟﺸﻬﺎﺩﺗﻴﻦ اﺣﺘﻤﻞ ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﺃﺭاﺩ ﻣﺎ ﻳﻌﺘﻘﺪﻩ
ﻭﺇﻥ اﺭﺗﺪ ﺑﺠﺤﻮﺩ ﻓﺮﺽ ﺃﻭ اﺳﺘﺒﺎﺣﺔ ﻣﺤﺮﻡ ﻟﻢ ﻳﺼﺢ ﺇﺳﻼﻣﻪ ﺣﺘﻰ ﻳﺮﺟﻊ ﻋﻤﺎ اﻋﺘﻘﺪﻩ ﻭﻳﻌﻴﺪ اﻟﺸﻬﺎﺩﺗﻴﻦ ﻷﻧﻪ ﻛﺬﺏ اﻟﻠﻪ ﻭﻛﺬﺏ ﺭﺳﻮﻟﻪ ﺑﻤﺎ اﻋﺘﻘﺪﻩ ﻓﻲ ﺧﺒﺮﻩ ﻓﻼ ﻳﺼﺢ ﺇﺳﻼﻣﻪ ﺣﺘﻰ ﻳﺄﺗﻲ ﺑﺎﻟﺸﻬﺎﺩﺗﻴﻦ
ﻭﺇﻥ اﺭﺗﺪ ﺛﻢ ﺃﺳﻠﻢ ﺛﻢ اﺭﺗﺪ ﺛﻢ ﺃﺳﻠﻢ ﻭﺗﻜﺮﺭ ﻣﻨﻪ ﺫﻟﻚ ﻗﺒﻞ ﺇﺳﻼﻣﻪ ﻭﻳﻌﺰﺭ ﻋﻠﻰ ﺗﻬﺎﻭﻧﻪ ﺑﺎﻟﺪﻳﻦ
– Shahih Muslim :
Wallohu a’lam semoga bermanfaat. [Muhammad Muzakka, Muh Jayus, M Aula Nida, Muhammad Sholehan, Muchcin Chafifi].
Sumber tulisan ada disini.
Silahkan baca juga artikel terkait.