Hukum Membaca Al-Qur’an Dengan Langgam Jawa, Ini Penjelasannya!

Hukum Membaca Al-Qur'an Dengan Langgam Jawa, Ini Penjelasannya!

Pertanyaan: Hukum Membaca Al-Qur’an Dengan Langgam Jawa, Ini Penjelasannya!

Assalamualaikum Wr. Wb.

Bacaan Lainnya

Yang ini saya masih butuh penjelasan. Ada yang tahu? Jawabannya harus bisa dipertanggungjawabkan lho ya. Kalau yang nggak tahu dilarang komen dengan komen yang nggak jelas serta main-main!

Baca Al-Qur’an dengan cara yang benar (dengan cara orang arab), bukan dengan cara yang aneh seperti membacanya dengan nyanyian-nyanyian atau lagu-lagu atau dengan sinden wayang dll, dan berhati-hatilah bagi orang yang melakukan hal tersebut dan untuk orang yang mengagumi hal tersebut, karena Nabi Muhammad SAW bersabda :

قال: «اقرءوا القرآن بلحون العرب وأصواتها، وإياكم ولحون أهل الكتاب والفسق، فإنه سيجيء بعدي أقوام يرجعون بالقرآن ترجيع الغناء والنوح لا يجاوز حناجرهم، مفتونة قلوبهم وقلوب الذين يعجبهم شأنهم».

“Bacalah Al Quran dengan lagu dan suara orang arab. Jauhilah lagu/irama Ahli Kitab dan orang orang fasiq. Nanti akan ada orang datang setelahku membaca Al Quran seperti menyanyi dan melenguh, tidak melampau tenggorokan mereka. Hati mereka tertimpa fitnah, juga hati orang yang mengaguminya”. Mohon penjelasannya dari poro yai..

Terima Kasih. > Muhammad Syarif Hidayat

Jawaban Atas Pertanyaan Hukum Membaca Al-Qur’an Dengan Langgam Jawa, Ini Penjelasannya!

Wa’alaikumsalam Wr. Wb.

Rizalullah 

Hemat saya, selama tidak merubah makhroj huruf dan tetap menjaga hukum hukum dalam bacaan yang telah disepakaiti oleh ahli lugah, ahli qiro’ah dan ahli tafsir, maka Boleh. Namun karena masih menjadi perselisihan para ulama masa kini tentang kebolehan membaca al-qur’an dengan langgam jawa seperti pada kasus yang diributkan baru-baru ini, maka untuk keluar dari khilaf dan mengambil pendapat yang lebih berhati-hati sebaiknya meninggalkan langgam demikian dalam membaca al-Qur’an.

Berikut kutipan beberapa fatwa atas masalah tersebut :

  1. Fatwa Al-Habib Zein bin Smith Hafidzahullah dari Madinah

Fenomena Baca Al-qur’an dengan Langgam jawa yang rame di bincangkan di negeri Kita Indonesia, menarik perhatian dari salah satu Alumni penuntut ilmu di Kota Madinah, di Al-allamah, Al-faqih, Al-murabbi, Ad-da’i Ilallah, Al-habib, Zein bin smith Hafidzahullah. sehingga beliau memutuskan untuk menjumpai dan bertanya langsung kepada beliau.

Namun Sebelum Beliau menemui Al-habib Zein bin smith Hafidzahullah, terlebih dahulu beliau menemui dan meminta pandangan dari Murid senior dan Murid kesayangan Al-habib Zein bin Ibrahim bin smith, Yaitu Al-habib Abdullah Ba’abud.

Begini kronologi nya. Waktu di Rubat saya hadir maulid malam jumat dengan Habib Abdullah ba’bud dan saya bertanya juga mengenai baca Al-qur’an dengan Lagu jawa itu.

Beliau menjawab : (ini sebelum saya bertemu habib zein) beliau menjawab didepan saya dan ust irbab.

إذا فتحنا باب الجواز في اداء القراءن بنغم إقليمية مثل نغم الجاوية، فقد فتحنا فجوة للناس فيتسهلون فيه، فصار القراءن بلا معنى مع ان اﻷنغم المشهورة في العالم تدرس مثل صبا والحجازهذه اﻷنغم إذا قرئ القراءن بها قد تجيل بها القلوب وتزرف العيون

قلت يا سيدي : هل كان هذا من باب سد الذريعة ؟

قال الحبيب عبد الله باعبود . نعم.

Jika Kita buka pintu kebolehan dalam menunaikan bacaan dengan lagu-lagu daerah seperti langgam jawa, maka kita telah membuka celah bagi Manusia sehingga mereka menganggap enteng dalam bacaan Al-qur’an. Sehingga Al-qur’an tak ada maknanya. padahal lagu-lagu yang Masyhur di dunia di pelajari seperti lagu Shoba dan lagu Hijaz. Jika Al-qur’an di baca dengan lagu-lagu ini (Shoba atau hijaz) mampu membuat Hati bergetar, dan Membuat Air mata mengalir,

Aku bertanya wahai Tuan ku, adakah lagu-lagu (langgam jawa) itu bagian dari mencegah jalan yang bisa mengakibatkan kerusakan?

Habib Abdullah Ba’bud menjawab ” Iya”. kemudian Saat menjumpai Al-habib Zein Hafidzahullah

Saat saya bertanya ada tiga orang thalabah yaitu , sopir, terus dua Orang thalabah yang biasa mengawal beliau.

يا سيدي قد عقدت جلسة جمهورية حضرها وجوه من كبار المسؤوليين الجمهورية . وأفتتحت الجلسة بقراءة القران على نغم الجاوية.

هذه اﻷنغم غير مشهورة ومعترفة وغير مستعملة عند القراء في العالم . هذه اﻷنغم أكثرها تستعمل في قراءة أناشيد الجاوية والقصص فما حكم في ذلك ؟

الجواب : الحبيب يبتسم قبل الإجابة : فقال

إذا كانت هذه اﻷنغم أستعملت في غناء أهل الفسقة ويشعر بها تقليل معاني القران أو إهانته فهو حرام . لان المسلمين يجب عليهم تجليل القراءن قراءة وأداء ونغما .

وأما إذا كان غير ذلك يعني لا يغير معنى القراءن المتفق بين أهل اللغة والتفسير المعتبرة ولا يشعر اﻹهانة فهو جائزة . والخروج منالخلاف مستحب .وطريقتنا اﻷخذ باﻹختياط

سجل هذا وانشروه الى طلبة حتى لاتكون الفتنة بينكم وبين المسلمين

Tuanku Yang Mulia, telah diadakan acara kenegaraan, di Hadiri Oleh para pejabat senior negara republik (Indonesia). Acara di buka dengan membaca Al-qur’an dengan langgam jawa. Lagu-lagu ini tidak Masyhur, tidak di kenal, serta tidak di pakai oleh Para Qari’ Dunia.

Langgam-langgam Ini Kebanyakannya di tembangkan dengan lagu-lagu (oleh para sinden jawa) dan oleh para Ahli cerita (pak Dalang)

Jawab :

Al-habib Hafidzahullah, Tersenyum sebelum menjawab : Jika Lagu-lagu itu dipakai Oleh para penyanyi orang-orang Fasik, dan di Rasa mengurangi makna-makna yang ada di dalam Al-qur’an atau merendahkan Al-qur’an maka Hukum nya Haram. Karena Kaum Muslimin Harus menghormati Al-qur’an, baik itu dari sisi Baca’an nya, Tilawah nya serta Lagu nya.

Adapun jika tidak demikian, maksud nya Tidak merubah makna-makna Al-qur’an yang telah di sepakati Oleh Para ahli Lughoh dan Ahli Tafsir yang Muktabarah, dan tidak di rasa merendahkan, Maka itu Boleh. Keluar dari khilaf adalah Mustahab, Thariqah Kami adalah mengambil pendapat Yang lebih berhati-hati.

Sumber: Fatwa Habib Zain Bin Smith Madinah : Al Qur’an Langgam Jawa

  1. Fatwa Buya Yahya dari Cirebon Indonesia

Al-Qur’an itu Kalamullah, diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad yan dengan lisan Arabi. Lisannya adalah lisan Arabi, tidak boleh di-jerman-jermankan, jawa-jawakan, spanyol-spanyolkan, karena lisan adalah lisan Arabi.

Bagaimana makna lisan Arabi? sesuai dengan aturan didalam BAHASA ARAB yang selama ini dikenal dengan ILMU TAJWID dan ilmu QIRA’AH. Jadi tentang memberikan HAK-HAK HUFURNY, makharijul hurufnya, tentang mudud madnya, tasydid dan semuanya itu ada aturan, itu semua lisan Arabi.

Maka semua bacaan yang bertentangan dengan TAJWID dan lainnya adalah tidak diperkenankan.

MISALNYA, Al-Qur’an “Qul Huwallahu Ahad”. Kalau kita baca (baca biasa) “Qul Huwallahu Ahad (pakai Mad), Allahush Shamad, Lam Yalid wa Lam Yulad, wa Lam Yakun Lahu Kufuwa Ahad”. Lagu mana ini tadi ? lagu siapa? diarab juga tidak begini, dijerman juga tidak begitu, tetapi TERPENUHI HAK-HAKNYA itulah lisan Arabi.

Kalau Al-Qur’an DIIKUTKAN lagu, dan lagu itu ada panjangnya sendiri. Apakah dandang kulo, ini kan sudah punya lagu, lah kok al-Qur’a disesuaikan (dengan lagu), inilah yang rusak, mesti salah. Anggap saja ibu punya lagu Garuda Pancasila, sekarang Qul Huwallahu Ahad dengan nada Garuda Pancasila, ya rusak, haram hukumnya. Ini yang jadi masalah. Lah kok al-Qur’an disenandungkan dengan tatanan lagu yang sudah ada, makanya (jadinya) al-Qur’an ngikut lagu.

Kalau orang baca al-Qur’an dengan cara Jepang, karena memang lidahnya memang begitu, (atau) cara jawa, misalnya “Bismillahir Rahmanir Rahiim”(menirukan bacaan al-Qur’an orang tua), ASALKAN benar hurufnya terpenuhi, TIDAK APA-APA. Cuma itu (langgam Jawa di Istana) di ikutkan lagu, itu yang jadi masalah, yang kemaren itu (di Istana).

Apalagi dengan NIAT, dengan niat-niat, (tetapi) niat urusan Allah, kita tidak boleh berprasangka buruk kepada siapapun. (Adapun) kalau niatnya untuk merendahkan, untuk bahan guyonan, itu dosa, haram.

Adzan di Solo dan Blitar itu beda dengan adzan di Makkah ternyata ya, sebab orangnya setegah ngantuk, misalnya “Allahu Akbar Allahu Akbar” (buya menirukan adzannya orang ngantuk), SAH, nggak apa-apa adzannya. Cuma kalau sudah dimain-mainkan dalam bentuk lagu itu sudah jadi masalah. Lah kemaren yag dipermasalahkan oleh ulama-ulama shalih itu apa? KARENA AL-QUR’AN ITU DIIKUTKAN DENGAN LAGU yang sudah ada. Jadi dalam jawa itu ada nada-nada tertentu, kayak dandang kulo, mocopat dan segalanya, jadi ikut langgam-langgam tertentu. Lah langgam kan sudah ada, bagaimana AL-QUR’AN diikutka langgam?!

sudahlah!! misalnya membaca surah Al-Fatihah dengan lagu Indonesia Raya, ya nggak bisa. nggak berani saya contohkan Al-Qur’an (dengan lagu Indonesia Raya), ya nggak bisa, haram. Mesti PANJANG PENDEKNYA (hak huruf) akan hilang. Kalau begitu salah. Cuma kalau baca dengan mendatangkan Tajwid-Tajwidnya karena lisan China ya mesti ada dengung-dengungnya gaya China, orang Jawa ya ada dengung-dengungnya Jawa, orang India juga begitu, tapi mendatangkan TAJWID, jadi yang di utamakan TAJWID, pembacaan al-Qur’an yang benar.

Jadi seandainya orang Jawa membaca al-Qur’an kok ada nada Jawanya karena memang lisannya lisan Jawa, asalaka DIPENUHI TAJWID nya ya tidak ada masalah itu. Cuma KALAU IKUT LAGU yang sudah ada, itu jadi masalah. Nanti yang dari sana, lagunya manuk Dadali, kan kacau. Nggak bisa itu, haram.

Jadi cara menyalahkan itu harus dibedakan. Dengan nada yang sudah ada atau lisan model Jawa, maksudnya, orang Jawa. Kalau difasih-fashihkan ikut Abdul Basith Abdush Shamad (Qari) ya nggak ketemu, bisa sampai cekukan nanti, nggak bisa, karena lisannya lisan begitu.

Jadi kayak tadi “Bismillahir Rahmanir Rahiim, Qul Huwallahu Ahad, Allahush Shamad..” (buya baca biasa tapi dengan mad dan contohkan bacaan pelan tapi juga dengan mad), lah ini ada lengkuk-lengkuk Jawanya, asal HURUF-HURUFnya terpenuhi, satu, huruf-hurufnya terpenuhi.

Yang kedua, tidak mengikuti modelnya orang fasik. Lah kalau mengikuti gayanya orang fasik, itu jadi nggak boleh, karena itu mengangkat syi’arnya orang fasik, tetapi kalau memang kebiasaan dikampung tersebut, sebab sebetulnya kalau di Jawa itu banyak orang baca al-Qur’an, baca Asmaul Husna sendiri, terkadang “Allahur Rahmanur Rahiim, Al Malikul Quddus …” (buya contohkan bacaan seperti kakek-kakek), lah orang Jawa, mbah saya juga begitu, cuma memang lidahnya Jawa, bukan main-main. Lah ini orang qira’atnya bagus, dipanggung aneh-aneh, ini jadi masalah. Kalau ini lisan Jawa, asli begitu, di uplek-uplek, kadang-kadang huruf Arab itu nggak bisa, orang Jawa itu ngomong HA susah, Al-Kam jadinya (aslinya Al-Hamd), orang Sunda hilang Fa’-nya. Biar pun perlu berlatih tapi kalau bisanya begitu ya nggak masalah. Cuma kalau sudah bisa, kenapa balik ?! ke lidah Sunda yang nggak ada Fa’-nya, atau lidah Jawa yag nggak ada HA-nya. Apalagi di Indonesia ini antara Sin, Syin, Shad, itu nggak ada beda. Kalau Arab kan ada bedanya, nggk bisa, makanya MAKHARIJUL HURUF.

Jadi qaidah baca al-Qur’an itu adalah:

Pertama, dipenuhi HAK-HAK huruf. Kedua, dipenuhi hak-hak HUKUM bacaan TAJWID. Tentunya yang kedua sesuai dengan qira’ah-qira’ah mu’tabarah. (Ketiga), Adapun masalah lagu itu, ASALKAN tidak mengikuti orang fasik.

Jadi tiga ini terpenuhi, asalkan tidak mengikut lagunya orang fasik maka sesuai dengan model tenggerokannya apa, tenggorokan Jawa, China, Jepang. Sehingga ada satu Imam dengan Lahn-Lahn (langgam) India, ada, di India itu ada Lahn (langgam) khusus dan ternyata tidak ada masalah. Itu memang ada model gaya India. Sebab, semua akan terpengaruh dengan budaya lingkungannya. Tapi bukan lagu yang sudah ada kemudian AL-QUR’AN DIIKUTKAN lagu, itu hukumnya adalah Haram. Kenapa? mesti nanti mau dipanjangin, karena lagunya belum beres (selesai), Pancasilaaaa (misalnya), Qur’annya jadi panjang lagi nanti. Jadi tidak boleh, AL-QUR’AN jangan DIIKUTKAN dengan lagu.

Tetapi bacalah Al-Qur’an dengan Lisan Arabi, itu maknanya PENUHI HAK-HAK HURUFNYA. Asalkan TAJWIDnya benar. Ingat ! Hak huruf, hak bacaan Tajwid, tidak bertentangan dengan qira’ah yang mu’tabarah, qira’ah Sab’ah, kemudia setelah itu apa? kalau ada lagunya pun, bukan merupaka Syi’ar-nya orang Fasik, bukan syiarnya orang Fasik. Lagu kebiasan di kampung, Jawa dan sebagainya itu tidak masalah, tapi kalau sudah DIIKUTKAN dengan lagu, kemudian… coba kalau diperhatikan (bacaan al-Qur’an langgam Jawa di Istana) BANYAK YANG DOUBLE “ELLLLLLLL” Lam-nya panjang, harus ikut gong-nya nanti ini. Ini nggak ketemu, ini betul-betul beda. Dan kita temukan orang-orang kampung, orang Jawa yang membaca Al-Qur’an tapi tidak main-main, karena memang lidahnya lidah Jawa, tapi tidak ada Makharijul Huruf-nya yang berselisih, Tajwdinya dipenuhi, itu saja.  Itu saja Qaidahnya.

Sebab, tidak tugas kita menghukumi si A atau si B. Tapi bagaimana kita membuat qaidah. Ingat !! Makharijul Hurufnya sesuai, bagi yang mampu tentunya. Bagi yang tidak mampu ya semampunya saja. Bagi yang mampu, mengeluarkan Makharij-nya sesuai dengan semestinya kok tidak maka jadi salah, Yang ngerti tajwid tpi nggak pake tajwid, juga jadi salah.

Kemudian, membaca selain Qira’ah Sab’ah. Ada sebagian mengatakan Sepuluh, masih ada mungkin, tapi yang Sab’ah ini sudah jelas-jelas. Tidak boleh keluar dari Qira’ah Sab’ah. Qira’ah Sab’ah itu adalah selama ini di, yang mu’tabar dalam dunia qira’ah.

Kemudian, setelah itu apa, lagunya pun bukan lagunya orang-orang Fasik. Maka ini menjadi BOLEH seseorang menyenandungkan atau membaca al-Qur’an, termasuk lidahnya masing-masing. Dan sangat bedaa! dan coba kita mendengar, coba buka China, bagaimana orang CHina baca al-Qur’an?!! kecuali saat mereka belajar tentang gurunya dari Arab sehingga bisa baca seperti Abdul Basith Abdush Shamad (Qari’ Mesir), dulu di Indonesia ada Muammar ZA misalnya. Itu kan mengikuti lidah Arab, ya semestinya seperti itu.

Cuma kalau ini tidak dijelaskan begitu, nanti ada orang kota ngamuk kepada bapak-bapak karena baca al-Qur’an “Bismillahir … ” (buya contohkan baca al-Qur’an seperti suara kakek-kakek), wah salah itu nggak boleh, lidah jawa itu, nanti tambah berantem kita, umat ini. Sebab dikampung memang orang tidak pernah belajar tahsin Qira’ah, nggak pernah belajar lagu-lagu, orang kampung ya seperti itu. Jangan sampai nanti kita ingin membela tetapi telah menghancurkan umat. Cuman yang kemaren jelas KARENA DIIKUTKAN LAGU, harus jelas, yakin itu. Tapi Qaidahya begitu: asalkan Tajwidnya dipenuhi, Makharijnya juga, ikut Qira’ah Sab’ah, kemudian setelah itu apa? lagunya bukan yang biasa disenandungkan oleh orang Fasik, maka itu boleh saja. Selesai.

  1. Analisa Fatwa Yang Mengharamkan dan Yang Membolehkan

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Dalam masalah ini memang wajar terjadi perbedaan pandangan di antara banyak pihak. Sesama pihak-pihak yang memang ahli di bidang ilmu baca Al-Quran, yaitu para qari dan ulama qiraat pun kita menemukan perbedaan pendapat.

  1. Pendapat Yang Mengharamkan

Ada beberapa ulama ahli qiraat yang sudah berfatwa tentang haramnya membaca Al-Quran dengan langgam Jawa ini. Salah satunya adalah Syeikh Ali Bashfar yang bermukim di Saudi Arabia. Salah seorang muridnya ada yang mengirimkan rekaman bacaan Al-Quran dengan langgam Jawa ini. Dan kemudian jawaban dari beliau berupa larangan. Kesalahan tajwid; dimana panjang mad-nya dipaksakan mengikuti kebutuhan lagu.

Kalau saya cermati apa yang beliau fatwakan itu, setidaknya saya mencatat ada empat masalah yang beliau tuturkan, antara lain adalah :

  1. Kesalahan Lahjah

Kesalahan nomor satu dari rekaman yang diperdengarkan itu menurut beliau adalah kesalahan lahjah si pembacanya yang cenderung orang Jawa. Seharusnya lahjahnya harus lahjah Arab. Dan banyak orang yang mengharamkan hal ini dengan berdalil kepada hadits berikut :

Bacalah Al-Quran dengan lagu dan suara orang Arab. Jauhilah lagu/irama ahlkitab dan orang orang fasiq. Nanti akan ada orang datang setelahku membaca Alquran seperti menyanyi dan melenguh, tidak melampau tenggorokan mereka. Hati mereka tertimpa fitnah, juga hati orang yang mengaguminya. (HR. Tarmidzi)

  1. Dianggap Memaksakan Diri (Takalluf)

Kesalahan kedua dianggap adanya semacam sikat memaksakan, atau takalluf. Pembacanya dianggap terlalu memaksakan untuk meniru lagu yang ‘tidak lazim’ dalam membaca Al-Quran.

  1. Dicurigai Ashabiyah

Ditambahkan lagi dalam fatwa beliau bahwa ada kecurigaan yang dianggap cukup berbahaya, yaitu bila ada niat merasa perlu menonjolkan kejawaan atau keindonesiaan. Hal ini dianggap membangun sikap ashabiyyah dalam ber-Islam. Padahal ashabiyah itu hukumnya haram.

  1. Khawatir Memperolok Al-Quran

Dan yang paling fatal jika ada maksud memperolok-olokkan ayat-ayat Allah yang mereka samakan dengan lagu-lagu wayang dalam suku Jawa.

Maka dengan dasar empat masalah di atas dianggap bahwa membaca Al-Quran dengan langgam Jawa itu tidak boleh dilakukan. Nampaknya fatwa beliau ini kemudian disebar-luaskan di berbagai media, dan siapapun bisa membacanya.

  1. Pendapat Yang Membolehkan

Sementara kita juga menemukan ulama ahli qiraat di Indonesia, sebut saja misalnya KH. Prof. Dr. Ahsin Sakho Muhammad. Beliau seorang pakar ilmu yang langka: ilmu-ilmu Al-Quran. Lulus sebagai doktor dari Jamiah Islamiyah Madinah dengan prestasi mumtaz syaraful ulaa alias cumlaude.  Kiprah beliau di dunia ilmu qiraat di Indonesia tidak perlu dipertanyakan lagi. Beliau pernah menjadi rektor dan guru besar di Institut Ilmu Al-Quran (IIQ) Jakarta dan menjadi team pentashih terjemahan Al-Quran di Departemen Agama RI.

Kalau kita tanyakan masalah ini kepada beliau, nampaknya pandangan jauh beliau lebih luas. Barangkali karena beliau memang orang Indonesia asli yang paham betul karakter bacaan Al-Quran bangsa ini. Beliau mengatakan sebagai berikut :

“Ini adalah perpaduan yang baik antara seperti langit kallamullah yang menyatu dengan bumi yakni budaya manusia. Itu sah diperbolehkan. Hanya saja, bacaan pada langgam budaya harus telap berpacu seperti yang diajarkan Rasul dan para sahabatnya. Dalam hal ini, tajwid dalam hukum bacaannya, panjang pendeknya dan mahrajnya”.

Lebih lanjut beliau menambahkan :

“Cara membaca Al-Quran yang mengacu pada langgam budaya Indonesia sangat diperbolehkan dan tidak ada dallil shahih yang melarang hal demikian. Hanya saja, saya belum pernah mendengar ‘jawabul jawab’ di dalam langgam Cina, atau pun di Indonesia. Tetapi jika hanya sekedar langgam Jawa, Sumatra, Sunda, Melayu dan lainnya itu sah saja, selama memperhatikan hukum bacaan semestnya. Itu kratifitas budayanya”. 

  1. Hadits Larangan Selain Langgam Arab

Lalu bagaimana dengan hadits yang mana Rasulullah SAW mengharamkan kita menggunakan langgam selain Arab? Terjemahan haditsnya kurang lebih seperti berikut ini : 

Bacalah Al-Quran dengan lagu dan suara orang Arab. Jauhilah lagu/irama ahlkitab dan orang orang fasiq. Nanti akan ada orang datang setelahku membaca Alquran seperti menyanyi dan melenguh, tidak melampau tenggorokan mereka. Hati mereka tertimpa fitnah, juga hati orang yang mengaguminya. (HR. Tarmidzi).

  1. Sanad Yang Lemah

Dari sisi sanad sebenarnya kalau ditelurusui kedudukan hadis ini tersebut tergolong dalam hadis dha’if (lemah). Karena salah satu sanad perawinya ada yang terputus sehingga hadits itu menjadi dhoif. Bahkan ada muhaddits yang mengatakan bahwa hadits ini termasuk munkar dan bukan termsuk hadist.

Maka dari sisi derajat hadits ini tidak bisa dijadikan hujjah alias tidak perlu dipakai.

  1. Langgam Arab Yang Mana?

Negeri Arab di masa Rasulullah SAW sangat sempit dan terbatas, seputar Mekkah, Madinah dan kisaran jaziarah Arabia saja. Di luar itu tidak pernah disebut Arab. Habasyah, Mesir, Yaman, Palestina, Suriah, Iraq, Iran di masa itu masih bukan Arab. Agama yang dianut penduduknya bukan agama Islam, mereka dianggap sebagai bangsa-bangsa kafir non Arab. Bahkan bahasa mereka pun juga bukan bahasa Arab.

Jadi kalau pun hadits Rasulullah SAW yang dhaif itu masih mau dipaksa-paksa juga untuk dipakai, tetap saja tidak tepat. Seandainya hadits itu dibilang shahih, dan larangan Rasulullah SAW itu ‘terpaksa’ kita ikuti juga, maka nagham atau irama cara baca Al-Quran yang kita kenal selama ini pun harusnya terlarang. Sebab nagham Bayyati, Shoba, Nahawand, Hijaz, Rost, Sika, dan Jiharka itu bukan dari Mekkah atau Madinah, bahkan bukan dari Jaziarah Arab.

Ketujuh jenis nagham itu malah berasal dari Iran. Dan Iran di masa Rasulullah SAW bukan negeri Arab. Bahkan sampai hari ini pun tidak pernah dianggap sebagai negara Arab. Pemerintah Iran sendiri pun tidak pernah mengaku-ngaku sebagai negara Arab. Bahasa resmi mereka pun juga bukan bahasa Arab melainkan bahasa Persia.

Jadi kalau mau melarang langgam Jawa misalnya, maka tujuh langgam yang sudah kita kenal sepanjang sejarah Islam itu pun harus dilarang juga, lantaran bukan langgam Arab sebagaimana yang dimaksud oleh Rasulullah SAW.

  1. Lahjah Tidak Benar

Lahjah yang dianggap tidak benar oleh Syeikh Ali Basfar itu boleh jadi memang demikian. Maksudnya si pembacanya dianggap kurang baik bacaannya. Dan itu biasa, semua yang pernah ikut daurah Al-Quran dengan beliau pasti pernah merasakan disalah-salahkan ketika dianggap lahjah kita kurang pas di telinga beliau.

Namun kita harus membedakan antara lahjah dengan langgam. Yang beliau kritisi adalah lahjahnya yang kurang tepat dan itu harus diakui. Membaca Al-Quran memang harus dengan lahjah yang benar. SIfat-sifat huruf, makharijul huruf dan juga hukum-hukum yang berlaku pada ilmu tajwid memang wajib ditaati dan dijalankan dengan benar.

Tetapi langgam adalah sesuatu yang lain dan berbeda. Karena langgam merupakan irama atau nada, bukan lahjah. Contoh mudahnya, ketika membunyikan huruf shad, pipi harus kembung. Huruf ra’ kadang harus dibaca tebal kadang harus tipis. Ini semua adalah lahjah dan bukan irama.

Sedangkan langgam itu adalah irama dan nada, sama sekali tidak ada hubungannya dengan titik artikulasi, pelafalan huruf ataupun hukum-hukum seperti idzhar, idgham, iqlab dan ikhfa’. Dan kalau sudah masuk wilayah irama dan nada, tiap bangsa dan tiap negeri pasti punya ciri khas yang identik dan tidak bisa dipisahkan.

Kalau kita mendengar orang Cina asli di Tiongkok sana sedang membaca Al-Quran, pasti kita akan merasakan ada ‘nada-nada’ khas Cina. Begitu juga kalau kita dengar orang Melayu membaca Al-Quran, kita akan merasakan nuansa khas nada-nada kemelayuan. Apakah ini dianggap melanggar ketentuan membaca Al-Quran? Jawabnya tentu tidak sama sekali.

Tetapi ketika orang Jawa keliru membunyikan huruf ‘ain menjadi ‘ngain’, atau huruf ha’ dibaca menjadi ‘kha’ atau huruf ba’ yang dibunyikannya lebih nge-bass karena lahjah Jawanya, disitulah letak kekeliruan yang harus diluruskan. Adapun nada bacaan yang terasa nada Jawa selama tidak menyalahi hukum-hukum bacaan, tentu tidak jadi masalah.

  1. Langgam Jawa = Menghidupkan Ashabiyah?

Adapun masalah membaca Al-Quran dianggap menghidupkan ashabiyah, jelas sekali bahwa yang jadi masalah bukan pada langgamnya tetapi pada niat dan tujuan untuk menghidupkan ashabiyah. Kalau memang niatnya semata-mata ingin menghidup-hidupkan ashaiyah, tentu saja hukumnya haram.

Tetapi bagaimana kita bisa pastikan bahwa yang membacanya punya niat tersebut? Lantas bagaimana kalau si pembacanya sama sekali tidak punya niatan dan maksud untuk menghidup-hidupkan ashabiyah? Apakah kita tetap memaksanya harus ashabiyah?

Ketika kita menyanyikan lagu Indonesia Raya, bukankah itu juga ashabiyah? Ketika kita mengibarkan sang saka Merah Putih, bukankah itu ashabiyah? Apakah haram kita menyanyikannya dan mengibarkan bendera Merah Putih?

  1. Langgam Jawa = Menjelekkan Al-Quran

Apalagi kalau dikatakan bahwa langgam Jawa itu dianggap menjelekkan Al-Quran. Tentu sifatnya sangat subjektif sekali. Apa benar qari yang lahjahnya sempurna, tajwidnya benar dan suaranya fasih luar biasa, ketika membaca Al-Quran dengan langgap Jawa lantas niatnya ingin mengolok-ngolok dan menjelekkan Al-Quran?

Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ust. Ahmad Sarwat, Lc., MA (Rumah Fiqih Indonesia).

Sumber tulisan ada disini.

Silahkan baca juga artikel terkait.

Pos terkait