Kehidupan Para Wali di Alam Barzakh Menurut Habib Luthfi Bin Yahya
“Para wali tetap hidup di alam kuburnya (barzah) seperti kehidupan mereka di dunia. Para wali yang ahli tahajjud tetap tahajjud di alam kuburnya. Yang ahli tadarus Qur’an tetap tadarus Qur’an. Yang ahli silaturahim tetap silaturahim. Dan seterusnya. Hal ini sebagai kenikmatan yg mereka alami di alam kubur.
Jika ada para peziarah berdiri mengucapkan salam dan do’a-do’a, maka si wali yg diziarahi juga ikut berdiri, menjawab salam dan mengamini do’a-do’anya. Jika para peziarah membaca Yasin, tahlil, dsb, maka si wali juga ikut membacanya. Jika para peziarah tawassul, maka beliau ikut mendo’akan.
Diantara wali ada yang ahli darok (menolong), sering keluar dari kuburnya ke alam dunia ini untuk menolong para pecintanya. Diantara wali yg ahli darok adalah Mbah Hasan Minhajul ‘Abidin, Gabutan, Solo. Banyak cerita nyata dari para pecintanya yg membuktikannya. Diantara mereka ada yg ditolong dari kecelakaan, perampokan, dll. Sebagian mereka ada yg ingin sowan ke ndalem beliau sebagai rasa terima kasih dgn membawa oleh-oleh, layaknya orang yg akan sowan Kyai. Namun, mereka kaget setelah ditunjukkan oleh penduduk setempat, bahwa Mbah Hasan Minhaj itu sudah wafat dengan inilah makamnya.
Dalil tentang hal ini diantaranya adalah ayat yang menjelaskan bahwa para syuhada’ (orang mati syahid) tetap hidup di alam kuburnya, yakni ayat :
[ ﺳﻮﺭﺓ ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ ( ٢ ) : ﺍﻵﻳﺎﺕ ١٥٤ ]
ﻭَﻻ ﺗَﻘُﻮﻟُﻮﺍ ﻟِﻤَﻦْ ﻳُﻘْﺘَﻞُ ﻓِﻲ ﺳَﺒِﻴﻞِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺃَﻣْﻮﺍﺕٌ ﺑَﻞْ ﺃَﺣْﻴﺎﺀٌ ﻭَﻟﻜِﻦْ ﻻَّ ﺗَﺸْﻌُﺮُﻭﻥَ ( ١٥٤ )
“Jangan kalian katakan bagi orang yg dibunuh di jalan Allah, (mereka) itu orang-orang mati ! Namun, mereka adalah orang-orang yang hidup, tetapi kalian tidak menyadarinya”
Jika para syuhada’ saja mendapat karunia tetap hidup di alam kuburnya, maka para ulama’ dan wali pasti mendapat karunia lebih besar, mengingat derajat mereka lebih tinggi.
Di Indonesia jumlah makam wali sangat banyak dgn berbagai tingkatannya, nomor kedua setelah Hadlromaut, Yaman. Banyak kitab yg menulis biografi para wali di Timur Tengah, seperti kitab Jami’ Karomatil Auliya’, Thobaqotul Auliya’, dsb. Sebenarnya, di Indonesia waktu itu sudah banyak para wali, hanya saja tradisi tulis-menulis di tanah air belum semarak, jadi tidak sempat terbukukan.
Tingkatan wali tertinggi disebut Al-Quthbul Ghouts, dan hanya ada 1 orang dalam setiap masa. Beliau dijuluki Abdullah. Kemudian, di bawahnya ada Al-Imamani (dua imam), yg salah satunya akan menggantikan Al-Ghouts ketika wafat. Kemudian di bawahnya ada Al-Autad, jumlahnya ada 4 orang. Imam Syafi’i dulu adalah pemimpin wali Autad. Kemudian di bawahnya ada Al-Abdal, jumlahnya ada 7 orang. Dst. Keterangan tentang tingkatan para wali bisa di baca diantaranya di kitab Jami’ Karomatil Auliya’.
Demikian Kehidupan Para Wali di Alam Barzakh Menurut Habib Luthfi Bin Yahya. Semoga bermanfaat.
Penulis: Ustadz Saefuddin Masykuri