Kisah Buto Ijo di atas Keranda Jenazah

Kisah Buto Ijo di atas Keranda Jenazah

Kisah Buto Ijo di atas Keranda Jenazah.

Mengawali tulisan ini, kami ingin memberi kebebasan sepenuhnya kepada segenap sidang pembaca mau percaya atau tidak. Namun kalau boleh sedikit meminjam kedaulatan pembaca, saran kami: percaya saja.

Bacaan Lainnya

Begini ceritanya:

Tahun 2006. Kejadian ini sebelum gempa Jogja. Pak Kiai kita (ya ini masih Kiai yang sama saat nangkep tuyul, melepaskan pencuri kotak infaq, dan melarang maju nyalon bupati kemarin) saat itu masih tergolong warga baru di sebuah kampung. Sebelumnya sejak akhir 1970-an, Pak Kiai menetap di Jawa Timur.

Di kampung itu ada yang meninggal. Memenuhi kewajiban bermuamalah, Pak Kiai pun takziyah. Beliau juga belum begitu kenal dengan si mayit. Awalnya biasa saja. Namun cerita menjadi lain saat pengusung keranda atau dalam sebuah syiiran disebut roda papat rupa manungsa, mulai merasa keberatan.

Pak Kiai melihat ada sesuatu yang tidak beres. Ada sesosok makhluk tak kasat mata yang berjoget ria di atas keranda. Buto Ijo!

Pak Kiai memelototi, “Mudhun!” (turun!), perintahnya dengan isyarat mata.

“Emoh, apa urusanmu ngongkon mudhun (tidak mau, apa urusanmu nyuruh turun)” jawab makhluk itu pongah.

“Kowe wani-wanine nglungguhi keranda, ana tulisan syahadat karo lailaha illallah..Mudhun!” (kamu berani-beraninya menduduki keranda. Ada tulisan syahadat dan lailaha illallah. Turun!), perintah Kiai lagi.

“Yoben ora urusanmu…” (Terserah bukan urusanmu). Buto Ijo tetap asyik joget. Dan para pengusung merasa kian berat.

Akhirnya, Pak Kiai pun memaksanya turun. Buto Ijo terbanting di tanah. Jedher! Cukup keras bunyinya, namun orang-orang tak ada yang mendengar. Buto Ijo kesakitan. Acara pemberangkatan jenazah usai sudah.

Keesokan harinya…

Penduduk kampung geger. Semalaman suntuk mereka mendengar suara tangisan dari kebun dekat pematang sawah. Padahal tak ada orang di situ. Pak Kiai yang mengetahui gegeran itu, langsung menuju lokasi. Buto Ijo nampak terikat di pohon jati. “Oh ya, lali wingi tak kencang ning kene (oh ya lupa, kemarin aku ikat di sini),” batinnya.

“Saiki tak culke ya kowe, lunga!” (sekarang saya lepaskan ya kamu. Pergi), dawuh Kiai.

“Nggih Pak…” (Ya pak), jawab makhluk itu yang kali ini merasa kalah telak.

Pulangnya, Pak Kiai mampir tetangga. Iseng tanya tentang si mayit kemarin, “Pekerjaannya apa?”

Dan ini yang paling penting dari cerita ini:

“Dia rentenir Pak,” jawab tetangga. “Lan mungale lho Pak niki, konon dia punya ingon-ingon (peliharaan-red) Buto Ijo…” imbuhnya lagi.

“Ohhh nggih sampun…” Pak Kiai pun kondur.

Sidang pembaca, anda boleh 100 persen tidak percaya dengan cerita di atas. Namun kalau ingin merasakan sendiri ‘sensasinya’ silakan jadi rentenir alias lintah darat dan punya pesugihan buto ijo.

“Kalau hanya ingin kaya, mending istiqomah ngamalke baca Waqi’ah, syukur-syukur ditambah sholawat Nabi,” dawuh Pak Kiai. Terpaksanya tetap melarat, yang penting insya Allah dapat ganjaran maca Qur’an.

Allahumma sholli ‘ala Sayyidina Muhammad!

Ngoto, Agustus 2019

Bramma Aji Putra, Humas Kemenag DIY dan Pengurus LTN PWNU DIY.

__________________________

Semoga artikel Kisah Buto Ijo di atas Keranda Jenazah ini memberikan manfaat dan abrokah untuk kita semua, amiin.

Pos terkait