Kisah Rahasia Musyawarah Para Kiai Sepuh di Alas Roban

Kisah Rahasia Musyawarah Para Kiai Sepuh di Alas Roban

Kisah Rahasia Musyawarah Para Kiai Sepuh di Alas Roban.

Kisah ini dari figur kharismatik Mbah Kiai Haji Dimyati Rois, pengasuh pesantren Al-Fadlu wal Fadilah, Kaliwungu, Kendal, pada pertengahan Februari 2017.

Bacaan Lainnya

Syahdan, sekitar tahun 1895 M, lima kiai sepuh bersepakat bertemu di tengah-tengah Pulau Jawa. Pertemuan ini dirasa mendesak untuk segera dilakukan. Pasalnya, kondisi masyarakat di bumi Nusantara sudah sedemikian menderita, lelah, dan terpecah. Tiga ratus tahun sudah mereka hidup di bawah tekanan penjajah.

Alas Roban dipilih sebagai lokasi yang tepat untuk mengadakan pertemuan. Selain lokasinya berada di tengah-tengah Jawa, kondisinya yang berupa rimba raya akan mengaburkan mata perhatian penjajah Belanda, meski tetap saja mata-mata Belanda berhasil mengendusnya.

Bagi Anda yang belum familiar, Alas Roban terletak di jalur lingkar Kecamatan Gringsing, Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Berada di jalur utama Pantai Utara (Pantura) Jawa Tengah, jalan di Alas Roban curam dan berkelok. Hingga saat ini di kanan-kirinya terdapat pepohonan yang tinggi dan lebat.

Pada hari yang telah ditentukan, dari daerah Banten Kiai Haji Nawawi bergerak ke arah timur. Kiai Haji Khalil bertolak dari Pulau Madura menuju ke barat. Begitu pula Kiai Haji Shalih mendekat ke barat.

Sementara di titik yang dituju, di Alas Roban, sudah menunggu Kiai Haji Anwar dan Kiai Haji Abdul Karim. Maklum, sejak awal Kiai Anwar didaulat sebagai tuan rumah, karena asli orang Batang, Jawa Tengah. Sementara Kiai Abdul Karim bertempat tinggal di Kaliwungu, Kendal, Jawa Tengah. Dengan demikian dia datang lebih awal.

Kelima kiai ini masing-masing memiliki kesamaan dan ikatan antara yang satu dengan lainnya.

Dalam tradisi keilmuan, semuanya lahir dan besar dalam pendidikan keislaman pesantren. Kota suci Mekkah sama-sama menjadi pelabuhan terakhir perjalanan intelektual mereka. Kelimanya juga pernah menetap di kota kelahiran Nabi itu, dalam waktu yang cukup lama. Bahkan Kiai Nawawi menetap di Mekkah hingga akhir hayat.

Sebagai intelektual Muslim yang mengagungkan sistem transmisi keilmuan, atau ketersambungan antara pengajar dan murid yang bermuara pada Kanjeng Nabi Muhammad, bisa dipastikan mereka berkerabat. Artinya, sangat dimungkinkan mereka murid dari satu tokoh, atau cucu murid dari tokoh yang sama. Kemungkinan lain, salah satu dari mereka adalah guru atau murid dari lainnya.

Dan, memang benar. Kelak, tiga dari lima kiai itu menjadi guru dari mahaguru kiai-kiai pondok pesantren di Pulau Jawa, yaitu Kiai Haji Hasyim Asy’ari Jombang. Ketiga kiai itu tidak lain adalah Syekh Nawawi (Banten), Kiai Khalil Bangkalan (Madura), dan Kiai Shalih Darat (Semarang).

Satu lagi kesamaan yang mereka miliki. Meskipun telah menjadi tokoh yang memiliki reputasi hingga ke mancanegara, hati dan pikiran mereka tetap terikat di bumi pertiwi. Air mata dan kasih sayang mereka dicurahkan untuk bangsa Indonesia.

Kelima kiai ini akhirnya bertemu di Alas Roban. Mereka bermusyawarah, mencari jalan keluar agar rakyat Indonesia bisa terbebas dari penderitaan. Kepada para santri, mereka bersepakat mengajarkan kedaulatan berfikir dan kesanggupan untuk berjuang melawan kezaliman.

Di ujung pertemuan, mereka bersama para santri berdoa, memohon kepada Tuhan agar diberikan jalan menuju kehidupan yang lebih baik. Dari kejauhan, doa-doa yang dilantunkan para kiai dan santri itu terdengar bergemuruh.

Telik sandi Belanda akhirnya bisa menemukan keberadaan mereka. Sumber suara dilacak hingga ketemu. Namun ketika sudah semakin dekat, telik sandi menjadi bingung, karena hanya mendapatkan orang-orang yang duduk bersama menghadap ke arah barat sambil bersuara ha-hu, ha-hu, ha-hu, ha-hu.

Rupanya, saat itu doa-doa yang sedang dilafalkan (dibaca) adalah surah Al-Ikhlas. Karena tidak mengenali bacaannya, telinga si telik sandi tadi hanya menangkap suara ha-hu, ha-hu, ha-hu, ha-hu. Akhirnya, telik sandi berkesimpulan tidak melihat tanda-tanda adanya pasukan atau perkumpulan orang yang mau merencanakan perlawanan.

Kelak, lima hingga enam puluh tahunan kemudian (1945), doa kiai-kiai yang juga menjadi doa dari seluruh rakyat Indonesia ini terwujud. Bangsa Indonesia merdeka. Peristiwa di atas terjadi pada akhir tahun 1800-an.

Dari kisah di atas kita menjadi mengerti, begitu besar dan tulus rasa cinta para ulama terhadap bangsanya, Indonesia. Tidak hanya memberikan contoh kepada kaum muda, bagaimana menjadi pribadi yang berdaulat dalam berfikir dan bersikap. Lebih dari itu, para ulama juga mengupayakan lahirnya perubahan secara spiritual. Hal ini sekaligus menjadi ciri khas perjuangan para kekasih Tuhan itu.

Maka, tidak aneh, ketika hari ini terdapat sekelompok orang yang berusaha mengganggu keutuhan NKRI, kaum santri tampil ke muka. Baik secara personal maupun melalui wadah organisasi sosial kemasyarakatan seperti Nahdlatul Ulama (NU). Baik melalui penyampaian argumentasi, maupun keberadaan barisan kaum muda yang siap membentengi negeri, seperti GP Ansor dan Bansernya.

Mengapa demikian? Ya, karena sejak awal nenek moyang dan para gurunya telah menanamkan sikap cinta kepada rakyat dan bangsanya.

Sikap kaum Nahdliyin yang demikian tidak sedang pencitraan atau berperilaku palsu. Tetapi, memang demikian adanya. Sebagaimana para pendahulunya, cinta kaum santri kepada negaranya begitu besar dan serius.

Mbah Dim (demikian masyarakat luas mengenal Kiai Haji Dimyati Rois) juga menasihatkan bahwa bangsa Indonesia membutuhkan persatuan dari seluruh elemen bangsa, bila ingin berjaya di masa depan.

“…Jauh sebelum Indonesia merdeka, di bumi Nusantara sudah ada orang-orang yang hebat yang memiliki kecerdasan, kedigdayaan dan juga keunggulan dalam menyelenggarakan pemerintahan. Namun, kaum penjajah juga jauh lebih cerdik dalam memecah-belah elemen yang dimiliki bangsa ini,” jelas Mbah Dim.

Memperhatikan hal ini, mengajak kepada kaum muda Indonesia agar lebih hati-hati dan cermat dalam membaca situasi terkini. Lebih dari itu, kita harus bersatu dalam membangun negara Indonesia yang kaya raya ini. Sekali lagi, jangan mau dipecah-belah.

Penulis: Ali Romdhoni.

Foto: Makam Syaikh KH Muhammad Anwar, pengarang kitab Aisyul Bahri, Area Kebun/Hutan, Sengon, Kec. Subah, Kabupaten Batang, Jawa Tengah.

__________

Semoga artikel Kisah Rahasia Musyawarah Para Kiai Sepuh di Alas Roban ini dapat memberikan manfaat dan barokah untuk kita semua, amiin.

simak juga artikel selain Kisah Rahasia Musyawarah Para Kiai Sepuh di Alas Roban di sini

simak juga video terkait di sini

Pos terkait