Kisah Santri Mampu Mendengar Dzikir Pohon.
Saat masih kecil, sebagaimana umumnya anak-anak, Syarafuddin membantu keperluan rumah tangga orang tuanya. Bersama teman-temannya, ia pergi ke hutan untuk mengumpulkan kayu bakar.
Jika sudah sampai di hutan, ketika teman-temannya mulai memapras dahan-dahan dan reranting pepohonan, Syarafuddin tidak. Ia hanya memungut kayu-kayu kering yang sudah jatuh ke tanah. Tentu saja hasilnya tidak banyak, jelek-jelek pula.
Hal ini membuat ayahnya senewen. Tiap kali pulang dari hutan, si anak hanya membawa kayu-kayu kecil, sedikit, sama sekali tak mencukupi kebutuhan dapur. Ia pun menghadap guru si anak, Syaikh Abu Ahmad as-Shughuri.
“Bagaimana ini, Syaikh?” keluh si ayah.
“Ya saya tak tahu. Kenapa Anda tidak tanyakan langsung kepadanya?” arah sang guru. Pandangan mereka langsung tertuju pada si anak, menunggu jawaban.
Dengan polosnya, bocah itu menjawab, “Bagaimana saya tega menebang pohon-pohon yang masih hijau dan menjadikannya kayu bakar, sementara mereka sedang berzikir kepada Allah? Makanya saya hanya mengumpulkan dahan-dahan kering yang sudah mati saja.”
Siapakah bocah istimewa berhati lembut ini? Dialah anak yang kelak menjadi ulama, mufti, muhaddits, mursyid tarekat, dan penasihat Sultan Abdul Hamid di akhir era Utsmani. Beliaulah Syaikh Syarafuddin ad-Daghestani, mursyid dari Syaikh Abdullah Faiz ad-Daghestani (guru Syaikh Nazim Adil Haqqani).
Kalibening, 20-12-2020.
Penulis: Zia Ul Haq, alumni Pessantren Al-Munawwir Krapyak.
*Demikian kisah Kisah Santri Mampu Mendengar Dzikir Pohon, semoga manfaat. Berikut ini adalah foto sosok Syaikh Syarafuddin ad-Daghestani (1875-1936) yang kerap disalahpahami dan dijadikan sebagai ilustrasi wajah Imam Syafi’i.