Tafsir Qur’an Surah Al-Baqoroh Ayat 57

Tafsir Qur'an Surah Al-Baqoroh Ayat 57

Pertanyaan: Bagaimana Tafsir Qur’an Surah Al-Baqoroh Ayat 57?

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Apa maksud potongan ayat ini? “Dan Kami naungi kamu dengan awan, dan Kami turunkan kepadamu “manna” dan”salwa”…” (Q.S. Al Baqoroh: 57).

Bacaan Lainnya

[Adi Alamsyah].

Jawaban atas pertanyaan Tafsir Qur’an Surah Al-Baqoroh Ayat 57 

Wa’alaikumsalamWr. Wb.

Firman Allah dalam surat  Al-Baqarah, ayat 57:

وَظَلَّلْنَا عَلَيْكُمُ الْغَمَامَ وَأَنزَلْنَا عَلَيْكُمُ الْمَنَّ وَالسَّلْوَىٰ ۖ  كُلُوا مِن طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ ۖ وَمَا ظَلَمُونَا وَلَٰكِن  كَانُوا أَنفُسَهُمْ يَظْلِمُونَ

Artinya: “Dan  Kami naungi kalian dengan awan dan Kami turunkan kepada kalian manna  dan salwa. Makanlah dari makanan yang baik-baik yang telah Kami berikan  kepada kalian. Dan tidaklah mereka menganiaya Kami, tetapi merekalah  yang menganiaya diri mereka sendiri.”

Setelah Allah  Swt. menyebutkan perihal murka yang Dia hapuskan terhadap mereka, maka  Allah kembali mengingatkan mereka akan limpahan nikmat-nikmat yang telah  diberikan oleh-Nya kepada mereka. Untuk itu Allah berfirman : “Dan Kami naungi kalian dengan awan.” (Al-Baqarah: 57).

Al-gamaam  adalah bentuk jamak dari gamaamah; dinamakan demikian karena gamaamah  menutupi langit, artinya awan putih. Mereka dinaungi oleh awan agar  terhindar dari sengatan panas matahari padang pasir yang sangat terik  itu. Imam Nasai dan lain-lainnya meriwayatkan dari  Ibnu Abbas dalam hadis Al-Futun, bahwa mereka dinaungi oleh awan ketika  berada di padang pasir. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan  dari Ibnu Umar, Ar-Rabi’ ibnu Anas, Abul Mijlaz, Ad-Dahhak, dan As-Saddi  hal yang semisal dengan apa yang telah dikatakan oleh Ibnu Abbas.

Al-Hasan  dan Qatadah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya, “Wadzalalnaa  ‘alaikumul gamaama,” bahwa hal ini terjadi di padang pasir; mereka  dinaungi oleh awan tersebut hingga terhindar dan teriknya matahari. Ibnu  Jarir dan lain-lainnya mengatakan bahwa awan tersebut lebih sejuk dan  lebih baik daripada awan biasa.

Ibnu Abu Hatim  meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Abu Huiaifah, telah  menceritakan kepada kami Syiblun, dari Ibnu Abu Nujaih, dari Mujahid  sehubungan dengan makna firman-Nya ini, bahwa yang dimaksud dengan awan  di sini bukanlah awan yang Allah datangkan dengannya kelak di hari  kiamat, melainkan awan yang khusus hanya bagi mereka. Hal yang sama  diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir, dari Al-Muianna ibnu Ibrahim, dari  Abu Hudzaifah. Hal yang sama diriwayatkan pula oleh dan lain-lainnya,  dari Ibnu Abu Nujaih, dari Mujahid.

Seakan-akan  dimaksudkan —hanya Allah yang mengetahui bahwa awan tersebut bukanlah  seperti awan yang ada pada kita, melainkan jauh lebih indah dan lebih  semerbak serta lebih balk peman-dangannya. Sunaid di dalam kitab  tafsirnya mengatakan dari Hajjaj ibnu Muhammad, dari Ibnu Juraij, bahwa  Ibnu Abbas pernah mengatakan sehubungan dengan tafsir firman-Nya : “Dan Kami naungi kalian dengan awan.” (Al-Baqarah: 57).

Bahwa  awan tersebut lebih sejuk dan lebih semerbak baunya daripada awan  biasa. Awan inilah yang Allah datang dengan memakainya, seperti yang  dinyatakan di dalam firman-Nya: Tiada yang mereka nanti-nantikan (pada hari kiamat) melainkan datangnya Allah dalam naungan awan dan malaikat. (Al-Baqarah: 210).

Awan  inilah yang para malaikat datang dengan membawanya dalam Perang Badar.  Ibnu Abbas mengatakan, awan tersebutlah yang menaungi mereka (Bani  Israil) ketika di padang pasir.

Firman Allah Swt.: “dan Kami turunkan kepada kalian manna.” (Al-Baqarah: 57).

Keterangan  para ahli tafsir berbeda-beda sehubungan dengan hakikat dan manna ini.  All ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa manna turun pada  mereka di pohon-pohon, lalu mereka menaikinya dan memakannya dengan  sepuas-puasnya. Mujahid mengatakan bahwa manna  adalah getah. Ikrimah mengatakan bahwa manna ialah sesuatu makanan yang  diturunkan oleh Allah kepada mereka seperti hujan gerimis.

As-Saddi  mengatakan bahwa mereka berkata, “Hai Musa, bagaimanakah kami dapat  hidup di sini tanpa ada makanan?” Maka Allah menurunkan manna kepada  mereka. Manna itu turun, lalu terjatuh pada pohon zanjabil (jahe).

Qatadah  mengatakan bahwa manna turun di tempat mereka berada seperti turunnya  salju, bentuknya lebih putih daripada susu dan rasanya lebih manis  daripada madu; manna turun kepada mereka mulai dari terbitnya fajar  hingga matahari terbit. Seseorang dari mereka mengambil sekadar apa yang  cukup bagi keperluannya di hari itu. Apabila is mengambil lebih dari  itu, maka manna menjadi busuk dan tidak tersisa. Akan tetapi, bila hari  yang keenam tiba —yakni hari Jum’at , maka seseorang mengambil  kebutuhannya dari manna untuk hari dan hari besoknya, mengingat hari  besoknya adalah hari Sabtu. Karena hari Sabtu merupakan hari libur  mereka, tiada seorang pun yang bekerja pada hari itu untuk  penghidupannya, hal ini semua terjadi di daratan.

Ar-Rabi’  ibnu Anas mengatakan bahwa manna adalah minuman yang diturunkan kepada  mereka (kaum Bani Israil), rupanya seperti madu; mereka mencampurnya  dengan air, lalu meminumnya.

Wahb  ibnu Munabbih pernah ditanya mengenai manna. Ia menjawab bahwa manna  adalah roti lembut seperti biji jagung atau seperti dedak.

Abu Ja’far ibnu Jarir meriwayatkan, telah menceritakan kepadanya Muhammad ibnu Ishaq, telah menceritakan kepada kami Abu  Ahmad, telah menceritakan kepada kami Israil, dari Jabir, dari Amir  (yaitu Asy-Sya’bi) yang mengatakan bahwa madu kalian ini merupakan  sepertujuh puluh dari manna. Hal yang sama dikatakan pula oleh Abdur  Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam, bahwa manna adalah madu. Telah disebutkan  di dalam syair Umayyah ibnu Abu Silt seperti berikut:

Allah  melihat bahwa mereka berada di tempat yang tandus, tiada tanaman dan  dada buah-buahan. Maka Dia menyirami mereka dengan hujan, dan mereka  melihat hujan yang menimpa mereka berupa tetesan madu dan air yang  jernih serta air susu yang murni lagi cemerlang.

An-natif  artinya cairan, sedangkan al-halibul mazmur artinya susu yang murni  lagi jernih. Tujuan utama dari semuanya dapat disimpulkan bahwa ungkapan  para ahli tafsir mengenai hakikat manna berdekatan dan tidak terlalu  jauh. Di antara mereka ada yang menafsirkannya sebagai minuman. Akan  tetapi, kenyataannya hanya Allah yang mengetahui; dapat disimpulkan  bahwa manna adalah anugerah yang diberikan oleh Allah kepada mereka,  baik berupa makanan atau minuman atau lainnya, yang dihasilkan tanpa  susah payah.

Manna yang dikenal ialah `jika dimakan dengan sendirinya, maka merupakan makanan dan manisan; jika dicampur dengan air, maka

merupakan  minuman yang enak; jika dicampur dengan lainnya merupakan jenis yang  lain’. Akan tetapi, hal ini semata bukanlah makna yang dimaksud oleh  ayat. Sebagai dalilnya ialah sebuah riwayat yang diketengahkan oleh Imam  Bukhari.

Imam Bukhari telah mengatakan, telah  menceritakan kepada kami Abu Na’im, telah menceritakan kepada kami  Sufyan, dari Abdul Malik ibnu Umair ibnu Hurayyits, dari Sa’id ibnu Zaid  RA. yang menceritakan bahwa Nabi Saw. pemah bersabda:Jamur kam-ah berasal dari manna; airnya mengandung obat penawar bagi mata.

Hadis  ini diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad, dari Sufyan ibnu Uyaynah, dari  Abdul Malik (yaitu Ibnu Umair) dengan lafaz yang sama. Jama’ah  mengetengahkan hadis ini di dalam kitabnya masingmasing —kecuali Abu  Daud— melalui berbagai jalur dari Abdul Malik alias Ibnu Umair dengan  lafaz yang sama. Imam Turmudzi mengatakan bahwa hadis ini berpredikat  hasan sahih.

Imam Bukhari dan Imam Muslim  mengetengahkan hadis ini melalui riwayat Al-Hakam, dari Al-Hasan  Al-‘Urni dari Amr ibnu Hurayyits dengan lafaz yang sama.

Imam  Turmudzi meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Abu Ubaidah ibnu  Abus Safar dan Mahmud ibnu Gailan; keduanya mengatakan bahwa telah  menceritakan kepada kami Sa’id ibnu Amri, dari Muhammad ibnu Amr, dari  Abu Salamah, dari Abu Hurairah r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah  Saw. pemah bersabda:

Ajwah (buah kurma masak)  berasal dari surga, di dalamnya terkandung obat penyembuh dari  keracunan; dan jamur kam-ah berasal dari manna, airnya mengandung obat  penyembuh bagi (penyakit) mata.

Hadis ini hanya  diketengahkan oleh Imam Turmudzi, kemudian dia mengatakan bahwa hadis  ini hasan garib. Kami tidak mengetahuinya melainkan melalui hadis  Muhammad ibnu Muhammad ibnu Amr; jika tidak demikian, berarti dari hadis  Sa’id ibnu Amr dar iMuhammad ibnu Amr. Di dalam bab ini diriwayatkan  pula dari Sa’id ibnu Zaid dan Abu Sa’id serta Jabir, menurut Imam  Turmudzi.

Al-Hafiz Abu Bakar ibnu Murdawaih  meriwayatkan pula di dalam kitab tafsirnya melalui jalur lain dari Abu  Hurairah. Untuk itu dia mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad  ibnul Hasan ibnu Ahmad Al-Basri, telah menceritakan kepada kami Aslam  ibnu Sahl, telah menceritakan kepada kami Al-Qasim ibnu Isa, telah  menceritakan kepada kami Talhah ibnu Abdur Rahman, dari Qatadah, dari  Sa’id ibnul Musayyab, dari Abu Hurairah r.a. telah menceritakan bahwa  Rasulullah Saw. pemah bersabda: Jamur kam-ah berasal dari manna, airnya mengandung obat penyembuh bagi penyakit mata.

Hadis  ini berpredikat garib bila ditinjau dari sanad ini, dan Talhah ibnu  Abdur Rahman ini adalah As-Sulami Al-Wasiti, dijuluki dengan sebutan Abu  Muhammad. Menurut pendapat lain, dia adalah Abu Sulaiman Al-Muaddib;  dan Al-Hafiz Abu Ahmad ibnu Abdi mengatakan sesuatu tentang dirinya. Dia  meriwayatkan dari Qatadah banyak riwayat yang tidak dapat diikuti  (dipakai).

Kemudian  Imam Turmudzi mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu  Basysyar, telah menceritakan kepada kami Mu’adz ibnu Hisyam, telah  menceritakan kepada kami Abu Qatadah, dari Syahr ibnu Hausyab, dari Abu  Hurairah r.a. yang menceritakan bahwa para sahabat Nabi Saw. mengatakan, “Kam-ah merupakan akar yang ada di dalam tanah.” Maka Nabi Saw. bersabda:

Kam-ah  berasal dari manna, airnya mengandung obat penyembuh bagi (penyakit)  mata. Dan ajwah berasal dari surga, is mengandung obat penawar untuk  racun.

Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Nasai, dari  Muhammad ibnu Basysyar dengan lafaz yang sama. Diriwayatkan pula dari  Muhammad ibnu Basysyar, dari Gundar, dari Syu’bah ibnu Abu Bisyr Ja’far  ibnu Iyas, dari Syahr ibnu Hausyab, dari Abu Hurairah dengan lafaz yang  sama. Diriwayatkan pula dari Muhammad ibnu Basysyar, dari Abdul A’la,  dari Khalid Al-Hadzdza, dari Syahr ibnu Hausyab, tetapi hanya kisah  mengenai kam-ah saja.

Imam Nasai dan Ibnu Majah  meriwayatkan pula melalui hadis Muhammad ibnu Basysyar, dari Abu Abdus  Samad ibnu Abdul Aziz ibnu Abdus Samad, dari Matar Al-Waraq, dari Syahr  kisah mengenai ajwah yang ada pada Imam Nasai, dan kisah mengenai  keduanya (kam-ah dan ajwah) pada Ibnu Majah.

Jalur  periwayatan ini munqati’ (terputus) antara Syahr ibnu Hausyab dan Abu  Hurairah, karena sesungguhnya Syahr ibnu Hausyab belum pernah mendengar  riwayat hadis dari Abu Hurairah. Sebagai buktinya ialah apa yang telah  diriwayatkan oleh Imam Nasai dalam Bab “Walimah”, di dalam kitab  Sunan-nya, dari Ali ibnul Husain AdDirhami, dari Abdul A’la, dari Sa’id  ibnu Abu Arubah, dari Qatadah, dan Syahr ibnu Hausyab, dari Abdur Rahman  ibnu Ganam, dari Abu Hurairah yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw.  keluar (menemui mereka) yang saat itu mereka sedang membicarakan tentang  kam-ah. Sebagian dari mereka mengatakan bahwa kam-ah adalah akar yang  ada di dalam tanah. Maka Nabi Saw. bersabda:

Kam-ah berasal dari manna yang airnya mengandung obat bagi (penyakit) mata.

Hadis  ini diriwayatkan pula oleh Syahr ibnu Hausyab, dari Abu Sa’id dan  Jabir, seperti yang dikatakan oleh Imam Ahmad, telah menceritakan kepada  kami Asbat ibnu Muhammad, telah menceritakan kepada kami Al-A’masy,  dari Ja’far ibnu Iyas, dari Syahr ibnu Hausyab, dari Jabir ibnu Abdullah  dan Abu Sa’id Al-Khudri; keduanya mengatakan bahwa Rasulullah Saw.  pemah bersabda:

Kam-ah berasal dari manna, dan  airnya mengandung obat bagi mata. Dan ‘ajwah berasal dari surga, ia  mengandung obat untuk keracunan.

Imam Nasai  mengatakan pula di dalam Bab “Walimah”, telah menceritakan kepada kami  Muhammad ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu  Ja’far, telah menceritakan kepada kami Syu’bah, dari Abu Bisyr Ja’far  ibnu Iyas, dari Syahr ibnu Hausyab, dari Abu Sa’id dan Jabir, bahwa  Rasulullah Saw. telah bersabda:

Kam-ah berasal dari manna, dan airnya merupakan obat penawar bagi (penyakit) mata.

Kemudian  hadis ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Majah melalui berbagai jalur dari  Al-A’masy, dari Abu Bisyr, dari Syahr, dari Jabir dan Abu Sa’id dengan  lafaz yang sama.

Keduanya —yakni Ibnu Majah dan Imam  Nasai— meriwayatkannya pula; Imam Nasai meriwayatkannya dari hadis  Jarir, sedangkan Ibnu Majah dari hadis Sa’id ibnu Salamah, keduanya dari  AlA’masy, dari Ja’far ibnu Iyas, dari Abu Nadrah, dari Abu Sa’id,  menurut riwayat Nasai. Sedangkan hadis Jabir menyebutkan bahwa Nabi Saw.  pernah bersabda:

Kam-ah berasal dari manna, dan airnya mengandung obat penyembuh bagi mata.

Ibnu  Murdawaih meriwayatkannya pula dari Ahmad ibnu Ugman, dari Abbas  Ad-Dauri, dari Lahiq ibnu Sawab, dari Ammar ibnu Raziq, dari Al-A’masy;  seperti halnya ibnu Majah dan Ibnu Murdawaih juga berkata, telah  menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Ugman, telah menceritakan kepada  kami Abbas Ad-Dauri. Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami  Al-Hasan ibnur Rabi’, telah menceritakan kepada kami Abul Ahwas, dari  A1-A’masy, dari Al-Minhal ibnu Amr, dari Abdur Rahman ibnu Abu Laila,  dari Sa’id Al-Khudri yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. keluar  menjumpai kami, sedangkan di tangan beliau tergenggam kam-ah, lalu  beliau bersabda : Kam-ah berasal dari manna, dan airnya mengandung obat penawar bagi mata.

Hadis ini diketengahkan pula oleh Imam Nasai, dari Amr ibnu Mansur, dari Al-Hasan ibnur Rabi’ dengan lafaz yang sama.

Kemudian  Ibnu Murdawaih meriwayatkannya pula dari Abdullah Ibnu Ishaq, dari  Al-Hasan ibnu Salam, dari Ubaidillah ibnu Musa, dari Syaiban, dari  A1-A’masy dengan lafaz yang sama. Demikian pula Imam Nasai, ia telah  meriwayatkan dari Ahmad ibnu Ugman ibnu Hakim, dari Ubaidillah ibnu  Musa.

Telah diriwayatkan melalui hadis Anas ibnu  Malik r.a. seperti apa yang dikatakan oleh Ibnu Murdawaih. Ia  mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdullah ibnu  Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Hamdun ibnu Ahmad, telah  menceritakan kepada kami Juwairah ibnu Asyras, telah menceritakan kepada  kami Hammad, dari Syu’aib ibnul Habhab, dari Anas, bahwa para sahabat  Rasulullah SAW. bersegera melihat suatu pohon yang dicabut dari tanah  karena pohon itu sudah tidak tegak lagi, maka sebagian dari mereka  mengatakan, “Kami kira kam-ah.” Maka Rasulullah Saw. bersabda : Kam-ah  berasal dari manna, dan airnya mengandung kesembuh- an bagi (penyakit)  mata. Dan ‘ajwah berasal dari surga, di da- lamnya terkandung kesembuhan  dari keracunan.

Pokok hadis ini terpelihara melalui  riwayat Hammad ibnu Salamah. Imam Turmudzi dan Imam Nasai meriwayatkan  melalui jalurnya se- suatu dari hadis ini.

Diriwayatkan  dari Syahr ibnu Hausyab, dari Ibnu Abbas hal yang sama seperti apa yang  diriwayatkan oleh Imam Nasai di dalam Bab “Walimah”-nya dari Abu Bakar  Ahmad ibnu Ali ibnu Sa’id, dari Ab- dullah ibnu Aun Al-Kharraz, dari Abu  Ubaidah Al-Haddad, dari Ab- dul Jalil ibnu Atiyyah, dari Abdullah ibnu  Abbas, dari Nabi Saw. yang telah bersabda : Kam-ah berasal dari manna, dan airnya mengandung obat bagi mata.

Seperti  yang Anda ketahui sendiri, hal yang diperselisihkan adalah terletak  pada Syahr ibnu Hausyab. Menurut kami, Syahr ibnu Hausyab menghafal dan  meriwayatkan hadis ini melalui berbagai  jalur yang semuanya telah disebutkan di atas, dan memang dia  mendengarnya dari sebagian sahabat, sedangkan sebagian yang lain  diterimanya dari orang lain. Semua sanad yang disandarkan kepadanya  berpredikat jayyid, dan dia tidak bermaksud dusta dalam hal ini. Pokok  hadis terpelihara dari Rasulullah Saw., seperti yang disebutkan di atas  melalui riwayat Sa’id ibnu Zaid RA.

Mengenai salwa,  disebutkan oleh Ali ibnu Abu Talhah, dari Ibnu Abbas, bahwa salwa  adalah sejenis burung yang mirip dengan burung samani yang biasa mereka  makan.

As-Saddi mengatakan dalam kisahnya yang ia  ketengahkan dari Abu Malik dan Abu Saleh, dan Ibnu Abbas r.a.; juga dari  Murrah, dari Ibnu Mas’ud, dari sejumlah sahabat Nabi Saw., bahwa salwa  adalah burung yang mirip dengan burung samani.

Ibnu  Abu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu  Muhammad ibnus Sabah, telah menceritakan kepada kami Abdus Samad ibnu  Abdul Wari§, telah menceritakan kepada kami Qurrah ibnu Khalid, dari  Jandam, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa salwa adalah burung  samani.

Hal yang sama dikatakan pula oleh Mujahid, Asy-Sya’bi, AdDahhak, Al-Hasan, Ikrimah, dan Ar-Rabbi’ ibnu Anas.

Diriwayatkan  dari Ikrimah, salwa adalah sejenis burung seperti burung yang kelak ada  di surga, bentuknya lebih besar daripada burung pipit atau sama  dengannya.

Qatadah mengatakan bahwa salwa adalah  sejenis burung yang berbulu merah yang datang digiring oleh angin  selatan. Seorang lelaki dari kalangan mereka menyembelih sebagian  darinya dalam kadar yang cukup untuk keperluan hari itu; dan apabila ia  melampaui batas dalam pengambilannya, maka daging burung itu membusuk  dan talc tersisa. Tetapi jika ia berada di hari yang keenam (yakni hari  Jumat), maka ia mengambil bagian untuk keperluan hari itu dan hari  esoknya, yakni hari keenam dan hari ketujuhnya. Karena hari yang ketujuh  atau hari Sabtu merupakan hari libur mereka, tiada seorang pun yang  bekerja di hari itu dan tiada seorang pun yang mencari sesuatu padanya.

Wahb  ibnu Munabbih mengatakan bahwa salwa adalah burung yang gemuk seperti  burung merpati, burung-burung tersebut datang kepada mereka dengan  berbondong-bondong dari Sabtu ke Sabtu yang lainnya, kemudian mereka  mengambil sebagian darinya.

Di dalam riwayat yang  lain dari Wahb disebutkan bahwa kaum Bani Israil meminta kepada Musa  a.s. agar diberi daging, lalu Allah berfirman, “Aku benar-benar akan  memberi mereka makan berupa daging yang paling sedikit didapat di muka  bumi.” Kemudian Allah mengirimkan angin kepada mereka, lalu  berjatuhanlah salwa di tempat tinggal mereka; salwa tersebut adalah  samani yang berbondongbondong terbang setinggi tombak. Mereka menyimpan  daging burung samani itu untuk keesokan harinya, tetapi daging itu  membusuk dan roti pun menjadi basi.

As-Saddi  mengatakan bahwa tatkala Bani Israil memasuki padang sahara, mereka  berkata kepada Musa a.s., “Bagaimana kami dapat tahan di tempat seperti  ini? Di manakah makanannya?” Maka Allah menurunkan manna kepada mereka.  Manna turun kepada mereka berjatuhan di atas pohon jahe. Sedangkan salwa  adalah sejenis burung yang bentuknya mirip dengan burung samani, tetapi  lebih besar sedikit.

Seseorang dari mereka bila  menangkap burung salwa itu terlebih dahulu mereka melihatnya. Jika  burung yang ditangkapnya itu gemuk, maka mereka menyembelihnya; tetapi  jika kurus, mereka melepaskannya; jika telah gemuk, maka burung itu bare  ditangkap. Mereka berkata (kepada Musa a.s.), “Ini makanannya, manakah  minumannya?”

Maka Allah memerintahkan kepada Musa AS. untuk memukulkan  tongkatnya pada sebuah batu besar. Setelah batu itu dipukul dengan  tongkatnya, memancarlah dua belas mata air yang mengalir, hingga  tiap-tiap puak dari Bani Israil mempunyai mata airnya sendirisendiri.  Mereka berkata lagi, “Ini minuman, maka manakah naungannya? Mereka  dinaungi oleh awan, dan mereka berkata lagi, “Ini naungan, manakah  pakaiannya?” Tersebutlah bahwa pakaian mereka tahan lama dan tidak  robek-robek.

Yang demikian itu disebutkan di dalam firman-Nya

Dan Kami naungi kalian dengan awan dan Kami turunkan kepada kalian manna dan salwa. (Al-Baqarah: 57).

Dan  (ingatlah) ketika Musa memohon air untuk kaumnya, lalu Kami berfirman,  “Pukullah batu itu dengan tongkatmu!” Lalu memancarlah darinya dua belas  mata air. Sungguh tiap-tiap suku telah mengetahui tempat minumnya  (masing-masing). Makan dan minumlah rezeki (yang diberikan) Allah, dan  janganlah kalian berkeliaran di muka bumi dengan berbuat kerusakan.  (AlBaqarah: 60)

Telah diriwayatkan dari Wahb ibnu  Munabbih dan Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam hal yang semisal dengan  apa yang telah diriwayatkan oleh As-Saddi.

Sunaid  meriwayatkan dari Hajjaj, dari Ibnu Juraij yang menceritakan, “Ibnu  Abbas r.a. pernah mengatakan bahwa Allah menciptakan bagi mereka di  padang pasir pakaian yang anti robek dan anti kotor.”

Ibnu  Juraij mengatakan, “Seorang lelaki (dari kalangan mereka) apabila  mengambil manna dan salwa dalam jumlah lebih dari keperluan seharinya,  maka manna dan salwa itu membusuk. Hanya saja pada hari Jumat mereka  mengambil makanan dalam jumlah lebih karena untuk hari Sabtunya, dan  pada pagi hari Sabtu makanan tersebut tidak rusak.

Ibnu  Atiyyah mengatakan bahwa salwa adalah sejenis burung, menurut  kesepakatan ulama Mufassirin. Kelirulah Al-Hudzali yang mengatakan dalam  bait syairnya bahwa salwa itu adalah madu. Hal ini terbukti melalui  perkataannya dalam salah satu bait syairnya, yaitu:

Dan  dia bersumpah secara sungguh-sungguh dengan menyebut asma Allah, bahwa  kalian benar-benar lebih lezat daripada salwa (madu) apabila dipetik  dari sarangnya.

Al-Hufzali menduga bahwa salwa itu adalah madu.

Al-Qurtubi  mengatakan, pengakuan yang mendakwakan adanya kesepakatan (bahwa salwa  adalah sejenis burung) tidak sah, karena Muwarrij —seorang ulama bahasa  dan tafsir— mengatakan bahwa

adalah madu. Kemudian is  mengemukakan dalilnya dengan kepada perkataan tadi. Ia menjelaskan,  memang demikianlah sebutannya di dalam dialek Kinanah, mengingat madu  merupakan minuman yang lezat; termasuk ke dalam pengertian ini ialah  ‘ainun Silwan (mata air yang menyegarkan).

Al-Jauhari  mengatakan bahwa salwa adalah madu. Ia mengatakan demikian berdalilkan  ucapan Al-Hulali tadi. Sulwanah artinya kharzah (sebuah wadah). Mereka  mengatakan, apabila dituangkan air hujan, lalu diminum oleh seseorang  yang sedang dimabuk asmara, maka is akan lupa kepada segala-galanya.  Sehubungan dengan hal ini seorang penyair mengatakan: Aku telah meminum air hujan dari wadah sulwanah, demi kehidupan yang baru, hai Mai, aku tidak dapat berlupa diri.

Nama  air yang diminum dengan memakai wadah tersebut adalah sulwan. Sebagian  orang mengatakan bahwa sulwan menipakan obat penawar yang dapat  menyembuhkan karena lupa kepada kesedihan. Para tabib menamakannya  dengan sebutan mufarrij.

Mereka  mengatakan bahwa salwa adalah bentuk jamak, bentuk tunggalnya pun sama;  sama halnya dengan samani yang bentuk tunggal dan jamaknya sama. Tetapi  dapat pula dikatakan saliva adalah bentuk jamak, sedangkan bentuk  tunggalnya adalah waili 1).

Imam Khalil mengatakan bahwa salwa bentuk tunggalnya adalah silwatun, lalu Imam Khalil mengetengahkan sebuah syair:

Sesungguhnya aku benar-benar tergetar bila mengingatmu, seperti seekor burung salwa yang mengibaskan air hujan dari tu buhnya.

Imam  Kisai mengatakan bahwa salwa adalah bentuk tunggal, sedangkan bentuk  jamaknya adalah salawa. Semua pendapat di atas telah dinukil oleh  Al-Qurtubi.

Demikian menurut salinannya, sedangkan di dalam syarah Qamus disebutkan seperti berikut:  Bahwa di dalam kitab ihah Al-Akhfasy mengatakan, “Aku belum peniah  mendengar bentuk tunggalnya, tetapi keadaan lafaz salwa ini mirip dengan  lafaz yang bentuk tunggal dan jamaknya sama, seperti lafaz dafla untuk  tunggal dan jamak.”

Firman Allah Swt .: Makanlah dari makanan yang baik-baik yang telah Kami berikan kepada kalian. (Al-Baqarah: 57)

Perintah dalam ayat ini mengandung makna ibahah (boleh), pengarahan, dan sebagai anugerah. Sedangkan mengenai firman-Nya:

Dan tidaklah mereka menganiaya Kami, tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri. (Al-Baqarah: 57)

Makna  yang dimaksud dengan ayat sebelumnya yaitu `Kami perintahkan mereka  untuk memakan rezeki yang telah Kami berikan kepada mereka, dan  hendaklah mereka beribadah (kepada-Nya)’, seperti pengertian yang  terdapat pada ayat lainnya, yaitu firman-Nya:

Makanlah oleh kalian dari rezeki yang (dianugerahkan) Tuhan kalian dan bersyukurlah kalian kepada-Nya. (Saba’: 15)

Akan  tetapi, mereka (Bani Israil) menentang dan kafir, sehingga jadilah  mereka orang-orang yang menganiaya dirinya sendiri, padahal mereka telah  menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri semua tanda kebesaran Allah  yang jelas, mukjizat-mukjizat yang pasti, dan halhal yang bertentangan  dengan hukum alam.

Dari keterangan ini tampak jelas  keutamaan para sahabat Nabi Muhammad Saw. yang berada di atas semua  sahabat nabi-nabi lainnya dalam hal kesabaran, keteguhan, dan ketegaran  mereka yang tidak pemah surut. Padahal mereka selalu bersamanya dalam  semua perjalanan dan peperangan, antara lain ialah dalam Perang Tabuk  yang situasinya sangat panas dan melelahkan.

Sekalipun demikian, mereka  tidak pernah meminta kepada Nabi Saw. mengadakan hal-yang bertentangan  dengan hukumrmas alam dan hal-hal yang aneh, padahal hal tersebut  amatlah mudah bagi Nabi Saw. Hanya ketika rasa la-par sangat melemahkan  tubuh mereka, mereka meminta kepada Nabi SAW. agar makanan yang mereka  bawa diperbanyak.

Untuk itu mereka mengumpulkan semua makanan yang ada  pada mereka, lalu terkumpullah makanan yang jumlah keseluruhannya sama  dengan tinggi seekor kambing yang sedang duduk istirahat. Kemudian Nabi  Saw. berdoa agar makanan tersebut diberkahi, temyata akhimya mereka  dapat memenuhi semua wadah makanan yang mereka bawa.

Demikian  pula ketika mereka memerlukan air, Nabi memohon kepada Allah Swt., lalu  datanglah awan yang langsung menghujani mereka. Akhimya mereka minum  dan memberi minum ternak mereka hingga dapat memenuhi wadah air minum  yang mereka bawa. Kemudian mereka melihat keadaan hujan tersebut,  temyata hujan tidak melampaui batas pasukan kaum muslim bermarkas.

Hal  ini jelas lebih utama dan lebih sempurna, yang menunjukkan keikhlasan  mereka dalam mengikuti Nabi Saw., padahal Allah berkuasa untuk memenuhi  apa yang diminta oleh Rasulullah Saw. buat pasukan kaum muslim yang  mengikutinya saat itu.

Tafsir Ibnu Katsir:

( وظللنا عليكم الغمام وأنزلنا عليكم المن والسلوى كلوا من طيبات ما رزقناكم وما ظلمونا ولكن كانوا أنفسهم يظلمون ( 57 )

لما  ذكر تعالى ما دفعه عنهم من النقم ، شرع يذكرهم – أيضا – بما أسبغ عليهم من  النعم ، فقال : ( وظللنا عليكم الغمام ) وهو جمع غمامة ، سمي بذلك لأنه  يغم السماء ، أي : يواريها ويسترها . وهو السحاب الأبيض ، ظللوا به في  التيه ليقيهم حر الشمس . كما رواه النسائي وغيره عن ابن عباس في حديث  الفتون ، قال : ثم ظلل عليهم في التيه بالغمام .

قال ابن أبي حاتم : وروي عن ابن عمر ، والربيع بن أنس ، وأبي مجلز ، والضحاك ، والسدي ، نحو قول ابن عباس .

وقال الحسن وقتادة : ( وظللنا عليكم الغمام ) [ قال ] كان هذا في البرية ظلل عليهم الغمام من الشمس .

وقال ابن جرير قال آخرون : وهو غمام أبرد من هذا ، وأطيب .

وقال  ابن أبي حاتم : حدثنا أبي ، حدثنا أبو حذيفة ، حدثنا شبل ، عن ابن أبي  نجيح ، عن مجاهد : ( وظللنا عليكم الغمام ) قال : ليس بالسحاب ، هو الغمام  الذي يأتي الله فيه يوم القيامة ، ولم يكن إلا لهم .

وهكذا رواه ابن جرير ، عن المثنى بن إبراهيم ، عن أبي حذيفة .

وكذا  رواه الثوري ، وغيره ، عن ابن أبي نجيح ، عن مجاهد ، وكأنه يريد ، والله  أعلم ، أنه ليس من زي هذا السحاب ، بل أحسن منه وأطيب وأبهى منظرا ، كما  قال سنيد في تفسيره عن حجاج بن محمد ، عن ابن جريج قال : قال ابن عباس : (  وظللنا عليكم الغمام ) قال : غمام أبرد من هذا وأطيب ، وهو الذي يأتي الله  فيه في قوله : ( هل ينظرون إلا أن يأتيهم الله في ظلل من الغمام والملائكة )  [ البقرة : 210 ] وهو الذي جاءت فيه الملائكة يوم بدر . قال ابن عباس :  وكان معهم في التيه .

وقوله : ( وأنزلنا عليكم المن )  اختلفت عبارات المفسرين في المن : ما هو ؟ فقال علي بن أبي طلحة ، عن ابن  عباس : كان المن ينزل عليهم على الأشجار ، فيغدون إليه فيأكلون منه ما  شاءوا .

وقال مجاهد : المن : صمغة . وقال عكرمة : المن : شيء أنزله الله عليهم مثل الطل ، شبه الرب الغليظ .

وقال السدي : قالوا : يا موسى ، كيف لنا بما هاهنا ؟ أين الطعام ؟ فأنزل الله عليهم المن ، فكان يسقط على شجر الزنجبيل .

وقال  قتادة : كان المن ينزل عليهم في محلتهم سقوط الثلج ، أشد بياضا من اللبن ،  وأحلى من العسل ، يسقط عليهم من طلوع الفجر إلى طلوع الشمس ، يأخذ الرجل  منهم قدر ما يكفيه يومه ذلك ؛ فإذا تعدى ذلك فسد ولم يبق ، حتى إذا كان يوم  سادسه ، ليوم جمعته ، أخذ ما يكفيه ليوم سادسه ويوم سابعه ؛ لأنه كان يوم  عيد لا يشخص فيه لأمر معيشته ولا يطلبه لشيء ، وهذا كله في البرية .

وقال الربيع بن أنس : المن شراب كان ينزل عليهم مثل العسل ، فيمزجونه بالماء ثم يشربونه .

وقال وهب بن منبه – وسئل عن المن – فقال : خبز الرقاق مثل الذرة أو مثل النقي .

وقال  أبو جعفر بن جرير : حدثني أحمد بن إسحاق ، حدثنا أبو أحمد ، حدثنا إسرائيل  ، عن جابر ، عن عامر وهو الشعبي ، قال : عسلكم هذا جزء من سبعين جزءا من  المن .

وكذا قال عبد الرحمن بن زيد بن أسلم : إنه العسل .

ووقع في شعر أمية بن أبي الصلت ، حيث قال :

فرأى الله أنهم بمضيع لا بذي مزرع ولا مثمورا     فسناها عليهم غاديات

وترى مزنهم خلايا وخورا     عسلا ناطفا وماء فراتا

وحليبا ذا بهجة مرمورا

فالناطف : هو السائل ، والحليب المرمور : الصافي منه .

والغرض  أن عبارات المفسرين متقاربة في شرح المن ، فمنهم من فسره بالطعام ، ومنهم  من فسره بالشراب ، والظاهر ، والله أعلم ، أنه كل ما امتن الله به عليهم من  طعام وشراب ، وغير ذلك ، مما ليس لهم فيه عمل ولا كد ، فالمن المشهور إن  أكل وحده كان طعاما وحلاوة ، وإن مزج مع الماء صار شرابا طيبا ، وإن ركب مع  غيره صار نوعا آخر ، ولكن ليس هو المراد من الآية وحده ؛ والدليل على ذلك  قول البخاري :

حدثنا أبو نعيم ، حدثنا سفيان ، عن عبد  الملك ، عن عمرو بن حريث عن سعيد بن زيد – رضي الله عنه – قال : قال النبي  صلى الله عليه وسلم : الكمأة من المن ، وماؤها شفاء للعين .

وهذا الحديث رواه الإمام أحمد ، عن سفيان بن عيينة ، عن عبد الملك ، وهو ابن عمير ، به .

وأخرجه  الجماعة في كتبهم ، إلا أبا داود ، من طرق عن عبد الملك ، وهو ابن عمير ،  به . وقال الترمذي : حسن صحيح ، ورواه البخاري ومسلم والنسائي من رواية  الحكم ، عن الحسن العرني ، عن عمرو بن حريث ، به .

وقال  الترمذي : حدثنا أبو عبيدة بن أبي السفر ومحمود بن غيلان ، قالا حدثنا  سعيد بن عامر ، عن محمد بن عمرو ، عن أبي سلمة ، عن أبي هريرة ، قال : قال  رسول الله صلى الله عليه وسلم : العجوة من الجنة ، وفيها شفاء من السم ،  والكمأة من المن وماؤها شفاء للعين .

Dan seterusnya. Wallahu a’lam.

[Santrialit].

Sumber Baca Disini
Silahkan baca juga artikel terkait.

Pos terkait