PERTANYAAN :
Assalamualaikum. Mbah saya pernah melakukan perjalan naik kapal laut yang di mana waktu itu masuk waktu sholat saya tidak pengen fadhilah sholat tepat waktu tapi saya bingung juga menentukan arah kiblat karena tidak tau arah kiblatnya secara hukumnya bagaimana mbah sholatnya yang saya lakukan itu. [Adhi Chunk].
JAWABAN :
Waalaikumsalam. ANDA TETAP DIHARUSKAN MENGHADAP KIBLAT DAN MENCARI ARAHNYA BAIK DALAM SHALAT SUNAH MAUPUN WAJIB, BILA TIDAK BISA MAKA SHALAT YANG ANDA KERJAKAN HARUS DIULANG SESAMPAINYA DARATAN. KETERANGAN DIAMBIL DARI :
اما الراكب في سفينة فيلزمه الاستقبال واتمام الاركان سواء كانت واقفة أو سائرة لانه لا مشقة فيه وهذا متفق عليه هذا في حق ركابها الاجانب اما ملاحها الذى يسبرها فقال صاحب الحاوى وابو المكارم يجوز له ترك القبلة في نوافله في حال تسييره
Sedangkan bagi pengendara perahu maka wajib baginya menghadap kiblat serta menyempurnakan rukun-rukunnya shalat baik perahunya berhenti ataupun berlayar karena tidak ada kesulitan baginya dan hal ini disepekati ulama, hukum ini berlaku bagi setiap pengemudinya sedang bagi kelasinya yang menentukan arah perahu menurut pengarang kitab ‘al-Haawy dan Abu al-makarim baginya boleh tidak menghadap kiblat dalam shalat-shalat sunah saat perahunya berlayar”. [ Al-Majmuu’ ‘alaa Syarh al-Muhaddzab III/233 ].
وَلَيْسَ لِرَاكِبِ السَّفِينَةِ وَلَا الرَّمَثِ وَلَا شَيْءٍ مِمَّا يُرْكَبُ في الْبَحْرِ أَنْ يصلى نَافِلَةً حَيْثُ تَوَجَّهَتْ بِهِ السَّفِينَةُ وَلَكِنْ عليه أَنْ يَنْحَرِفَ إلَى الْقِبْلَةِ وَإِنْ غَرِقَ فَتَعَلَّقَ بِعُودٍ صلي على جِهَتِهِ يُومِئُ إيمَاءً ثُمَّ أَعَادَ كُلَّ مَكْتُوبَةٍ صَلَّاهَا بِتِلْكَ الْحَالِ إذَا صَلَّاهَا إلَى غَيْرِ قِبْلَةٍ ولم يُعِدْ ما صلى إلَى قبله بِتِلْكَ الْحَالِ
Dan tidak diperkenankan bagi orang yang naik perahu, rakit atau sesuatu yang ia kendarai dilaut untuk shalat sunat sesuai arah perahunya tapi dia menghadaplah kiblat meskipun ia tenggelam maka bergantunglah pada kayu, shalatlah dengan menghadap arah kiblat dengan menggunakan isyarat kemudian baginya wajib mengulangi setiap shalat wajib yang ia kerjakan dalam kondisi tersebut bila ia mengerjakan shalatnya dengan tidak menghadap kiblat dan tidak perlu baginya mengulangi shalat wajibnya dalam kondisi tersebut bila ia kerjakan dalam posisi ia menghadap kiblat. [ Al-Umm Lis Syaafi’I I/98 ].
وتصح الفريضة في السفينة الواقفة والجارية والزورق المشدود بطرف الساحل بلا خلاف إذا استقبل القبلة وأتم الاركان…..
(فرع) قال اصحابنا إذا صلي الفريضة في السفينة لم يجز له ترك القيام مع القدرة كما لو كان في البر وبه قال مالك واحمد وقال أبو حنيفة يجوز إذا كانت سائرة قال اصحابنا فان كان له عذر من دوران الرأس ونحوه جازت الفريضة قاعدا لانه عاجز فان هبت الريح وحولت السفينة فتحول وجهه عن القبلة وجب رده إلى القبلة ويبى علي صلاته بخلاف ما لو كان في البر وحول انسان وجهه عن القبلة قهرا فانه تبطل صلاته كما سبق بيانه قريبا قال القاضي حسين والفرق أن هذا في البر نادر وفى البحر غالب وربما تحولت في ساعة واحدة مرارا
* (فرع) قال أصحابنا ولو حضرت الصلاة المكتوبة وهم سائرون وخاف لو نزل ليصليها علي الارض الي القبلة انقطاعا عن رفقته أو خاف علي نفسه أو ماله لم يجز ترك الصلاة وإخراجها عن وقتها بل يصليها على الدابة لحرمة الوقت وتجب الاعادة لانه عذر نادر.
Hukumnya SAH shalat fardhu yang dikerjakan diatas perahu yang diam, bergerak, sampan yang terikat dipinggir pantai dengan tanpa perbedaan ulama bila ia menghadap kiblat dan mampu menyempurnakan rukun-rukunnya shalat…
[ CABANG ] Berkata pengikut-pengikut as-Syaafi’i “Bila seseorang shalat diatas perahu tidak diperkenankan baginya meninggalkan shalat dalam keadaan berdiri bila ia mampu seperti halnya shalatnya didaratan, pendapat ini selaras dengan Imam Malik dan Ahmad sedang Imam Abu Hanifah membolehkannya saat perahunya telah berlayar”.
Berkata pengikut-pengikut as-Syaafi’i “Bila baginya ada halangan untuk menjalani shalat dalam perahu dengan berdiri semacam kepalanya berputar-putar dan lainnya maka boleh baginya menjalaninya dengan duduk, apabila angin bertiup membelokkan arah perahu dan memalingkan wajahnya dari kiblat maka wajib baginya kembali lagi menghadap kiblat dan meneruskan shalatnya berbeda saat ia shalat didaratan saat terdapat orang lain memalingkan wajahnya dari kiblat maka batal shalatnya seperti dalam keterangan yang telah lalu”.
Berkata alQaadhi Husain “Perbedaannya adalah kasus berpalingnya wajah didaratan langka sedang dilautan hal yang jamak dan dalam sesaat terkadang bisa berpaling wajahnya berulang-ulang”.
[ CABANG ] Berkata pengikut-pengikut as-Syaafi’i “Bila waktunya shalat wajib telah tiba sementara dirinya sedang berjalan dan saat ia menjalani shalat didaratan dengan menghadap kiblat ia khawatir akan terpisah dari rombongan atau khawatir akan keselamatan dirinya, hartanya maka baginya tidak diperbolehkan meninggalkan shalat dan mengerjakannya diluar waktunya namun shalatlah diatas kendaraan sekedar menghormati waktu dan diwajibkan baginya mengulangi shalatnya karena hal tersebut termasuk udzur yang langka”. [ Al-Majmuu’ ‘alaa Syarh al-Muhaddzab III/240-241 ]. Wallaahu A’lam Bis Showaab. [Masaji Antoro].