1409. MAKALAH : Turun ke langit dunia pada setiap malam

Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya ia berkata, saya telah membacakan kepada Malik dari Ibnu Syihab dari Abu Abdullah Al Agharr dan dari Abu Salamah bin Abdurrahman dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Rabb Tabaraka wa Ta’la turun ke langit dunia pada setiap malam, yakni saat sepertiga malam terakhir seraya berfirman, ‘Siapa yang berdo’a kepadaKu niscaya akan Aku kabulkan dan siapa yang meminta kepadaKu niscaya akan Aku berikan dan siapa yang memohon ampun kepadaKu, niscaya akan Aku ampuni.” (HR Muslim 1261)

Bacaan Lainnya
Pemahaman Ibnu Taimiyyah “Hadits yang disepakati keshahihannya ini, merupakan dalil yang shahih dan gamblang, yang menyatakan turunnya Allah Tabaraka wa Ta’ala ke langit dunia pada setiap malam, ketika masih tersisa sepertiga malam terakhir. Turunnya Allah Ta’ala ini sesuai dengan kebesaran dan keagunganNya. Turun merupakan salah satu sifat Fi’liyah. Dia turun ketika Dia menghendaki dan kapan saja Dia menghendaki. Arti turun telah diketahui, tetapi bagaimana keadaan turunNya itu tidak diketahui, mengimaninya merupakan kewajiban, sedangkan bertanya mengenainya adalah bid’ah”. (Syarh al-Aqidah al-Wasithiyah li Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah, Sa’id bin Ali bin Wahf al-Qathaniy)
Ulama Muhammad bin Shalih Al Utsaimin dalam “100 Pelajaran dari Kitab Aqidah Wasithiyahmenuliskan
****  awal kutipan ****
Ibnu Taimiyyah dalam Ar Risalah Al ‘Arsyiyah berkata : “ Sesungguhnya Arsy tidak kosong; karena dalil-dalil tentang bersemayamnya Allah di atas Arsy adalah muhkam (tidak memerlukan takwil karena kejelasan maknanya), dan hadits tentang turun-Nya Allah muhkam pula. Sedangkan sifat-sifat Allah Suybhanahu Wa Ta’ala tidak bisa dikiaskan dengan sifat-sifat makhluk-Nya. Maka wajib bagi kita untuk menetapkan nash-nash tentang istiwa (bersemayam) berdasarkan kedudukannya yang muhkam, begitu pula tentang turunnya Allah. Kita katakan bahwa Allah bersemayam di atas arsy, Allah juga turun ke langit dunia. Dia lebih mengetahui tentang bagaimana Dia bersemayam dan bagaimana Dia turun, sedangkan akal kita sangat terbats, sempit dan hina untuk mengetahui ilmu Allah Subhanahu Wa Ta’ala.”
Dari sini kemudian muncul permasalahan selanjutnya pada sebagian orang zaman sekarang yang memiliki pengetahuan bahwa bumi itu bulat dan matahari beredar mengelilingi bumi. Mereka melemparkan syubhat : bagaimana Allah turun di sepertiga malam terakhir sedangkan waktu antara Negara itu berbeda- beda? Seperti di Saudi Arabia kemudian berpindah ke Eropa dan negara-negara lainnya, apakah Allah akan sekali turun lebih dari sekali dalam satu malam?
Jawaban kami adalah : berimanlah anda terlebih dahulu bahwa Allah turun pada waktu yang telah ditentukan. Jika anda telah percaya maka tidak ada masalah setelah itu, jangan anda menanyakan “Bagaimana caranya?” tapi katakanlah : jika waktu sepertiga malam terakhir ada di Saudi, maka Allah tetap turun dan jika di Amerika sepertiga malam, maka Allah tetap turun juga. Kemudian jika fajar telah tiba maka habislah waktu turunnya Allah berdasarkan waktu setempat.
**** akhir kutipan ****
Imam Malik bin Anas ra menghadapi hadits ”Allah turun disetiap sepertiga malam” adalah, yanzilu amrihi (turunnya perintah dan rahmat Allah) pada setiap sepertiga malam adapun Allah Azza wa Jalla adalah tetap tidak bergeser dan tidak berpindah, maha suci Allah yang tiada tuhan selainNya.
Ulama yang sholeh keturunan cucu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, Habib Munzir menyampaikan
***** awal kutipan ****
Maksudnya bukan secara makna yang dhohir Allah itu ke langit yang terdekat dengan bumi, karena justru hadits ini merupakan satu dalil yang menjawab orang yang mengatakan bahwa Allah Swt itu ada di satu tempat atau ada di Arsy.
Yang dimaksud adalah Allah itu senang semakin dekat, semakin dekat, semakin dekat kepada hamba hamba Nya disaat sepertiga malam terakhir semakin dekat Kasih Sayang Allah.
Allah itu dekat tanpa sentuhan dan jauh tanpa jarak. Berbeda dengan makhluk, kalau dekat mesti ada sentuhan dan kalau jauh mesti ada jarak. “Allah laysa kamitslihi syai’un”  (Allah tidak sama dengan segala sesuatu) (QS Assyura 11)
Allah Swt turun mendekat kepada hamba Nya di sepertiga malam terakhir maksudnya Allah membukakan kesempatan terbesar bagi hamba hamba Nya di sepertiga malam terakhir.
Sepertiga malam terakhir kira kira pukul 2 lebih dinihari.., kalau malam dibagi 3, sepertiga malam terakhir kira kira pukul 2 lebih, sampai sebelum adzan subuh itu sepertiga malam terakhir, waktu terbaik untuk berdoa dan bertahajjud.
Disaat saat itu kebanyakan para kekasih lupa dengan kekasihnya. Allah menanti para kekasih Nya. Sang Maha Raja langit dan bumi  Yang Maha Berkasih Sayang menanti hamba hamba yang merindukan Nya, yang mau memisahkan ranjangnya dan tidurnya demi sujudnya Kehadirat Allah Yang Maha Abadi. Mengorbankan waktu istirahatnya beberapa menit untuk menjadikan bukti cinta dan rindunya kepada Allah.
***** akhir kutipan *****
Kami,  kaum muslim pada umumnya bukannya menolak sebagian sifat-sifat Allah , namun kami menghindari mengi’tiqodkan dengan makna dzahir
Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H/1182 M) dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad, “Sunu ‘Aqaidakum Minat Tamassuki Bi Dzahiri Ma Tasyabaha Minal Kitabi Was Sunnati Lianna Dzalika Min Ushulil Kufri”, “Jagalah aqidahmu dari berpegang dengan dzahir ayat dan hadis mutasyabihat, karena hal itu salah satu pangkal kekufuran”.
Imam besar ahli hadis dan tafsir, Jalaluddin As-Suyuthi dalam “Tanbiat Al-Ghabiy Bi Tabriat Ibn ‘Arabi” mengatakanIa (ayat-ayat mutasyabihat) memiliki makna-makna khusus yang berbeda dengan makna yang dipahami oleh orang biasa. Barangsiapa memahami kata wajh Allah, yad , ain dan istiwa sebagaimana makna yang selama ini diketahui (wajah Allah, tangan, mata, bertempat), ia kafir (kufur dalam i’tiqod) secara pasti.
Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra berkata : “Sebagian golongan dari umat Islam ini ketika kiamat telah dekat akan kembali menjadi orang-orang kafir”.
Seseorang bertanya kepadanya : “Wahai Amirul Mukminin apakah sebab kekufuran mereka? Adakah karena membuat ajaran baru atau karena pengingkaran?”
Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra menjawab : “Mereka menjadi kafir karena pengingkaran. Mereka mengingkari Pencipta mereka (Allah Subhanahu wa ta’ala) dan mensifati-Nya dengan sifat-sifat benda (makhlukNya) dan anggota-anggota badan.”
Syeikh Al-Akhthal dalam “Hasyiyah ad-Dasuqi ‘ala Ummil Barahin”  menuliskan bahwa mereka yang mengi’tiqodkan Allah ta’ala mempunyai tangan tetapi  tidak serupa dengan tangan makhlukNya atau Allah ta’ala turun sebagaimana yang dikehendakiNya dan tidak serupa dengan turun makhlukNya , maka orang tersebut hukumnya “‘Aashin” atau orang yang telah berbuat durhaka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Ulama yang sholeh keturunan cucu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam,  Sayyid Muhammad bin Alwi Maliki mengatakan “‘Walaupun dalam kisah mi’raj yang didengar terdapat keterangan mengenai naik-turunnya Rasulullah, seorang muslim tidak boleh menyangka bahwa antara hamba dan Tuhannya terdapat jarak tertentu, karena hal itu termasuk perbuatan kufur. Na’udzu billah min dzalik. Naik dan turun itu hanya dinisbahkan kepada hamba, bukan kepada Tuhan. Meskipun Nabi shallallahu alaihi wasallam pada malam Isra’ sampai pada jarak dua busur atau lebih pendek lagi dari itu, tetapi beliau tidak melewati maqam ubudiyah (kedudukan sebagai seorang hamba). Ketahuilah bahwa bolak-baliknya Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam antara Nabi Musa alaihissalam dengan Allah subhanahu wa ta’ala pada malam yang diberkahi itu tidak berarti adanya arah bagi Allah subhanahu wa ta’ala. Mahasuci Allah dari hal itu dengan sesuci-sucinya. Ucapan Nabi Musa alaihissalam kepada beliau, “Kembalilah kepada Tuhanmu,” artinya: “kembalilah ke tempat engkau bermunajat kepada Tuhanmu. Maka kembalinya Beliau adalah dari tempat Beliau berjumpa dengan Nabi Musa alaihissalam ke tempat beliau bermunajat dan bermohon kepada Tuhannya. Tempat memohon tidak berarti bahwa yang diminta ada di tempat itu atau menempati tempat itu karena Allah Subhanahu wa ta’ala suci dari arah dan tempat. Maka kembalinya Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam kepadaNya adalah kembali Beliau meminta di tempat itu karena mulianya tempat itu dibandingkan dengan yang lain. Sebagaimana lembah Thursina adalah tempat permohonan Nabi Musa alaihissalam di bumi”.  (Wa huwa bi al’ufuq al-a’la diterjemahkan oleh Sahara publisher dengan judul Semalam bersama Jibril ‘alaihissalam)
Kesimpulannya adalah Allah ta’ala tidak bertempat di suatu tempat dan tidak juga bertempat di mana mana. Maha suci Allah dari “di mana” dan “bagaimana
Imam Sayyidina Ali ra mengatakan yang maknanya: “Sesungguhnya yang menciptakan ayna (tempat) tidak boleh dikatakan bagi-Nya di mana (pertanyaan tentang tempat), dan yang menciptakan kayfa (sifat-sifat makhluk) tidak boleh dikatakan bagi-Nya bagaimana
Imam al Qusyairi menyampaikan, ” Dia Tinggi Yang Maha Tinggi, Luhur Yang Maha Luhur dari ucapan “bagaimana Dia?” atau “dimana Dia?”. Tidak ada upaya, jerih payah, dan kreasi-kreasi yang mampu menggambari-Nya, atau menolak dengan perbuatan-Nya atau kekurangan dan aib. Karena, tak ada sesuatu yang menyerupai-Nya. Dia Maha Mendengar dan Melihat. Kehidupan apa pun tidak ada yang mengalahkan-Nya. Dia Dzat Yang Maha Tahu dan Kuasa“.
Allah Azza wa Jalla, ada sebagaimana awalnya , sebagaimana akhirnya, sebagaimana sebelum diciptakan ‘Arsy, sebagaimana sebelum diciptakan langit, sebagaimana sebelum diciptakan ciptaanNya. Dia tidak berubah, tidak berpindah, tidak berbentuk, tidak berbatas, tidak ada yang menyerupaiNya. Dia dekat tidak bersentuh dan Dia jauh tidak berjarak maupun tidak berarah.
Imam Syafi’i ~rahimahullah menjelaskan,
إنه تعالى كان ولا مكان فخلق المكان وهو على صفة الأزلية كما كان قبل خلقه المكان ولا يجوز عليه التغير في ذاته ولا التبديل في صفاته (إتحاف السادة المتقين بشرح إحياء علوم الدين, ج 2، ص 24)
Sesungguhnya Allah ada tanpa permulaan dan tanpa tempat. Kemudian Dia menciptakan tempat, dan Dia tetap dengan sifat-sifat-Nya yang Azali sebelum Dia menciptakan tempat tanpa tempat. Tidak boleh bagi-Nya berubah (berpindah), baik pada Dzat maupun pada sifat-sifat-Nya
Dalam kitab al-Washiyyah, Al-Imam Abu Hanifah menuliskan:
وَنُقِرّ بِأنّ اللهَ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَلَى العَرْشِ اسْتَوَى مِنْ غَيْرِ أنْ يَكُوْنَ لَهُ حَاجَةٌ إليْهِ وَاسْتِقْرَارٌ عَلَيْهِ، وَهُوَ حَافِظُ العَرْشِ وَغَيْرِ العَرْشِ مِنْ غَبْرِ احْتِيَاجٍ، فَلَوْ كَانَ مُحْتَاجًا لَمَا قَدَرَ عَلَى إيْجَادِ العَالَمِ وَتَدْبِيْرِهِ كَالْمَخْلُوقِيْنَ، وَلَوْ كَانَ مُحْتَاجًا إلَى الجُلُوْسِ وَالقَرَارِ فَقَبْلَ خَلْقِ العَرْشِ أيْنَ كَانَ الله، تَعَالَى اللهُ عَنْ ذَلِكَ عُلُوّا كَبِيْرًا.
Kita menetapkan sifat Istiwa bagi Allah pada arsy, bukan dalam pengertian Dia membutuhkan kepada arsy tersebut, juga bukan dalam pengertian bahwa Dia bertempat atau bersemayam di arsy. Allah yang memelihara arsy dan memelihara selain arsy, maka Dia tidak membutuhkan kepada makhluk-makhluk-Nya tersebut. Karena jika Allah membutuhkan kapada makhluk-Nya maka berarti Dia tidak mampu untuk menciptakan alam ini dan mengaturnya. Dan jika Dia tidak mampu atau lemah maka berarti sama dengan makhluk-Nya sendiri. Dengan demikian jika Allah membutuhkan untuk duduk atau bertempat di atas arsy, lalu sebelum menciptakan arsy dimanakah Ia? (Artinya, jika sebelum menciptakan arsy Dia tanpa tempat, dan setelah menciptakan arsy Dia berada di atasnya, berarti Dia berubah, sementara perubahan adalah tanda makhluk). Allah maha suci dari pada itu semua dengan kesucian yang agung
Dalam al-Fiqh al-Absath, al-Imam Abu Hanifah menuliskan:
قُلْتُ: أرَأيْتَ لَوْ قِيْلَ أيْنَ اللهُ؟ يُقَالُ لَهُ: كَانَ اللهُ تَعَالَى وَلاَ مَكَانَ قَبْلَ أنْ يَخْلُقَ الْخَلْقَ، وَكَانَ اللهُ تَعَالَى وَلَمْ يَكُنْ أيْن وَلاَ خَلْقٌ وَلاَ شَىءٌ، وَهُوَ خَالِقُ كُلّ شَىءٍ.
Aku katakan: Tahukah engkau jika ada orang berkata: Di manakah Allah? Jawab: Dia Allah ada tanpa permulaan dan tanpa tempat, Dia ada sebelum segala makhluk-Nya ada. Allah ada tanpa permulaan sebelum ada tempat, sebelum ada makhluk dan sebelum segala suatu apapun. Dan Dia adalah Pencipta segala sesuatu
Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda dalam doanya:
اللهم أنت الاول فليس قبلك شئ وأنت الآخر فليس بعدك شئ وأنت الظاهر فليس فوقك شئ وأنت الباطن فليس دونك شئ اقض عنا الدين واغننا من الفقر .
Ya Allah, Engkaulah Dzat Yang Maha Awal, maka tiada sesuatu sebelum-Mu. Engkaulah Dzat Yang Maha Akhir , maka tiada sesuatu setelah-Mu. Engkau lah Dzat Yang Maha Dzahir maka tiada sesuatu di atas-Mu dan Engkau lah Dzat yang Maha Bathin maka tiada sesuatu di bawah-Mu. Ya Allah lunasilah hutangku dan kayakan aku dari kefakiran.” (HR Muslim,Shahih Muslim,4/2084) atau (Syarah Muslim,17/36)
Imam Syafi’i ~ rahimahullah juga menjelaskan bahwa “jika Allah bertempat di atas ‘Arsy maka pasti memiliki arah bawah, dan bila demikian maka mesti akan memiliki bentuk tubuh dan batasan, dan sesuatu yang memiliki batasan mestilah ia merupakan makhluk, Allah Maha Suci dari pada itu semua.
ال الشيخ ابن حجر الهيتمي ناقلا المسائل التي خالف فيها ابن تيميه اجماع المسلمين ما نصه : وان العالم قديم بالنوع ولم يزل مع الله مخلوقا دائما فجعله موجبا بالذات لا فاعلا بالاختيارتعالى الله عن ذالك, وقوله بالجسمبة والجهة والانتقال و انه بقدر العرش لااصغر ولا اكبر , تعالى الله عن هذا الافتراء الشنيع القبيخ والكفر البراح الصريح. (الفتاوى الحديثية ص: ١١٦
Syaikh Ibnu Hajar Al-Haitamy berkata dengan menukil permasalahan-permasalahan Ibnu Taimiyyah yang menyalahi kesepakatan umat Islam, yaitu : (Ibnu Taimiyyah telah berpendapat) bahwa  alam itu bersifat dahulu dengan satu macam, dan selalu makhluk bersama Allah. Ia telah menyandarkan alam dengan Dzat Allah Swt bukan dengan perbuatan Allah secara ikhtiar, sungguh Maha Luhur Allah dari penyifatan yang demikian itu. Ibnu Taimiyyah juga berkeyakinan adanya jisim pada Allah Swt, arah dan perpindahan. Ia juga berkeyakinan bahwa Allah tidak lebih kecil dan tidak lebih besar dari Arsy. Sungguh Allah maha Suci atas kedustaan keji dan buruk ini serta kekufuran yang nyata “. (Al-Fatawa Al-Haditsiyyah : 116)
وقال ايضا ما نصه : واياك ان تصغي الى ما في كتب ابن تيمية وتلميذه ابن القيم الجوزية وغيرهما ممن اتخذ الهه هواه واضله الله على علم و ختم على سمعه وقلبه وجعل على بصره غشاوة فمن يهديه من بعدالله. و كيف تجاوز هؤلاء الملحدون الحدود و تعدواالرسوم وخرقوا سياج الشربعة والحقيقة فظنوا بذالك انهم على هدى من ربهم وليسوا كذالك. (الفتاوى الحديثية ص:۲۰۳
Beliau (Syaikh Ibnu Hajar) juga berkata “ Maka berhati-hatilah kamu, jangan kamu dengarkan apa yang ditulis oleh Ibnu Taimiyyah dan muridnya Ibnul Qoyyim Al-Jauziyyah dan selain keduanya dari orang-orang yang telah menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah telah menyesatkannya dari ilmu serta menutup telinga dan hatinya dan menjdaikan penghalang atas pandangannya. Maka siapakah yang mampu member petunjuk atas orang yang telah Allah jauhkan ?. Bagaimana orang-orang sesat itu telah melampai batasan-batasan syare’at dan aturan, dan mereka pun juga telah merobek pakaian syare’at dan hakikat, mereka masih menyangka bahwa mereka di atas petunjuk dari Tuhan mereka, padahal sungguh tidaklah demikian “. (Al-Fatawa Al-Haditsiyyah : 203)
Sekarang marilah kita simak penuturan seorang ulama yang sezaman dengan Ibnu Taimiyyah yaitu Ibnu Syakir Al-Kutuby dalam salah satu kitab tarikhnya juz 20 yang telah diabadikan oleh seorang ulama besar dari kalangan Ahlus sunnah yang terkenal di seluruh penjuru dunia yaitu Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Astqolani dalam kitabnya “ Ad-Duroru Al-Kaaminah “ dan beliau juga penyarah kitab Shohih Bukhori yang dinamakan Fathu Al-Bari.  ***** awal kutipan *****
Sidang Pertama : “Di tahun 705 di hari ke delapan bulan Rajab, Ibnu Taimiyyah disidang dalam satu majlis persidangan yang dihadiri oleh para penguasa dan para ulama ahli fiqih di hadapan wakil sulthon. Maka Ibnu Taimiyyah ditanya tentang aqidahnya, lalu ia mengutarakan sedikit dari aqidahnya. Kemudian dihadirkan kitab aqidahnya Al-Wasithiyyah dan dibacakan dalam persidangan, maka terjadilah pembahasan yang banyak dan masih ada sisa pembahasan yang ditunda untuk sidang berikutnya.
Dan di tahun 707 hari ke-6 bulan Rabi’ul Awwal hari kamis, Ibnu Taimiyyah menyatakan taubatnya dari akidah dan ajaran sesatnya di hadapan para ulama Ahlus sunnah wal jama’ah dari kalangan empat madzhab, bahkan ia membuat perjanjian kepada para ulama dan hakim dengan tertulis dan tanda tangan untuk tidak kembali ke ajaran sesatnya, namun setelah itu ia pun masih sering membuat fatwa-fatwa nyeleneh dan mengkhianati surat perjanjiannya hingga akhirnya ia mondar-mandir masuk penjara dan wafat di penjara sebagaimana nanti akan diutarakan ucapan dari para ulama.
Berikut ini pernyataan Ibnu taimiyyah tentang pertaubatannya :
الحمد الله، الذي أعتقده أن في القرءان معنى قائم بذات الله وهو صفة من صفات ذاته القديمة الأزلية وهو غير مخلوق، وليس بحرف ولا صوت، وليس هو حالا في مخلوق أصلا ولا ورق ولا حبر ولا غير ذلك، والذي أعتقده في قوله: ? الرحمن على آلعرش آستوى ? [سورة طه] أنه على ما قال الجماعة الحاضرون وليس على حقيقته وظاهره، ولا أعلم كنه المراد به، بل لا يعلم ذلك إلا الله، والقول في النزول كالقول في الاستواء أقول فيه ما أقول فيه لا أعرف كنه المراد به بل لا يعلم ذلك إلا الله، وليس على حقيقته وظاهره كما قال الجماعة الحاضرون، وكل ما يخالف هذا الاعتقاد فهو باطل، وكل ما في خطي أو لفظي مما يخالف ذلك فهو باطل، وكل ما في ذلك مما فيه إضلال الخلق أو نسبة ما لا يليق بالله إليه فأنا بريء منه فقد تبرأت منه وتائب إلى الله من كل ما يخالفه وكل ما كتبته وقلته في هذه الورقة فأنا مختار فى ذلك غير مكره. كتبه أحمد بن تيمية) وذلك يوم الخميس سادس شهر ربيع الآخر سنة سبع وسبعمائة
“ Segala puji bagi Allah yang aku yakini bahwa di dalam Al-Quran memiliki makna yang berdiri dengan Dzat Allah Swt yaitu sifat dari sifat-sifat Dzat Allah Swt yang maha dahulu lagi maha azali dan al-Quran bukanlah makhluq, bukan berupa huruf dan suara, bukan suatu keadaan bagi makhluk sama sekali dan juga bukan berupa kertas dan tinta dan bukan yang lainnya. Dan aku meyakini bahwa firman Allah Swt “ الرحمن على آلعرش آستوى adalah apa yang telah dikatakan oleh para jama’ah (ulama) yang hadir ini dan bukanlah istawa itu secara hakekat dan dhohirnya, dan aku pun tidak mengetahui arti dan maksud yang sesungguhnya kecuali Allah Swt, bukan istawa secara hakekat dan dhohir seperti yang dinyatakan oleh jama’ah yang hadir ini. Semua yang bertentangan dengan akidah ini adalah batil. Dan semua apa yang ada dalam tulisanku dan ucapanku yang bertentangan dari semua itu adalah batil. Semua apa yang telah aku tulis dan ucapkan sebelumnya adalah suatu penyesatan kepada umat atau penisbatan sesuatu yang tidak layak bagi Allah Swt, maka aku berlepas diri dan menjauhkan diri dari semua itu. Aku bertaubat kepada Allah dari ajaran yang menyalahi-Nya. Dan semua yang aku dan aku ucapkan di kertas ini maka aku dengan suka rela tanpa adanya paksaan “ Telah menulisnya : (Ahmad Ibnu Taimiyyah) Kamis, 6-Rabiul Awwal-707 H.
Di atas surat pernyaan itu telah ditanda tangani di bagian atasnya oleh Ketua hakim, Badruddin bin jama’ah. Pernyataan ini telah disaksikan, diakui dan ditanda tangani oleh : – Muhammad bin Ibrahim Asy-Syafi’i, beliau menyatakan : اعترف عندي بكل ما كتبه بخطه في التاريخ المذكور (Aku mengakui segala apa yang telah dinyatakan oleh Ibnu Taimiyyah ditanggal tersebut) – Abdul Ghoni bin Muhammad Al-Hanbali : اعترف بكل ما كتب بخطه (Aku mengakui apa yang telah dinyatakannya) – Ahmad bin Rif’ah – Abdul Aziz An-Namrowi : أقر بذلك (Aku mengakuinya) – Ali bin Miuhammad bin Khoththob Al-Baji Asy-Syafi’I : أقر بذلك كله بتاريخه (Aku mengakui itu dengan tanggalnya) – Hasan bin Ahmad bin Muhammad Al-Husaini : جرى ذلك بحضوري في تاريخه (Ini terjadi di hadapanku dengan tanggalnya) – Abdullah bin jama’ah (Aku mengakuinya) – Muhammad bin Utsman Al-Barbajubi : أقز بذلك وكتبه بحضوري (Aku mengakuinya dan menulisnya dihadapanku).
Mereka semua adalah para ulama besar di masa itu salah satunya adalah syaikh Ibnu Rif’ah yang telah mengarang kitab Al-Matlabu Al-‘Aali “ syarah dari kitab Al-Wasith imam Ghozali sebanyak 40 jilid.
Namun faktanya Ibnu Taimiyah tidak lama melanggar perjanjian tersebut dan kembali lagi dengan ajaran-ajaran menyimpangnya. Sampai-sampai dikatakan oleh seorang ulama :
 لكن لم تمض مدة على ذلك حتى نقض ابن تيمية عهوده ومواثيقه كما هو عادة أئمة الضلال ورجع إلى عادته القديمة في الإضلال.
“ Akan tetapi tidak lama setelah itu Ibnu Taimiyyah melanggar perjanjian dan pernyataannya itu sebegaimana kebiasaan para imam sesat dan ia kembali pada kebiasaan lamanya di dalam menyesatkan umat
Sidang kedua : Diadakan hari jum’ah hari ke-12 dari bulan Rajab. Ikut hadir saat itu seorang ulama besar Shofiyuddin Al-Hindiy. Maka mulailah pembahasan, mereka mewakilkan kepada syaikh Kamaluddin Az-Zamalkani dan akhirnya beliau memenangkan diskusi itu, beliau telah membungkam habis Ibnu Taimiyyah dalam persidangan tersebut. Ibnu Taimiyyah merasa khawatir atas dirinya, maka ia member kesaksian pada orang-orang yang hadir bahwa ia mengaku bermadzhab Syafi’I dan beraqidah dengan aqidah imam Syafi’i. Maka orang-orang ridho dengannya dan mereka pun pulang.
Sidang ketiga : Sebelumnya Ibnu Taimiyyah mengaku bermadzhab Syafi’I, namun pada kenyataannya ia masih membuat ulah dengan fatwa-fatwa yang aneh-aneh sehingga banyak mempengaruhi orang lain. Maka pada akhir bulan Rajab, para ulama ahli fiqih dan para qodhi berkumpul di satu persidangan yang dihadiri wakil shulthon saat itu. Maka mereka semua saling membahas tentang permasalahan aqidah dan berjalanlah persidangan sbgaiamana persidangan yang pertama. Setelah beberapa hari datanglah surat dari sulthon untuk berangkat bersama seorang utusan dari Mesir dengan permintaan ketua qodhi Najmuddin.
Di antara isi surat tersebut berbunyi “ Kalian mengetahui apa yang terjadi di tahun 98 tentang aqidah Ibnu Taimiyyah “. Maka mereka bertanya kepada orang-orang tentang apa yang terjadi pada Ibnu Taimiyyah. Maka orang-orang mendatangkan aqidah Ibnu Taimiyyah kepada qodhi Jalaluddin Al-Quzwaini yang pernah dihadapkan kepada ketua qodhi imamuddin. Maka mereka membincangkan masalah ini kepada Raja supaya mengirim surat untuk masalah ini dan raja pun mnyetujuinya. Kemudian setelah itu Raja memerintahkan syamsuddin Muhammad Al-Muhamadar Ibnu untuk mendatangi Ibnu Taimiyyah dan ia pun berkata kepada Ibnu Taimiyyah “ Raja telah memerintahkanmu untuk pergi esok hari. Maka Ibnu Taimiyyah berangkat ditemani oleh dua Abdullah dan Abdurrahman serta beberapa jama’ahnya.
Siding keempat : Maka pada hari ketujuh bulan Syawwal sampailah Ibnu Taimiyyah ke Mesir dan diadakan satu persidangan berikutnya di benteng Kairo di hadapan para qodhi dan para ulama ahli fiqih dari empat madzhab. Kemudian syaikh Syamsuddin bin Adnan Asy-Syafi’I berbicara dan menyebutkan tentang beberapa fasal dari aqidah Ibnu Taimiyyah. Maka Ibnu Taimiyyah memulai pembicaraan dengan pujian kepada Allah Swt dan berbicara dengan pembicaraan yang mengarah pada nasehat bukan pengklarifikasian. Maka dijawab “ Wahai syaikh, apa yang kau bicarakan kami telah mengetahuinya dan kami tidak ada hajat atas nasehatmu, kami telah menampilkan pertanyaan padamu maka jawablah ! “. Ibnu Taimiiyah hendak mengulangi pujian kepada Allah, tapi para ulama menyetopnya dan berkata “ Jawablah wahai syaikh “. Maka Ibnu Taimiyyah terdiam “. Dan para ulama mengulangi pertanyaan berulang-ulang kali tapi Ibnu Taimiyyah selalu berbeli-belit dalam berbicara. Maka seorang qodhi yang bermadzhab Maliki memerintahkannya untuk memenjarakan Ibnu Taimiyyah di satu ruangan yang ada di benteng tersebut bersama dua saudaranya yang ikut bersamanya itu. Begitu lamanya ia menetap di penjara dalam benteng tersebut hingga ia wafat dalam penjara pada malam hari tanggal 22, Dzulqo’dah tahun 728 H.
**** akhir kutipan *****
Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830

Pos terkait