1410. MAKALAH : Perselisihan tentang bid’ah

Sebenarnya perselisihan karena perbedaan pemahaman tentang bi’dah sudah  dapat diakhiri.

Bacaan Lainnya
Untuk menghindari terjadinya perselisihan, hendaklah dalam memahami Al Qur’an dan Hadits atau berpendapat atau berfatwa berdasarkan ilmu.
Dari Ibnu Abbas ra Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda…”Barangsiapa yg berkata mengenai Al-Qur’an tanpa ilmu maka ia menyediakan tempatnya sendiri di dalam neraka” (HR.Tirmidzi)
Baik ilmu untuk memahami Al Qur’an dan Hadits maupun sanad ilmu yang tersambung kepada lisannya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
Imam Syafi’i ~rahimahullah mengatakantiada ilmu tanpa sanad”.
Imam Malik ra berkata: “Janganlah engkau membawa ilmu (yang kau pelajari) dari orang yang tidak engkau ketahui catatan (riwayat) pendidikannya (sanad ilmu)
Al-Hafidh Imam Attsauri ~rahimullah mengatakanPenuntut ilmu tanpa sanad adalah bagaikan orang yang ingin naik ke atap rumah tanpa tangga
Bahkan Al-Imam Abu Yazid Al-Bustamiy , quddisa sirruh (Makna tafsir QS.Al-Kahfi 60) ; “Barangsiapa tidak memiliki susunan guru dalam bimbingan agamanya, tidak ragu lagi niscaya gurunya syetan” Tafsir Ruhul-Bayan Juz 5 hal. 203
Ibnul Mubarak berkata :”Sanad merupakan bagian dari agama, kalaulah bukan karena sanad, maka pasti akan bisa berkata siapa saja yang mau dengan apa saja yang diinginkannya (dengan akal pikirannya sendiri).” (Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Muqoddimah kitab Shahihnya 1/47 no:32 )
Asy-Syeikh as-Sayyid Yusuf Bakhour al-Hasani menyampaikan bahwa “maksud dari pengijazahan sanad itu adalah agar kamu menghafazh bukan sekadar untuk meriwayatkan tetapi juga untuk meneladani orang yang kamu mengambil sanad daripadanya, dan orang yang kamu ambil sanadnya itu juga meneladani orang yang di atas di mana dia mengambil sanad daripadanya dan begitulah seterusnya hingga berujung kepada kamu meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dengan demikian, keterjagaan al-Qur’an itu benar-benar sempurna baik secara lafazh, makna dan pengamalan
Pada hakikatnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tentu tidak pernah mengatakan bahwa “seluruh bid’ah adalah sesat”. Beliau mengatakanKullu Bid’ah dlalalah” sedangkan berdasarkan ilmu atau  secara tata bahasa sudah dapat dipahami dengan mudah seperti apa yang disampaikan oleh ulama yang sanad ilmunya tersambung kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam seperti Al-Imam an-Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim menuliskan: “Sabda Rasulullah “Kullu Bid’ah dlalalah” ini adalah ‘Amm Makhshush; artinya, lafazh umum yang telah dikhususkan kepada sebagian maknanya. Jadi yang dimaksud adalah bahwa sebagian besar bid’ah itu sesat (bukan mutlak semua bid’ah itu sesat)” (al-Minhaj Bi Syarah Shahih Muslim ibn al-Hajjaj, j. 6, hlm. 154)
Hadits “Kullu Bid’ah dlalalah” berdasarkan ilmu yakni menurut tata bahasanya ialah ‘Amm Makhshush, artinya “makna bid’ah lebih luas dari makna sesat” sehingga “setiap sesat adalah bid’ah akan tetapi tidak setiap bid’ah adalah sesat”.
Jadi hadits “Kullu Bid’ah dlalalah” adalah bersifat umum dan diperlukan hadits yang lain untuk menjelaskan apa yang  dimaksud atau termasuk bid’ah (perkara baru) yang sesat seperti
Telah menceritakan kepada kami Ya’qub telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Sa’ad dari bapaknya dari Al Qasim bin Muhammad dari ‘Aisyah radliallahu ‘anha berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Siapa yang membuat perkara baru dalam urusan kami ini yang tidak ada perintahnya maka perkara itu tertolak“. Diriwayatkan pula oleh ‘Abdullah bin Ja’far Al Makhramiy dan ‘Abdul Wahid bin Abu ‘Aun dari Sa’ad bin Ibrahim (HR Bukhari 2499)
Apakah yang dimaksud perkara baru dalam urusan kami atau pada hadits yang lain disebut perkara baru dalam urusan agama ?
Dari Ibnu ‘Abbas r.a. berkata Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “sesungguhnya agama itu dari Tuhan, perintah-Nya dan larangan-Nya.” (Hadits riwayat Ath-Thabarani)
Urusan kami atau urusan agama atau perkara syariat adalah segala perkara yang telah ditetapkan oleh Allah Azza wa Jalla yang harus dipenuhi manusia sebagai syarat untuk menjadi hamba Allah yakni meliputi menjalankan kewajibanNya yang jika ditinggalkan berdosa dan menjauhi laranganNya dan apa yang telah diharamkanNya yang jika dilanggar/dikerjakan berdosa
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban (ditinggalkan berdosa), maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa larangan (dikerjakan berdosa)), maka jangan kamu langgar dia; dan Allah telah mengharamkan sesuatu (dikerjakan berdosa), maka jangan kamu pertengkarkan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu perbincangkan dia.” (Riwayat Daraquthni, dihasankan oleh an-Nawawi)
Perkara baru dalam urusan kami adalah
1. Mengada ada dalam perkara larangan dan pengharaman (perbuatan yang jika dilanggar / dikerjakan berdosa)
2. Mengada ada dalam perkara kewajiban (perbuatan yang jika ditinggalkan berdosa)
3, Mengada ada atau mencontohkan perbuatan yang bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits. Segala perbuatan yang bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits adalah berdosa
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mencontohkan meninggalkan sholat tarawih berjama’ah dalam beberapa malam agar kita tidak berkeyakinan bahwa sholawat tarawih berjama’ah sepanjang bulan Ramadhan adalah kewajiban yang jika ditinggalkan berdosa.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Aku khawatir bila shalat malam (tarawih berjam’ah)  itu ditetapkan sebagai kewajiban atas kalian.” (HR Bukhari 687).
Intinya segala perkara yang berhubungan dengan dosa hanya ditetapkan oleh Allah Azza wa Jalla
Jadi jika ada yang  membuat perkara baru atau mengada-ada (bid’ah) yang kaitannya dengan dosa baik dosa karena ditinggalkan (perkara kewajiban) atau dosa karena dikerjakan/dilanggar (perkara larangan dan perkara pengharaman)  atau dosa karena mengada-ada atau mencontohkan perbuatan yang bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits adalah bid’ah dholalah, bid’ah yang menyekutukan Alah.
Jika secara serampangan menetapkan atau berfatwa ini dosa, itu dosa dengan akal pikirannya sendiri tanpa dalil dari Al Qur’an dan Hadits maka dia telah menyekutukan Allah dengan akal pikirannya sendiri.
Firman Allah Azza wa Jalla yang artinya, “Katakanlah! Tuhanku hanya mengharamkan hal-hal yang tidak baik yang timbul daripadanya dan apa yang tersembunyi dan dosa dan durhaka yang tidak benar dan kamu menyekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak turunkan keterangan padanya dan kamu mengatakan atas (nama) Allah dengan sesuatu yang kamu tidak mengetahui.” (QS al-A’raf: 32-33)
Dalam hadits Qudsi , Rasulullah bersabda: “Aku ciptakan hamba-hambaKu ini dengan sikap yang lurus, tetapi kemudian datanglah syaitan kepada mereka. Syaitan ini kemudian membelokkan mereka dari agamanya, dan mengharamkan atas mereka sesuatu yang Aku halalkan kepada mereka, serta mempengaruhi supaya mereka mau menyekutukan Aku dengan sesuatu yang Aku tidak turunkan keterangan padanya.” (Riwayat Muslim)
Allah Azza wa Jalla berfirman,Mereka menjadikan para rahib dan pendeta mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah“. (QS at-Taubah [9]:31 )
Ketika Nabi ditanya terkait dengan ayat ini, “apakah mereka menyembah para rahib dan pendeta sehingga dikatakan menjadikan mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah?”
Nabi menjawab, “tidak”, “Mereka tidak menyembah para rahib dan pendeta itu, tetapi jika para rahib dan pendeta itu menghalalkan sesuatu bagi mereka, mereka menganggapnya halal, dan jika para rahib dan pendeta itu mengharamkan bagi mereka sesuatu, mereka mengharamkannya
Pada riwayat yang lain disebutkan, Rasulullah bersabda ”mereka (para rahib dan pendeta) itu telah menetapkan haram terhadap sesuatu yang halal, dan menghalalkan sesuatu yang haram, kemudian mereka mengikutinya. Yang demikian itulah penyembahannya kepada mereka.” (Riwayat Tarmizi)
Firman Allah ta’ala yang artinya,
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu dan janganlah kamu melampaui batas, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang melampaui batas.” (Qs. al-Mâ’idah [5]: 87).
Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “Ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung” [QS. An-Nahl : 116].
Kesimpulannya bid’ah yang akan berakibat bertempat di neraka adalah bid’ah yang menyekutukan Allah.  Allah Azza wa Jalla menutup taubat ahli bid’ah karena menyekutukan Allah hingga mereka meninggalkan bid’ahnya
Dari Anas r.a. berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah bersabda : “Sesungguhnya Allah menutup taubat dari tiap-tiap orang dari ahli bid’ah sehingga ia meninggalkan bid’ahnya.” (H. R. Thabrani)
Sedangkan bid’ah (perkara baru) atau mencontohkan (meneladani) perbuatan di luar perkara syariat atau di luar apa yang telah disyariatkanNya atau di luar apa yang telah diwajibkanNya selama tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits adalah bid’ah hasanah (mahmudah) atau sunnah hasanah (contoh/teladan yang baik). Bagi siapa yang mencontohkan atau meneladani sunnah hasanah (contoh/teladan/perkara baru yang baik) maka ia akan mendapatkan pahalanya dan pahala orang-orang yang mengamalkan contoh/teladan/perkara baru tersebut setelahnya tanpa mengurangi pahala-pahala mereka sedikitpun.
Kebalikannya sebagaimana yang disampaikan dalam point 3 di atas,  bid’ah (perkara baru) atau mencontohkan (meneladani) perbuatan di luar perkara syariat atau di luar apa yang telah disyariatkanNya atau di luar apa yang telah diwajibkanNya dan bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits adalah bid’ah dholalah atau sunnah sayyiah (contoh/teladan yang buruk). Bagi siapa yang mencontohkan atau meneladani sunnah sayyiah (contoh/teladan/perkara baru yang buruk)  maka ia akan mendapatkan dosanya dan dosa orang-orang yang mengamalkan contoh/teladan/perkara baru tersebut setelahnya tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun.
Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam,
مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْءٌ. ومَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ
Siapa yang melakukan dalam Islam satu sunnah hasanah (contoh/teladan/perkara baru yang baik) maka ia mendapatkan pahalanya dan pahala orang-orang yang mengamalkan sunnah (contoh/teladan/perkara baru) tersebut setelahnya tanpa mengurangi pahala-pahala mereka sedikitpun. Dan siapa yang melakukan  dalam Islam satu sunnah sayyiah (contoh/teladan/perkara baru yang buruk),  maka ia mendapatkan dosanya dan dosa orang-orang yang mengamalkan sunnah (contoh/teladan/perkara baru) tersebut setelahnya tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun.” (Shahih Muslim no. 2348, 6741, Sunan An-Nasa‘i no.2554, Sunan At-Tirmidzi no. 2675, Sunan Ibnu Majah no. 203)
Dalam Syarhu Sunan Ibnu Majah lil Imam As Sindi 1/90 menjelaskan bahwa “Yang membedakan antara sunnah hasanah (contoh/teladan/perkara baru yang baik)  dengan sayyiah (contoh/teladan/perkara baru yang buruk)  adalah adanya kesesuaian dengan pokok-pokok syar’i atau tidak”.
Sunnah hasanah (contoh/teladan/perkara baru yang baik) adalah contoh/teladan/perkara baru yang tidak bertentangan dengan pokok-pokok syar’i (tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah)
Sunnah sayyiah (contoh/teladan/perkara baru yang buruk) adalah contoh/teladan/perkara baru yang bertentangan dengan pokok-pokok syar’i (bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah).
Imam Mazhab yang empat yang bertalaqqi (mengaji) dengan Salaf Sholeh, contohnya Imam Syafi’i ~rahimahullah menyampaikan
قاَلَ الشّاَفِعِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ -ماَ أَحْدَثَ وَخاَلَفَ كِتاَباً أَوْ سُنَّةً أَوْ إِجْمَاعاً أَوْ أَثَرًا فَهُوَ البِدْعَةُ الضاَلَةُ ، وَماَ أَحْدَثَ مِنَ الخَيْرِ وَلَمْ يُخاَلِفُ شَيْئاً مِنْ ذَلِكَ فَهُوَ البِدْعَةُ المَحْمُوْدَةُ -(حاشية إعانة 313 ص 1الطالبين -ج )
Artinya ; Imam Syafi’i ra berkata –Segala hal yang baru (tidak terdapat di masa Rasulullah) dan menyalahi pedoman Al-Qur’an, Al-Hadits, Ijma’ (sepakat Ulama) dan Atsar (Pernyataan sahabat) adalah bid’ah yang sesat (bid’ah dholalah). Dan segala kebaikan yang baru (tidak terdapat di masa Rasulullah) dan tidak menyelahi pedoman tersebut maka ia adalah bid’ah yang terpuji (bid’ah mahmudah atau bid’ah hasanah), bernilai pahala. (Hasyiah Ianathuth-Thalibin –Juz 1 hal. 313)
Sehingga kita dapat memahami apa yang disampaikan oleh Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhumaa atau perkataan salaf yang sholeh yang sejenis bahwa,
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ ، وَإِنْ رَآهَا النَّاسُ حَسَنَةً
Artinya adalah
sebagian besar perkara baru (bid’ah) adalah sesat walaupun manusia menganggapnya baik
Jadi baik atau buruk suatu perkara baru tidak boleh berdasarkan anggapan manusia atau berdasarkan akal pikiran manusia namun berdasarkan Al Qur’an dan  Hadits.
Jika tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits adalah contoh/teladan/perkara baru yang baik atau sunnah hasanah  atau bid’ah hasanah (mahmudah)
Jika bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits adalah contoh/teladan/perkara baru yang buruk atau sunnah sayyiah  atau bid’ah dholalah.
Begitupula para Imam Mazhab (Imam Mujtahid Mutlak)  dalam beristinbat, menetapkan hukum perkara suatu ibadah kedalam hukum taklifi yang lima (haram, makruh, wajib, sunnah, dan mubah) menghindari al-Maslahah al-Mursalah atau al-Istislah  yakni “Menetapkan hukum suatu masalah yang tak ada nash-nya atau tidak ada ijma’ terhadapnya, dengan berdasarkan pada kemaslahatan semata (yang oleh syara’  (dalam Al Qur’an dan As Sunnah) tidak dijelaskan ataupun dilarang
Menurut Imam Syafi’i  ra cara-cara penetapan hukum seperti  itu sekali-kali bukan dalil syar’i. Beliau menganggap orang yang menggunakannya  sama dengan menetapkan syari’at berdasarkan hawa nafsu atau berdasarkan pendapat sendiri (akal pikiran sendiri) yang mungkin benar dan mungkin pula salah.
Ibnu Hazm termasuk salah seorang ulama yang menolak cara-cara penetapan hukum seperti  itu Beliau menganggap bahwa cara penetapan seperti  itu menganggap baik terhadap sesuatu atau kemashlahatan menurut hawa nafsunya (akal pikiran sendiri), dan itu bisa benar dan bisa pula salah, misalnya mengharamkan sesuatu tanpa dalil.
Jelaslah bahwa perkara yang harus sesuai dengan apa yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adalah perkara syariat atau perkara yang telah disyariatkanNya atau perkara yang telah diwajibkanNya yakni wajib dijalankan dan wajib dijauhi meliputi menjalankan perkara kewajiban (jika ditinggalkan berdosa), menjauhi apa yang telah dilarangNya (jika dilanggar/dikerjakan berdosa) dan menjauhi apa yang telah diharamkanNya (jika dilanggar/dikerjakan berdosa). Allah ta’ala tidak lupa dan seluruhnya sudah disampaikan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Tidak tertinggal sedikitpun yang mendekatkan kamu dari surga dan menjauhkanmu dari neraka melainkan telah dijelaskan bagimu ” (HR Ath Thabraani dalam Al Mu’jamul Kabiir no. 1647)
“mendekatkan dari surga” = perkara kewajiban (ditinggalkan berdosa)
“menjauhkan dari neraka” = perkara larangan dan perkara pengharaman (dikerjakan berdosa)
Sedangkan segelintir ulama berpendapat bahwa pengertian bid’ah menurut istilah adalah “suatu amalan yang dilakukan dengan maksud mendekatkan diri kepada Allah yang tidak ada sumbernya  dari Al-Qur’an maupun Hadits”  adalah sebuah kesalahpahaman karena yang harus ada sumbernya dari Al-Quran dan Hadits adalah perkara syariat atau segala perkara yang telah disyariatkanNya atau diwajibkanNya, wajib dijalankan dan wajib dijauhi, meliputi menjalankan perkara kewajiban yang jika ditinggalkan berdosa,  menjauhi apa yang telah dilarangNya dan apa yang telah diharamkanNya yang jika dilanggar/dikerjakan berdosa. 
Sedangkan amalan yang ditujukan untuk mendekatkan diri kepada Allah atau amal kebaikan , boleh terjadi perkara baru selama tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits.
Contoh amal kebaikan yang tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits serta di luar perkara syariat adalah Maulid Nabi, Sholawat Nariyah, Sholawat Badar, Barzanji, Qashidah Burdah, Ratib Al Haddad dan lain lain
Dalam sebuah hadit qudsi, Rasulullah bersabda “Allah berfirman, hamba-Ku tidak bisa mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada yang telah Aku wajibkan (perkara syariat), jika hamba-Ku terus menerus mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan kebaikan maka Aku mencintai dia” (HR Bukhari 6021)
Bahkan kita diperintahkan untuk mencari jalan (washilah) untuk mendekatkan diri kepada Allah Azza wa Jalla.
Firman Allah ta’ala yang artinya
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan (washilah) yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan” (QS Al Maa’idah [5]: 35)
Syaikh  Abu Al Hasan Asy-Syadzili,   ”Jika pendapat atau temuanmu bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadits, maka tetaplah berpegang dengan hal-hal yang ada pada Al-Qur’an dan Hadits. Dengan demikian engkau tidak akan menerima resiko dalam penemuanmu, sebab dalam masalah seperti itu tidak ada ilham atau musyahadah, kecuali setelah bersesuaian dengan Al-Qur’an dan Hadits
Ilham yang telah dihujamkan oleh Allah Azza wa Jalla kedalam jiwa (qalbu) setiap manusia sehingga selalu mengingat Allah (dzikrullah) dengan memilih yang haq, yang tidak bertentangan denga n Al Qur’an dan Hadits
Firman Allah ta’ala yang artinya,
maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya” (QS As Syams [91]:8 )
Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan” (pilihan haq atau bathil) (QS Al Balad [90]:10)
Dalam suatu riwayat. ”Qoola Aliyy bin Abi Thalib: “Qultu yaa Rasulullah ayyun thoriiqotin aqrobu ilallahi?”  Faqoola Rasulullahi:  “dzikrullahi”. artinya; “Ali Bin Abi Thalib berkata; “aku bertanya kepada Rasullulah, jalan/metode(Thariqot) apakah yang bisa mendekatkan diri kepada Allah? “Rasullulah menjawab; “dzikrullah
Muslim yang selalu meyakini kehadiranNya, selalu sadar dan mengingat Allah setiap bersikap dan berbuat adalah muslim yang menyaksikan Allah ta’ala dengan hati (ain bashiroh)
Imam Qusyairi mengatakan “Asy-Syahid untuk menunjukkan sesuatu yang hadir dalam hati, yaitu sesuatu yang membuatnya selalu sadar dan ingat, sehingga seakan-akan pemilik hati tersebut senantiasa melihat dan menyaksikan-Nya, sekalipun Dia tidak tampak. Setiap apa yang membuat ingatannya menguasai hati seseorang maka dia adalah seorang syahid (penyaksi)
Munajat Syaikh Ibnu Athoillah,Ya Tuhan, yang berada di balik tirai kemuliaanNya, sehingga tidak dapat dicapai oleh pandangan mata. Ya Tuhan, yang telah menjelma dalam kesempurnaan, keindahan dan keagunganNya, sehingga nyatalah bukti kebesaranNya dalam hati dan perasaan. Ya Tuhan, bagaimana Engkau tersembunyi padahal Engkaulah Dzat Yang Zhahir, dan bagaimana Engkau akan Gaib, padahal Engkaulah Pengawas yang tetap hadir. Dialah Allah yang memberikan petunjuk dan kepadaNya kami mohon pertolongan
Syaikh Abdul Qadir Al-Jilany menyampaikan, “mereka yang sadar diri senantiasa memandang Allah Azza wa Jalla dengan qalbunya, ketika terpadu jadilah keteguhan yang satu yang mengugurkan hijab-hijab antara diri mereka dengan DiriNya. Semua bangunan runtuh tinggal maknanya. Seluruh sendi-sendi putus dan segala milik menjadi lepas, tak ada yang tersisa selain Allah Azza wa Jalla. Tak ada ucapan dan gerak bagi mereka, tak ada kesenangan bagi mereka hingga semua itu jadi benar. Jika sudah benar sempurnalah semua perkara baginya. Pertama yang mereka keluarkan adalah segala perbudakan duniawi kemudian mereka keluarkan segala hal selain Allah Azza wa Jalla secara total dan senantiasa terus demikian dalam menjalani ujian di RumahNya”.
Kesimpulannya:
Bid’ah dholalah adalah bid’ah dalam perkara syariat meliputi bid’ah dalam perkara kewajiban,  larangan dan pengharaman serta bid’ah di luar perkara syariat yang bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits
Bid’ah Hasanah (mahmudah) adalah bid’ah di luar perkara syariat yang tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits
Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830

Pos terkait