Secara bahasa talfiq adalah campur aduk. Sedangkan menurut istilah ulama dalam fan ilmu fiqih dan ushulnya, talfiq merupakan al-Ityanu fi mas alatin wahidatin bikaifiyatin la tuwafiq qaula ahadin minal mujtahidin as-sabiqin yaitu sebuah tindakan atau melakukan sesuatu dalam satu permasalahan dengan sikap (kaifiyah) yang tidak sesuai dengan imam-imam mujtahid yang dahulu.
Seperti seorang mukallaf berwudlu dengan cara Imam Syafi’i, yakni dengan cukup mengusap sebagian kepala, kemudian ia menyentuh perempuan ajnaby (bukan mahrom) dengan beranggapan wudlunya tidak batal karena mengikuti madzhabnya imam Hanafi. Lantas ia melakukan shalat dengan keadaan wudlu seperti itu. Maka shalatnya ini tidaklah sah menurut dua madzhab tersebut. Menurut imam Hanafi, shalatnya tidak sah karena dalam wudlunya tidak mengusap seperempat kepala (rubu’ur rais). Sedangkan menutrut imam Syafi’i tidak mengesahkannya disebabkan ia shalat tidak dalam keadaan berwudlu karena terbatalkan oleh menyentuh perempuan.
Para ulama memasukkan dalam masalah talfiq juga akan sebuah fenomena ihdatsu qaulin jadidin (mencetuskan pendapat yang baru) yang dilakukan oleh orang berkompeten menjadi mujtahid, bermetodekan mengambil dua pendapat ulama yang berbeda, lalu mengahasilkan pendapat yang ketiga. Misalnya ketika terjadi perbedaan pendapat antar mengenai berhak atau tidaknya kakek dan saudara mendapatkan harta waris. Satu qaul menyebutkan bahwa kakek lah yang mendapatkan harta waris sedangkan saudara itu mahjub (terhalangi). Qaul yang kedua menyatakan bahwa kakek dan saudara mendapatkan harta dengan menggabungkan keduanya. Lalu muncul ulama kontemporer yang mengeluarkan pendapat ketiga bahwa kakek tidak bisa mendapatkan harta waris. Pendapat yang sama sekali berbeda dengan dua pendapat sebelumnya.
al-Qadrul Musytaroknya dari pendapat ketiga ini adalah kakek mahjub terhalangi sedangkan saudara/ ikhwahlah yang mendapatkan warisan, maka Ihdatsu qaulin jadid semacam ini adalah bathil karena menafikan salah satu qaul dengan menyebutkan kakek terhijab, padahal di atas tidak ditemukan qaul demikian. Lain halnya jika al-Qadrul Musytarok itu mencakup dua qaul sebelumnya dan tidak menafikannya. Maka Ihdatsu qaulin jadid seperti ini dinilai shahih.
Bagaimanakah definisi talfiq yang masyhur terjadi sekarang ini?
Yang kita pahami sekarang talfiq ialah berprilaku atau beritual dengan menggunakan pendapat dua imam atau lebih.
Talfiq itu sendiri ada dua macam jika ditilik dari segi pelaksanaannya; yaitu dengan tanpa qashdu (tidak sengaja) dan talfiq yang dilakukan dengan qashdu (sengaja)
Untuk talfiq tanpa kesengajaan yang biasanya dilakukan oleh muqallid (orang yang tidak tahu hukum), para ulama mengomentari positif dengan kibaran statement yang membolehkannya. Latar belakang yang mendasarinya, tidak lain karena seorang muqallid itu boleh untuk mengamalkan fatwa muftinya (ulama yang berfatwa). Artinya, ketika misalnya seorang muqallid bertanya tentang wudlu pada seorang mufti dari madzhab Syafi’i, kemudian dia meminta fatwa tentang hal yang membatalkan wudlu pada seorang mufti madzhab Maliki, lantas ia shalat dengan wudlu (madzhab Syafi’i) yang tidak menyeluruh mengusap kepalanya dan ia menyentuh perempuan yang dianggapnya tidak membatalkan (madzhab Maliki), maka hukumnya adalah boleh. Dikarenakan juga, tindakan yang sudah sepatutnya dan wajib dilakukan oleh seorang muqallid adalah bertanya kepada orang ‘alim/ mufti, terlepas fatwa dari muftinya itu berlainan dengan madzhab yang lain atau tidak.
Ada kalanya juga talfiq itu dilakukan dengan sengaja, yang keumuman pelaku adalah seorang yang berkompeten sebagai mujtahid atau seorang muqallid dalam beberapa kasus. Andaikata yang melakukan adalah seorang mujtahid, yang ia perbuat adalah memilah-milah antara pendapat-pendapat ulama sabiqin kemudian memilih pendapat yang dianggapnya sebagai lebih unggul (mentarjih) atau mencampur dua pendapat yang berbeda.
Namun apabila jenis talfiq sengaja ini pelakunya adalah seorang muqallid maka tidaklah diperkenankan. Karena kemungkinan ia akan terjerumus untuk melanggar rambu-rambu nash syariat yang tidak diketahuinya. Dan lagi, perbuatan atau amal yang mengikuti pendapat baru dengan tanpa meminta fatwa atau tanpa melakukan hal yang sepatutnya dilakukan oleh seorang muqallid (bertanya) maka amalnya adalah amal yang berlandaskan hawa nafsu dan syahwat belaka.
Bagaimanakah pandangan Madzahibul Arba’ah Al-Mu’tabaroh mengenai fenomena ini yang mulai merebak setelah abad 7 hijriah sampai 10 hijriah hingga sekarang yang semakin marak?
Pro-kontra talfiq menyisakan 3 kelompok yang secara garis besar merepresentasikan sikap Madzahibul Arba’ah Al-Mu’tabaroh.
Pertama, tidak membolehkan talfiq secara mutlaq. Beberapa ulama pendukungnya adalah imam Ghozali dalam kitab al-Mustasyfa dan Syathibi al-Maliki. Karena dikhawatirkan pula terjadi Tatabu’ur rukhosh (mengambil yang ringan-ringannya saja) Faman tatabba’ar rukhosh faqad tazandaq
Kedua, membolehkan talfiq tapi bi syartin (dengan syarat) pendapat ini didukung oleh sebagian ulama Syafi’iyah sebatas pada masalah-masalah yang telah disepakati oleh mereka. Syarat yang harus terpenuhi agar talfiq itu sah ialah dengan talfiq itu tidak bertentangan dengan nash al-Qur’an, Sunnah dan ijma’ ulama. Serta tidak ada unsur kesengajaan untuk melepas diri dari beban hukum.
Ketika talfiq itu tidak bertentangan dengan ijma’ sunnah dan Qur’an maka dan tidak ada upaya dari mukallaf untuk melepaskan diri dari hukum maka boleh-boleh saja talfiq dilakukan. Sebagian ulama mendlobitkan (membatasi) boleh atau tidaknya talfiq dengan setiap perkara yang merusak pada sendi-sendi aturan syariat sehingga tidak jelas, yang pada akhirnya orang tersebut lari dari beban hukum. Logikanya jika masih dalam koridor aman dari deskripsi tadi maka sah-sah aja. Namun bila sudah dipastikan imbas dari talfiq itu menerjang dengan deskripsi ini maka talfiq itu mamnu’
Ketiga, membolehkan tanpa ada syarat. Ini yang dikemukan oleh sebagian Syafi’iyah, Ulama-ulama mutaakhirin madzhab Malikiyah, Kamal bin Hamam, Ibnu Amir dari madzhab Hanafiyah, Ibnu Arafah, dan ad-Dasuqi dan imam at-Thorsusy dari madzhab Hanabilah.
Hukum-hukum syariat manakah yang menjadi lahan boleh atau dilarangnya talfiq?
Hukum-hukum syariat yang pada hakikatnya ada atau tidaknya peluang untuk talfiq itu terbagi menjadi 3 macam: Pertama, hukum yang terbentuk atas dasar kemudahan dan toleransi dilihat dari perbedaan kondisi dari para mukallaf. Kedua, hukum syariat yang terbentuk atas dasar wira’i dan kehati-hatian. Ketiga, hukum syariat yang terbentuk bergantung pada kemaslahatan umat dan kebahagiaannya.
Untuk point yang pertama, bentuk hukumnya adalah seperti ibadah mahdloh dan di sini boleh untuk talfiq menurut Syaikh Wahbah Zuhaily karena yang menjadi pusat perhatiannya adalah imtitsalu amril-Lah (ketaatan melaksanakan titah Allah) dan ketundukan kepada-Nya. Adapun ibadah Maliyah (yang bersifat harta yang ada kaitannya dengan hak orang lain seperti zakat, hutang dll) adalah tidak boleh talfiq apabila khawtir adanya hak-hak dari orang faqir yang tersia-siakan. Maka tidak ada lampu hijau untuk mengambil pendapat yang dloif atau mentalfiq dari beberapa madzhab untuk mengambil keuntungan bagi orang yang berzakat sehingga menyia-nyiakan hak orang faqir, padahal fatwa itu harus punya extra kehati-hatian dan kesesuaian dengan maslahatnya orang faqir. Untuk point yang kedua (hukum syariat atas dasar kehati-hatian) maka hukum talfiq adalah haram sebagaimana pemahaman yang didapat dari hadits Man hama haulal hima (al-Hadits)
Untuk point yang terakhir (syariat atas dasar kemaslahatan umat) Maka tidak boleh talfiq, ataupun tasamuh (toleransi) kecuali dlarurat. Wal-Lahu a’lam
***Catatan pengambilan ta’bir dari maroji’ yang kami gunakan untuk tulisan ini bisa dilihat dalam Ushul Fiqh alladzi la yasa’ul faqih Jahlahu (1/ 333-339), Al-Fiqhul Islam wa Adillatuhu (1/ 78-93) dan Anwarul Buruq (3/ 18)