2110. SYAFAAT NABI MUHAMMAD SAW

PERTANYAAN :
Assalamu alaykum, pak ustad ane mau tanya pembahasaan tentang syafaat di al-quran itu seperti apa dan di surat apa ajjah ? [Muhammadfatih BahijAsyhab AyyasyAzzam].
JAWABAN :
Wa’alaykumsalam, coba anda simak Q.S Al~imran ayat 31. Arti syafaat ialah bantuan atau pertolongan. Sementara, secara sosiologis, syafaat diartikan dengan sebuah pertolongan yang diberikan seseorang kepada orang lain yang mengharapkan pertolongannya; usaha dalam memberikan suatu manfaat bagi orang lain atau mengelakkan suatu mudarat (bahaya) kepada orang lain. Akan tetapi jika syafaat itu dinisbatkan kepada Allah maka kata itu bermakna sebuah pengampunan yang diberikan oleh-Nya.1
Hal ini sesuai dengan ayat yang artinya: ’Barangsiapa yang memberikan syafaat yang baik, niscaya ia akan memperoleh bagian (pahala) daripadanya. Dan barangsiapa memberi syafaat yang buruk, niscaya ia akan memikul beban (dosa) daripadanya. Allah Maha Kuasa atas sesuatu (QS 4:85). Begitu pula dalam hadits Nabi yang diriwayatkan Abu Musya al-Asy’ari, dikatakan, ketika Nabi Saw kedatangan seorang yang punya hajat (kepentingan), beliau berkata pada sahabat:”Berilah syafaat (pertolongan) supaya kamu mendapat pahala dan Allah Swt. akan memutuskan melalui lisan Nabi-Nya apa yang dia kehendaki.
Dalam khazanah keilmuan Islam, istilah syafaat terkenal di kalangan ahli kalam (teolog). Disiplin ilmu teologi mengartikan syafaat ialah sebuah pertolongan Nabi Muhamad Saw. terhadap umatnya -pada hari kiamat- untuk membebaskan atau memberi keringanan atas hukuman Allah Swt.
Kapasitas rasio tidak mampu memprediksi secara tepat dan benar dengan peristiwa yang belum terjadi, apalagi yang berkaitan hal-hal metafisik. Itu harus disadarinya karena keterbatasan dan kemampuan rasio manusia hanya pada sesuatu yang tampak mata. Namun, atas jasa wahyu, manusia menjadi tahu akan planing (rencana) Allah pada hari kiamat. Seumpama pemberian syafaat di hari itu Tanpa bantuan wahyu, kesulitan-kalau tidak diakatan mustahil-manusia akan mengetahuinya. Diakui memang Nabi Muhamad yang membawa kabar itu, tapi substansinya dari Allah Swt.,wa mâ yanthiqu ’an al-hawâ in huwa illâ wahyun yûhâ. Karenanya, kebodohan dan keterbatasan akal, bukan alasan untuk menyangkal berita-berita yang dibawa Nabi. Dari sini pula, ketika antara wahyu dan filsafat (alam pikiran) bertolak belakang, tentu yang diutamakan ialah wahyu. Dalam ranah ini, meski akal tidak mampu memberi informasi tentang syafaat, tapi karena Nabi Muhamad sebagai utusan Tuhan, dengan perintah-Nya telah menyampaikan berita itu maka yang logis justru menjadikan wahyu sebagai suatu keniscayaan.2
Ibnu Arabi menuturkan bahwa pemberi syafaat pertama adalah Nabi Muhamad Saw. Dalam arti, sebelum Nabi berkenan memberi safaat maka jangan harap akan ada orang lain yang sanggup memberi syafaat. Pernyataan itu bertendensi pada hadits yang meriwayatkan bahwa, RasuluLLah ialah pemberi syafaat pertama kali dan pasti akan diterima.3
Kemudian megenai landasan syafaat, termasuk sangat lumayan banyak. Seumpama peringatan dalam Al-Quran yang dengan tegas menuturkan:
ولسوف يعطيك ربك فترضى
’’Dan Tuhanmu akan memberimu, kemudian kamu menerimanya’’
Di lain tempat, dalam surat Thaha ayat 109, Allah mengukuhkan berita syafaat Demikian bunyi ayatnya:
يومئذ لا تنفع الشفاعة إلا من أذن له الرحمن ورضي له قولا
’’Pada hari itu (hari kiamat) tidak berguna syafaat, kecuali (syafaatnya) seorang yang telah diizinkan Allah Sang Maha Pemurah, dan diridhai perkataannya’’
Pun juga, diperkuat dengan tendensi hadits-hadits Nabi. Dalam ’Ihya Ulum al-Din’ seumpama, al-Ghazali (hujjah al-Islam) mengutip hadits yang diriwayakan sahabat Umar bin ’Ash, bahwa pada suatu hari ketika Nabi membaca doanya Nabi Ibrahim dan Nabi Isa, setelah selesai dengan tiba-tiba air mata beliau menetes, sembari menyebut: “Umatku (bagaimana nasib) umatku!”. Karena Allah Swt mengetahui, maka langsung respon dengan mengutus Jibril untuk menemui Muhamad Saw. Perintah itu, Allah Swt. berkeinginan Jibril menanyakan kepada Muhamad, apa faktornya dia menangis sedih. Tapi ketika Jibril menanyakannya, Nabi malah membalas: ’’Allah yang lebih tahu segalanya’’. Setelah Jibril kembali, Allah kemudian berfirman:’’ Wahai Jibril, pergi dan temui Muhamad!. Sampaikan kalau Aku akan menerima kehadiran umatnya dan tidak akan berbuat jahat kepada umatnya.4
lebih detil lagi, hadits yang diriwayatkan Abu Harairah. Menurutnya, pada saat kiamat tiba -ketika manusia sudah tidak kuat menahan derita, resah dan susah- mereka saling tengok, saling bertanya antara satu dengan yang lain, masing-masing penasaran dengan yang lain; apa juga merasakan kesusahan, mereka mencari-cari seorang penolong. Di tengah kebingungan, mereka mendengar bahwa sang penolongnya ialah Adam. Langsung mereka mencari dan menemuinya. Mereka mengadu: “wahai tuan! Engkau adalah bapaknya semua manusia, bahkan para malaikat disuruh bersujud kepada engkau, kami mohon mintakan syafaat untuk kami kepada Allah”. Tapi sama saja, ia juga sedang menyesali pebuatannya karena sewaktu dilarang makan buah khuldi ia tidak mengindahkan. Adam hanya menunjukkan menemui nabi Nuh. Kemudian menemui Nuh. Ia-pun sama tidak dapat membantunya, karena menyaksikan Tuhan sedang marah (ghadhab) tidak seperti biasanya. Disamping itu, nabi Nuh merasa bersalah atas kegagalan menyampaikan dakwah yang diamanatkan oleh Allah Swt. Padahal, diakui ia seorang rasul yang dinobatkan banyak bersyukurnya. [ AKIDAH KAUM SARUNGAN, Lirboyo ]. (Sbutirdebu Dan Bijipasir, Alif Jum’an Azend).
——————
1 Syeh Islam Ibrahim bin Muhamad al-Baijuri, Tuhfah al-Murid, al-Hidayah Surabaya, hlm.116

2 Syeh Islam Ibrahim bin Muhamad al-Baijuri, Tuhfah al-Murid, al-Hidayah Surabaya, hlm.116
3 Ibid
4 Ihya Ulum al-Din, juz:IV, hlm. 510

Link Asal :

www.fb.com/groups/piss.ktb/483574694998677/

Pos terkait