2240. MAKALAH : Tidaklah mereka dapat mengenal Allah dengan sebenar keagungan-Nya

Firman Allah ta’ala yang artinya “Dan tidaklah mereka dapat mengenal Allah dengan sebenar keagungan-Nya”. (QS Az Zumar [39]:67)
Firman Allah ta’ala yang artinya, “Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan Ulil Albab“  (QS Ali Imran [3]:7)
Dalam (QS Ali Imran [3]:7)  Allah ta’ala berfirman bahwa Dia lah yang mengetahui takwil ayat-ayat mutasyabihat namun Allah ta’ala tidak menetapkan bahwa tidak akan menganugerahkan kemampuan takwil kepada semua manusia. Oleh karenanya pada bagian akhir ayat tersebut ditegaskan bahwa Ulil Albab yang dapat yang mentakwilkan ayat-ayat mutasyabihat yakni orang-orang yang dikehendaki Allah dengan dianugerahkan Al Hikmah , pemahaman yang dalam atau kemampuan mengambil pelajaran terhadap ayat-ayat mutasyabihat atau dianugerahkan kemampuan mentakwilkan ayat-ayat mutasyabihat.
Pada hakikatnya takwil adalah memahami dengan mengambil pelajaran berdasarkan karunia hikmah dari Allah Azza wa Jalla yang diberikan kepada siapa yang dikehendakiNya.
Firman Allah ta’ala yang artinya,
“Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan Ulil Albab“  (QS Ali Imran [3]:7)
Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur’an dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya Ulil Albab yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).”  (QS Al Baqarah [2]:269).
Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui” (QS Fush shilat [41]:3)
Maka bertanyalah kepada ahli dzikir (orang yang mempunyai pengetahuan) jika kamu tidak mengetahui.” (QS. an-Nahl [16] : 43)
Ulil Albab atau ahli dzikir atau orang yang mempunyai pengetahuan karena karunia hikmah dari Allah ta’ala adalah
(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka” (Ali Imran [3] : 191)
Sedangkan mereka yang “mencari-cari takwil” adalah mereka yang hanya bersandarkan akal pikiran untuk memahaminya.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mendoakan Ibnu Abbas ra  agar dikaruniakanNya  Al-Hikmah , kemampuan mentakwilkan ayat-ayat mutasyabihat dengan doa seperti
Allahumma faqqihhu fiddin wa ‘allimhu al ta’wil   
Ya Allah dalamkanlah pengetahuannya dalam agama dan ajarilah ia takwil Qur’an
atau
Allahumma ‘allimhu al hikmah.
Ya Allah alimkanlah dia dengan hikmah
atau
Allahumma faqqihu fiddini, wa allimhu al hikmata at ta’wila qurana
Ya Allah dalamkan pengetahuannya dalam agama dan alilmkan dalam hikmah dan ajarkan ia takwil Al Qur’an (HR Ibnu Majah)
Contohnya terhadap firmanNya yang artinya “Dan langit itu Kami bangun dengan “bi aidin” dan sesungguhnya Kami benar-benar berkuasa”
Ibnu Abbas ra mengatakan bahwa yang dimaksud “bi aidin” adalah “dengan kekuasaan”, bukan maksudnya tangan yang merupakan anggota badan (jarihah) kita, karena Allah maha suci darinya
Begitupula dengan firmanNya yang artinya “Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka” (QS Al Fath [48]:10)
Para ahli tafsir  pada umumnya menjelaskan contohnya “Orang yang berjanji setia biasanya berjabatan tangan. Caranya berjanji setia dengan Rasul ialah meletakkan tangan Rasul di atas tangan orang yang berjanji itu. Jadi maksud tangan Allah di atas mereka ialah untuk menyatakan bahwa berjanji dengan Rasulullah sama dengan berjanji dengan Allah atau disaksikan oleh Allah”
Contoh lainya dalam tafsir Ibnu Katsir  firmanNya “Yadulllahi fawqa aydiihim” (tangan Allah di atas tangan mereka) maksudnya, Allah menyaksikan mereka, mendengarkan seluruh ucapan mereka, melihat tempat-tempat mereka dan mengetahui apa yang mereka sembunyikan di dalam hati mereka, serta apa yang mereka tampakkan”
Jadi tidak ada satupun ahlus sunnah yang mengatakan bahwa setiap sifat yang Allah ta’ala sifatkan untuk diri-Nya sendiri atau yang disifatkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam harus beri’tiqod (berkeyakinan) berdasarkan makna dzahir.
Contoh ulama yang tidak mau mentakwil atau tidak mau mengambil pelajaran atau tidak mau mempergunakan karunia hikmah dapat kita ketahui dari tulisan pada http://moslemsunnah.wordpress.com/2010/03/29/benarkah-kedua-tangan-allah-azza-wa-jalla-adalah-kanan/ atau pada http://artikelassunnah.blogspot.com/2010/03/benarkah-kedua-tangan-allah-azza-wa.html
Situs tersebut berisikan pendapat seorang ulama berdasarkan hadits-hadits yang dipahaminya sendiri tanpa menyertakan pendapat para ulama yang sholeh yang mengikuti Imam Mazhab yang empat. Pada akhir tulisannya ulama tersebut berkesimpulan bahwa “Allah mempunyai kedua tangan dan kedua tangan Allah adalah kanan” 
Ulama tersebut memahami ayat-ayat mutasyabihat tentang sifat dengan makna dzahir atau makna harfiah atau makna leksikal atau makna dasar yang terdapat pada setiap kata (kalimat) atau makna kata secara lepas sebagaimana yang terlihat jelas dalam awal tulisan dengan pertanyaan “Apakah kedua tangan Allah yang mulia kanan dan kiri ataukah keduanya kanan?” dalam pengertian arah (sisi) kiri atau kanan
“Datang seorang pendeta kepada Rasulullah, berkata: “Wahai Muhammad, sesungguhnya Allah di hari kiamat akan memegang seluruh lapisan langit dengan satu jari, seluruh lapisan bumi dengan satu jari, gunung-gunung dan pepohonan dengan satu jari”. Dalam satu riwayat mengatakan: “Air dan tanah dengan satu jari, kemudian Allah menggerakan itu semua”. Maka Rasulullah tertawa, lalu bersabda dengan membaca firmanNya yang artinya “Dan tidaklah mereka dapat mengenal Allah dengan sebenar keagungan-Nya”. (QS Az Zumar [39]:67)
Ibn Al Jawzi menjelaskan bahwa “Tertawanya Rasulullah dalam hadits di atas sebagai bukti pengingkaran beliau terhadap pendeta (Yahudi) tersebut, dan sesungguhnya kaum Yahudi adalah kaum yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya (Musyabbihah). Lalu turunnya firman Allah: “وما قدروا الله حق قدره” (“Dan tidaklah mereka dapat mengenal Allah dengan sebenar keagungan-Nya” (QS Az Zumar [39]:67) ) adalah bukti nyata lainnya bahwa Rasulullah mengingkari mereka (kaum Yahudi)”
Jikalau beri’tiqod (berkeyakinan) dengan makna dzahir maka “jari Allah” berada disetiap hati manusa
Dari ‘Abdullah bin ‘Amru bin Al ‘Ash berkata bahwasanya ia pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Sesungguhnya hati semua manusia itu berada di antara dua jari dari sekian jari Allah Yang Maha Pemurah. Allah Subhanahhu wa Ta’ala akan memalingkan hati manusia menurut kehendak-Nya. (HR Muslim 4798)
Ibn Al Jawzi berkata , “Hadits ini menunjukan bahwa hati setiap manusia di bawah kekuasaan Allah. Ketika diungkapkan “بين أصبعين”, artinya bahwa Allah sepenuhnya menguasai hati tersebut dan Allah maha berkehendak untuk “membolak-balik” hati setiap manusia.
Dari Syahru bin Hausyab berkata; saya telah mendengar Ummu Salamah meceritakan bahwa Rasulullah shalallahu‘alaihi wa sallam memperbanyak dalam do’anya: ALLAHUMMAA MUQALLIBAL QULUB TSABIT QALBI ‘ALA DINIK (Ya Allah, yang membolak balikkan hati, tetapkanlah hatiku di atas agamamu). Ia berkata; saya berkata; “Wahai Rasululah! Apakah hati itu berbolak balik?” beliau menjawab: “Ya, tidaklah ciptaan Allah dari manusia anak keturunan Adam kecuali hatinya berada di antara dua jari dari jari-jari Allah. Bila Allah Azza wa Kalla berkehendak, Ia akan meluruskannya, dan jika Allah berkehendak, Ia akan menyesatkannya. Maka kami memohon kepada Allah; ‘Wahai Tuhan kami, janganlah Engkau sesatkan hati-hati kami setelah kami diberi petunjuk.’ Dan kami memohon kepada-Nya supaya memberikan kepada kita rahmat dari sisinya, sesungguhnya dia adalah Maha Pemberi’.” (HR Ahmad No 25364)
Jikalau beri’tiqod (berkeyakinan) dengan makna dzahir maka “tangan Allah” berada disetiap ubun-ubun binatang melata berdasarkan firmanNya yang artinya “Sesungguhnya aku bertawakkal kepada Allah Tuhanku dan Tuhanmu. Tidak ada suatu binatang melatapun melainkan Dia-lah yang memegang ubun-ubunnya. Sesungguhnya Tuhanku di atas jalan yang lurus.” (QS Huud [11]:56)
“tidak ada suatu binatang melatapun” terkait dengan ayat sebelumnya.
Firman Allah ta’ala yang artinya, “Ingatlah, sesungguhnya (orang munafik itu) memalingkan dada mereka untuk menyembunyikan diri daripadanya (Muhammad). Ingatlah, di waktu mereka menyelimuti dirinya dengan kain, Allah mengetahui apa yang mereka sembunyikan dan apa yang mereka lahirkan, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala isi hati Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh mahfuzh)” (QS Huud [11]: 5 dan 6)
Yang dimaksud “binatang melata” di sini ialah segenap makhluk Allah yang bernyawa
Sedangkan yang dimaksud “Dia-lah yang memegang ubun-ubunnya” adalah “Dia-lah yang menguasai sepenuhnya
Sedangkan yang dimaksud “Tuhanku di atas jalan yang lurus” adalah “Allah selalu berbuat adil”
Ulama Hanbali yang ternama, Al-Imam al-Hafizh al Alamah Abul Faraj Abdurrahman bin Ali bin al-Jawzi as- Shiddiqi al-Bakri atau yang lebih dikenal dengan Ibn al Jawzi secara khusus membuat kitab berjudul Daf’u syubah at-tasybih bi-akaffi at-tanzih contoh terjemahannya pada http://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2012/12/dafu-syubah-imam-ibn-al-jauzi.pdf untuk menjelaskan kesalahpahaman tiga ulama Hambali yakni
1. Abu Abdillah al-Hasan bin Hamid bin Ali al-Baghdadi al-Warraq, wafat 403 H, guru dari Abu Ya’la al-Hanbali
2. Muhammad bin al Husain bin Muhammad bin Khalaf bin Ahmad al-Baghdadi al-Hanbali, dikenal dengan sebutan Abu Ya’la al-Hanbali. Lahir tahun 380 H, wafat 458 H
3. Abu al-Hasan Ali bin Abdullah bin Nashr az-Zaghuni al-Hanbali, wafat 527 H Ibn al Jawzi berkata bahwa
***** awal kutipan ****
Mereka memahami sifat-sifat Allah secara indrawi, misalkan mereka mendapati teks hadits: “ إن لله خلق ءادم على صورته ”, lalu mereka menetapkan adanya “Shûrah (bentuk) bagi Allah. Kemudian mereka juga menambahkan “al-Wajh” (muka) bagi Dzat Allah, dua mata, mulut, bibir, gusi, sinar bagi wajah-Nya, dua tangan, jari-jari, telapak tangan, jari kelingking, jari jempol, dada, paha, dua betis, dua kaki, sementara tentang kepala mereka berkata: “Kami tidak pernah mendengar berita bahwa Allah memiliki kepala”, mereka juga mengatakan bahwa Allah dapat menyentuh dan dapat disentuh, dan seorang hamba bisa mendekat kepada Dzat-Nya secara indrawi, sebagian mereka bahkan berkata: “Dia (Allah) bernafas”. Lalu –dan ini yang sangat menyesakkan– mereka mengelabui orang-orang awam dengan berkata: “Itu semua tidak seperti yang dibayangkan dalam akal pikiran”.
Dalam masalah nama-nama dan sifat-sifat Allah mereka memahaminya secara dzahir (literal). Tatacara mereka dalam menetapkan dan menamakan sifat-sifat Allah sama persis dengan tatacara yang dipakai oleh para ahli bid’ah, sedikitpun mereka tidak memiliki dalil untuk itu, baik dari dalil naqli maupun dari dalil aqli. Mereka tidak pernah menghiraukan teks-teks yang secara jelas menyebutkan bahwa sifat-sifat tersebut tidak boleh dipahami dalam makna literalnya (makna dzahir), juga mereka tidak pernah mau melepaskan makna sifat-sifat tersebut dari tanda-tanda kebaharuan (huduts).
Mereka tidak merasa puas sampai di sini, mereka tidak puas dengan hanya mengatakan “Sifat Fi’il” saja bagi Allah hingga mereka mengatakan “Sifat Dzât”
****** akhir kutipan *****
Salaf yang sholeh mengatakan
قال الوليد بن مسلم : سألت الأوزاعي ومالك بن أنس وسفيان الثوري والليث بن سعد عن الأحاديث فيها الصفات ؟ فكلهم قالوا لي : أمروها كما جاءت بلا تفسير
“Dan Walid bin Muslim berkata: Aku bertanya kepada Auza’iy, Malik bin Anas, Sufyan Tsauri, Laits bin Sa’ad tentang hadits-hadits yang di dalamnya ada sifat-sifat Allah? Maka semuanya berkata kepadaku: “Biarkanlah ia sebagaimana ia datang tanpa tafsir“
Imam Sufyan bin Uyainah radhiyallahu anhu mengatakan:
كل ما وصف الله تعالى به نفسه فتفسيره تلاوته و السكوت عنه
“Setiap sesuatu yang Allah menyifati diri-Nya dengan sesuatu itu, maka tafsirannya adalah bacaannya (tilawahnya) dan diam daripada sesuatu itu”.
Sufyan bin Uyainah radhiyallahu anhu ingin memalingkan kita dari mencari makna dzahir dari ayat-ayat sifat dengan cukup melihat bacaannya saja, tafsiruhu tilawatuhu: tafsirannya adalah bacaannya. Bacaannya adalah melihat, mengikuti huruf-perhurufnya, bukan maknanya, bukan tafsiruhu ta’rifuhu.
Terhadap lafazh-lafazh ayat sifat kita sebaiknya tidak mengi’tiqodkan berdasarkan maknanya secara dzahir karena akan terjerumus kepada jurang tasybih (penyerupaan), sebab lafazh-lafazh ayat sifat sangat beraroma tajsim dan secara badihi (otomatis) pasti akan menjurus ke sana.
Terhadap lafazh-lafazh ayat sifat , Imam Syafi’i ~rahimahullah mengatakan “Jawaban yang kita pilih tentang hal ini dan ayat-ayat yang semacam dengannya bagi orang yang tidak memiliki kompetensi di dalamnya adalah agar mengimaninya dan tidak –secara mendetail– membahasnya dan membicarakannya. Sebab bagi orang yang tidak kompeten dalam ilmu ini ia tidak akan aman untuk jatuh dalam kesesatan tasybîh”
Para ulama terdahulu yang sholeh telah memberikan batasan kepada kita untuk tidak memahami ayat mutasyabihat tentang sifat dengan makna dzahir.
Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H/1182 M) dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad, “Sunu ‘Aqaidakum Minat Tamassuki Bi Dzahiri Ma Tasyabaha Minal Kitabi Was Sunnati Lianna Dzalika Min Ushulil Kufri”, “Jagalah aqidahmu dari berpegang dengan dzahir ayat dan hadis mutasyabihat, karena hal itu salah satu pangkal kekufuran”.
Imam besar ahli hadis dan tafsir, Jalaluddin As-Suyuthi dalam “Tanbiat Al-Ghabiy Bi Tabriat Ibn ‘Arabi” mengatakan “Ia (ayat-ayat mutasyabihat) memiliki makna-makna khusus yang berbeda dengan makna yang dipahami oleh orang biasa. Barangsiapa memahami kata wajh Allah, yad , ain dan istiwa sebagaimana makna yang selama ini diketahui (wajah Allah, tangan, mata, bertempat), ia kafir (kufur dalam i’tiqod) secara pasti.”
Dalam kitab ilmu tauhid berjudul “Hasyiyah ad-Dasuqi ‘ala Ummil Barahin” karya Syaikh Al-Akhthal dapat kita ketahui bahwa
– Barangsiapa mengi’tiqadkan (meyakinkan) bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mempunyai jism (contohnya tangan) sebagaimana jisim-jisim lainnya (sebagaimana tangan lainnya), maka orang tersebut hukumnya “Kafir (orang yang kufur dalam i’tiqod)
– Barangsiapa mengi’tiqadkan (meyakinkan) bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mempunyai jisim (contohnya tangan) namun tidak serupa dengan jisim-jisim lainnya (tidak serupa dengan tangan makhlukNya), maka orang tersebut hukumnya ‘Aashin atau orang yang telah berbuat durhaka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
– I’tiqad yang benar adalah i’tiqad yang menyatakan bahwa sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala itu bukanlah seperti jisim (bentuk suatu makhluk) dan bukan pula berupa sifat. Tidak ada yang dapat mengetahui Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala kecuali Dia
Bahkan Imam Sayyidina Ali ra mengatakan bahwa mereka yang mensifati Allah ta’ala dengan sifat-sifat benda dan anggota-anggota badan adalah mereka yang mengingkari Allah Azza wa Jalla.
Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra berkata : “Sebagian golongan dari umat Islam ini ketika kiamat telah dekat akan kembali menjadi orang-orang kafir (kufur dalam i’tiqod)”. Seseorang bertanya kepadanya : “Wahai Amirul Mukminin apakah sebab kekufuran mereka? Adakah karena membuat ajaran baru atau karena pengingkaran?” Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra menjawab : “Mereka menjadi kafir karena pengingkaran. Mereka mengingkari Pencipta mereka (Allah Subhanahu wa ta’ala) dan mensifati-Nya dengan sifat-sifat benda dan anggota-anggota badan.”
Ibn al Jawzi menjelaskan bahwa “sesungguhnya dasar teks-teks itu harus dipahami dalam makna lahirnya (dzahir) jika itu dimungkinkan, namun jika ada tuntutan takwil maka berarti teks tersebut bukan dalam dzahirnya tetapi dalam makna majaz (metaforis)”.
Tuntutan takwil dengan makna majaz (bukan sembarang takwil atau mencari-cari takwil) timbul ketika ayat-ayat mutasyabihat jika dimaknai secara dzahir sehingga mensifatkan Allah dengan sifat-sifat yang menunjuki kepada sifat baharu (huduts) atau menunjuki atas tanda kekurangan.
Firman Allah ta’ala yang artinya “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata” (QS Al An’am [6]:103) 
Allah ta’ala mengungkapkan tentang diriNya dalam bahasa Arab yang balaghah (sastra Arab) sehingga tidak selalu dapat dimaknai sebagaimana makna yang dapat dicapai oleh penglihatan mata atau makna indrawi atau makna dzahir atau makna harfiah atau makna yang tertulis (tersurat). Untuk itulah diperlukan ilmu untuk memahaminya seperti ilmu balaghah yang dapat mengungkap makna bathin atau makna di balik yang tertulis atau makna tersirat sepert makna majaz (kiasan).
Contoh ungkapan kecintaan Allah ta’ala kepada kekasihNya (wali Allah) yang tidak dapat dimaknai dengan makna dzahir.
Dalam sebuah haitis qudsi Allah ta’ala berfirman “jika Aku sudah mencintainya, maka Akulah pendengarannya yang ia jadikan untuk mendengar, dan pandangannya yang ia jadikan untuk memandang, dan tangannya yang ia jadikan untuk memukul, dan kakinya yang dijadikannya untuk berjalan, jikalau ia meminta-Ku, pasti Kuberi, dan jika meminta perlindungan kepada-KU, pasti Ku-lindungi. Dan aku tidak ragu untuk melakukan sesuatu yang Aku menjadi pelakunya sendiri sebagaimana keragu-raguan-Ku untuk mencabut nyawa seorang mukmin yang ia (khawatir) terhadap kematian itu, dan Aku sendiri khawatir ia merasakan kepedihan sakitnya.” (HR Bukhari 6021)
Oleh karenanya kitapun tidak dapat memaknai dengan makna dzahir terhadap ungkapan cinta manusia seperti
“di dadaku ada senyummu, ada cintamu, ada hasratmu, ada kumismu, ada kupingmu, di dalam dadaku ada kamu”,  “gunung akan ku daki , lautan akan ku seberangi”
“kaulah yang bisa membuatku lupa segalanya”“kaulah yang melepaskan segala kelelahanku”
“kaulah yang membuatku tertawa”
“kaulah yang membuatku bahagia”
dan lain-lain
Begitupula dalam memahami sholawat yang merupakan ungkapan cinta kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang umumnya dalam bahasa Arab yang balaghah sehingga tidak selalu dapat dipahami dengan makna dzahir. 
Oleh karenanya orang-orang yang berpendapat bahwa sholawat seperti sholawat Nariyah atau Maulid Barzanji,  matan atau redaksinya mengandung kemusyrikan maka dapat dipastikan mereka tidak menguasai ilmu tata bahasa Arab atau ilmu alat sepeti nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’)
Contohnya sholawat Nariyah yang artinya  “Ya Allah limpahkanlah rahmat dan keselamatan yang sempurna kepada junjungan kami Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasllam, yang dengannya akan terlepas beberapa ikatan (kesusahan) dan akan terbuka beberapa kesulitan dan akan ditunaikan beberapa kebutuhan dan akan diperoleh beberapa keinginan dan kematian yang baik (husnul khotimah)  dan awan menurunkan hujan (keberkahan/kebahagiaan) dengan wajahnya yang mulia, dan limpahkanlah kepada keluarganya, para shahabatnya dalam setiap detik dan hembusan nafas sebanyak bilangan semua yang diketahui oleh Engkau”
Seroang rekan kami menjelaskan sebagai berikut
**** awal kutipan *****
Penjelasan :
الذى disini Adalah Isim maushul tunggal laki-laki yang menjadi na’at/shifat dari محمّد
تَنحلّ به العُقد
Dengannya akan terlepas beberapa ikatan (kesusahan2)
تَنحلّ adalah Fiil mudlori’ dari madli َانحلّ yang mengikuti انفعل yang berfaidah menjadi Muthowaahnya فعّل dan menjadi shilahnya isim maushul الذى
yang artinya adalah akan terlepas.
muthowa’ah adlah hasilnya bekas/kesan/akibat tatkala fi’il muta’adi berhubungan dengan maf’ulnya
Contoh Muthowa’ah :
حلّل الله ُ العقدَ فانحلّ
Allah telah melepas beberapa ikatan (kesusahan), maka beberapa ikatan (kesusahan) terlepas.
Jadi terlepasnya beberapa ikatan (kesusahan) akibat dari Allah telah melepasnya.
Begitu juga pada kalimat تَنحلّ menjadi jelas bahwa yg melepas adalah Allah karena faidah kalimat tersebut adalah hasilnya bekas/kesan/akibat
وتَنفرج به الكُرب
Dan dengannya akan terbuka beberapa kesulitan
تَنفرج adalah fi’il mudlori’ mabni ma’lum (kalimat aktif) dari madli انفرج mengikuti انفعل yang berfaidah menjadi Muthowaahnya فعّل dan menjadi shilahnya isim maushul الذى dengan menggunakan huruf athof wawu yang artinya adalah akan terbuka
Penjelasannya sama dengan تَنحلّ 
وَتُقْضَى بِهِ الْحَوَائِجُ
Dan dengannya akan dipenuhi/ditunaikan beberapa kebutuhan
تُقْضَى adalah fi’il mudlori’ mabni majhul (kalimat pasif) dari madli قضي dan menjadi shilahnya isim maushul الذى dengan menggunakan huruf athof wawu. الْحَوَائِجُ adalah naibul fa’ilnya
Fi’il Mabni Majhul adalah Fi’il yg tidak menyebutkan fa’ilnya (subyek) karena sudah diketahui atau disamarkan. Dan yang mengganti posisi fa’il dinamakan naibul fa’il
Naibul Fa’il adalah Isim yg dirofa’kan baik secara lafadh atau mahal, menggantikan dan menempati tempatnya Fa’il yang tidak disebutkan.
Contoh :
تَقْضِى اللهُ الْحَوَائِجَ
Allah akan memenuhi beberapa kebutuhan
Karena yang memenuhi kebutuhan hanyalah Allah (sudah diketahui), maka fa’ilnya tidak disebutkan dan fi’ilnya dijadikan mabni majhul, menjadi تُقْضَى الْحَوَائِجُ
وَتُنَالُ بِهِ الرَّغَائِبُ وَحُسْنُ الْخَوَاتِمِ وَيُسْتَسْقَى الْغَمَامُ بِوَجْهِهِ الْكَرِيْمِ
dan akan diperoleh beberapa keinginan dan kematian yang baik (husnul khotimah) dan awan menurunkan hujan (kesedihan menjadi kebahagiaan) dengan wajahnya yang mulia
Semua fi’il2nya berbentuk Majhul (tidak menyebutkan fa’il) karena sudah diketahui fa’ilnya yakni Allah. Penjelasannya sama seperti sebelumnya
بِهِ
Dengannya/sebab beliau
Bak adalah Huruf jer yang mempunyai arti sababiyyah(sebab) dan berta’alluq (terhubung) pada fi’il. Jadi nabi dijadikan sebab (wasilah/perantara) atas terlepasnya beberapa ikatan (kesusahan2) dan terbukanya beberapa kesulitan, dst.
Kesimpulan :
Setelah membahas kalimat2 dari sholawat nariyah berdasarkan gramatika arab, maka menjadi jelas bahwa subyek/pelakunya adalah Allah Azza wa Jalla, sedangkan Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam hanya dijadikan wasilah dalam permohonan rahmat kepada Allah.
***** akhir kutipan ****
Begitupula penjelasan ulama dari kalangan ahlul bait, keturunan cucu Rasululah shallallahu alaihi wasallam contohnya Habib Munzir sebagaimana yang dimuat pada http://majelisrasulullah.org/index.php?option=com_simpleboard&Itemid&func=view&catid=9&id=6466#6466
**** awal kutipan *****
Saudaraku yg kumuliakan,
Mengenai shalawat nariyah, tidak ada dari isinya yang bertentangan dengan syariah, makna kalimat : yang dengan beliau terurai segala ikatan, hilang segala kesedihan, dipenuhi segala kebutuhan, dicapai segala keinginan dan kesudahan yang baik” adalah kiasan, bahwa beliau shallallahu alaihi wasallam pembawa Al Qur’an, pembawa hidayah, pembawa risalah, yang dengan itu semualah terurai segala ikatan dosa dan sihir, hilang segala kesedihan yaitu dengan sakinah, khusyu dan selamat dari siksa neraka, dipenuhi segala kebutuhan oleh Allah swt, dicapai segala keinginan dan kesudahan yang baik yaitu husnul khatimah dan sorga,
Ini adalah kiasan saja dari sastra balaghah arab dari cinta, sebagaimana pujian Abbas bin Abdulmuttalib ra kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam dihadapan beliau shallallahu alaihi wasallam : “… dan engkau (wahai nabi shallallahu aalaihi wasallam) saat hari kelahiranmu maka terbitlah cahaya dibumi hingga terang benderang, dan langit bercahaya dengan cahayamu, dan kami kini dalam naungan cahaya itu dan dalam tuntunan kemuliaan (Al Qur’an) kami terus mendalaminya” (Mustadrak ‘ala shahihain hadits no.5417), tentunya bumi dan langit tidak bercahaya terang yang terlihat mata, namun kiasan tentang kebangkitan risalah.
Sebagaimana ucapan Abu Hurairah ra : “Wahai Rasulullah, bila kami dihadapanmu maka jiwa kami khusyu” (shahih Ibn Hibban hadits no.7387), “Wahai Rasulullah, bila kami melihat wajahmu maka jiwa kami khusyu” (Musnad Ahmad hadits no.8030)
Semua orang yang mengerti bahasa arab memahami ini, Cuma kalau mereka tak faham bahasa maka langsung memvonis musyrik, tentunya dari dangkalnya pemahaman atas tauhid,
Mengenai kalimat diminta hujan dengan wajahnya yang mulia, adalah cermin dari bertawassul pada beliau shallallahu alaihi wasallam para sahabat sebagaimana riwayat shahih Bukhari.
Mengenai anda ingin membacanya 11X, atau berapa kali demi tercapainya hajat, maka tak ada dalil yg melarangnya,
Demikian saudaraku yang kumuliakan, semoga dalam kebahagiaan selalu,
Wallahu a’lam
***** akhir kutipan *****
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830

Pos terkait