Shalat berjamaah adalah simbol keutuhan umat Islam. Sekat perbedaan hilang digantikan persatuan dan persaudaraan sesama Muslim. Tidak heran jika shalat yang dikerjakan dengan berjamaah mempunyai pahala yang jauh lebih besar dibanding shalat sendirian. Rasulullah saw bersabda:
Artinya: Shalat berjamaah lebih utama daripada shalat sendirian dengan selisih 27 derajat. (HR. al-Bukhari)
Shalat jamaah bisa didirikan paling sedikit oleh dua orang: seorang imam dan seorang makmum. Hukum melakukan shalat berjamaah dalam shalat lima waktu adalah fardhu kifâyah bagi orang Muslim laki-laki, mukim, merdeka dan tidak ada udzur. Dengan demikian jika dalam satu desa tidak ada yang mengerjakan shalat berjamaah sama sekali, maka semua penduduk desa tersebut berdosa.
Seseorang masih dianggap mengikuti jamaah selagi imamnya masih belum melafalkan mîm-nya lafal: عَلَيْكُمْ dalam salam pertama, meskipun makmum tidak sempat duduk bersama duduk tasyahud-nya imam.
Syarat Sahnya Shalat Jamaah
1. Makmum harus berniat jadi makmum atau berniat berjamaah (mengikuti imam). Sedangkan imam hanya disunnatkan berniat jadi imam agar bisa memperoleh pahala jamaah.
Niat berjamaah dilakukan pada saat takbîratul ihrâm. Jika niat berjamaah dilakukan di pertengahan shalat maka hukumnya makruh dan tidak memperoleh fadhilahnya berjamaah. Keabsahan melakukan niat berjamaah di tengah-tengah shalat itu berlaku untuk selain shalat Jum’at. Sebab, shalat Jum’at wajib dikerjakan berjamaah. Imam dan makmum Jum’at wajib niat berjamaah bersamaan dengan takbîratul ihrâm.
2. Tahu terhadap perpindahan rukun yang dilakukan imam, bisa dengan melihat imamnya, mendengar suaranya, mendengar suara orang yang menyampaikan takbîr intiqâl-nya imam (muballigh), atau melihat sebagian dari makmum.
3. Makmum harus menyesuaikan dengan imamnya dalam melakukan atau meninggalkan sunnat-sunnat shalat yang jika tidak menyamai imamnya akan menyebabkan terjadinya perbedaan yang mencolok antara gerakan imam dan makmum. Misalnya, jika imam melakukan atau meninggalkan sujud tilâwah, maka makmum harus mengikuti imam.
4. Posisi makmum tidak boleh berada di depan imam. Boleh lurus dengan imam akan tetapi hukumnya makruh dan menghilangkan fadhilah jamaah. Patokan posisi pada saat berdiri adalah tumit kaki, bukan ujung jari-jari.[1] Jadi, tumit kaki makmum tidak boleh berada di depan tumit kaki imam.
5. Makmum tidak boleh mendahului atau terlambat dari imam dalam dua rukun fi’li (rukun yang berbentuk gerakan bukan ucapan) secara berurutan.
Sedangkan bersamaan dengan imam hukumnya ada lima:
6. Antara imam dan makmum harus cocok dalam susunan atau bentuk shalatnya. Maka dari itu, tidak sah melakukan shalat lima waktu dikerjakan berjamaah dengan orang yang shalat khusuf (gerhana) atau jenazah, karena bentuk shalatnya tidak sama.
7. Imam dan makmum harus berkumpul dalam satu tempat. Mengenai hal ini masih ada beberapa peninjauan:
Pertama, bila imam dan makmum sama-sama di dalam masjid, maka makmum boleh mengikuti imam sekalipun jarak antara makmum dan imamnya lebih dari 300 hasta (183,6 meter) asalkan 1) makmum tahu pada perpindahan rukun imam, 2) tidak ada penghalang yang membuat makmum tidak bisa sampai kepada imam jika misalnya makmum berjalan. Maksudnya, antara makmum dan imam ada jalan (ruang) tembus sekalipun dengan cara berpaling (mundur).
Kedua, bila imamnya di masjid sedangkan makmum berada di luar masjid, maka: 1) jarak antara ujung masjid dengan tempat itu tidak boleh melebihi 300 hasta (183, 6 meter) jika barisan shaf jamaah tidak bersambung hingga tempat tersebut; 2) makmum harus tahu perpindahan rukun imam; 3) tidak ada penghalang antara keduanya (harus ada jalan tembus yang menghubungkan makmum dan imam, walaupun dengan cara menyamping). Dalam persoalan kedua ini jalan tembus tidak bisa dengan cara berpaling (mundur).
Ketiga, bila jamaah dilakukan di tempat lapang atau di dalam bangunan yang bukan masjid, maka syaratnya: 1) jarak antara imam dan makmum tidak boleh lebih dari 300 hasta. 2) makmum harus mengetahui perpindahan rukun imamnya. 3) tidak ada penghalang antara keduanya (harus ada jalan tembus yang menghubungkan makmum dan imam, walaupun dengan cara menyamping). Dalam persoalan ketiga ini, juga jalan tembus tidak bisa dengan cara mundur.
8. Memiliki keyakinan bahwa shalat imamnya sah. Maka, makmum yang bermadzhab Syafii tidak sah bermakmum pada orang yang bermadzhab Maliki yang melarang membaca Basmalah di awal Fâtihah, jika makmum yakin bahwa imamnya tidak membaca Basmalah ketika membaca Fâtihah.
9. Tidak boleh bermakmum pada perempuan jika makmumnya laki-laki.
10. Tidak boleh bermakmum kepada orang yang sedang menjadi makmum.
========
Dari buku : Shalat itu Indah dan Mudah (Buku Tuntunan Shalat)
Diterbitkan oleh Pustaka SIDOGIRI
Pondok Pesantren Sidogiri. Sidogiri Kraton Pasuruan Jawa Timur
PO. Box 22 Pasuruan 67101. Telp. 0343 420444 Fax. 0343 428751
========
FOOTNOTE
[1] Lihat Hâsyiyat al-Bujayrami alâ al-Khathîb juz 2 hlm. 319.