Bab VII Shalat Jamaah (Bagian 2) : Kesunnahan dan Kemakruhan dalam Jama’ah
Sunnat-sunnat bagi imam :
1.Mengerjakan kewajiban dan kesunnatan seringan mungkin. Ini bukan berarti sunnat memilih yang tidak sempurna, akan tetapi sunnat tidak melebihi kesempurnaan yang telah ditetapkan, semisal membaca tasbîh tiga kali saja. Hal ini karena kondisi makmum bermacam-macam. Bisa jadi di antara mereka ada yang sudah tua atau terburu-buru disebabkan ada urusan.
2.Mengeraskan suaranya di setiap takbir baik takbîratul ihrâm atau takbir intiqâl (perpindahan rukun).
3.Memanjangkan shalatnya di rakaat pertama. Ini berlaku ketika pada awalnya ia shalat sendirian, lalu berfirasat bahwa akan ada orang yang akan bermakmum pada dirinya.
4.Sebelum takbir memerintah makmum agar meluruskan barisannya.
5.Memperlama rukû‘ dalam rakaat terakhir. Hal ini bertujuan untuk memberikan kesempatan pada makmum yang baru datang (masbûq) agar memperoleh hitungan rakaat.
6.Juga makruh menjadi imam bagi orang-orang yang kebanyakan dari mereka tidak menyukainya karena alasan syariat, semisal penguasa yang tidak disukai karena kedzalimannya atau orang yang tidak disukai karena tidak menjaga diri dari najis.[0]
Sunnat-sunnat bagi makmum :
1. Tidak berdiri kecuali setelah selesainya iqâmah.[1]
2. Meratakan shaf atau barisan. Makruh hukumnya shalat di belakang shaf yang belum penuh dan dapat menghilangkan keutamaan jamaah. Shaf terbilang rata, jika antara lengan makmum saling dempet satu sama lain, berikut juga antara mata kaki makmum.
Sedangkan tatanan shaf yang baik adalah :
·Pertama, jika makmumnya satu orang dan laki-laki maka berdiri di sebelah kanan imam, agak mundur sekiranya jari-jari kaki sedikit berada di belakang tumit imam (tidak sampai lebih dari 3 hasta[2]). Jika ada makmum lain datang, maka makmum ini berdiri di sebelah kiri imam lurus dengan makmum yang pertama, lalu setelah takbir, kedua makmum mundur dan merapatkan barisan ke belakang imam, atau imamnya maju. Akan tetapi lebih baik makmum mundur daripada imam maju.
·Kedua, jika makmumnya dua orang atau lebih, maka langsung merapatkan barisan di belakang imam.
·Ketiga, jika makmumnya perempuan dan imamnya laki-laki maka berdiri di belakang imam.[3]
·Keempat, jika shaf pertama sudah sempurna, maka makmum yang baru datang dapat membuat shaf kedua. Jika ia hanya sendirian, maka agar mendapatkan keutamaan jamaah, ia harus mencari teman dalam shaf dengan cara menarik seorang jamaah di depannya. Penarikan itu dilakukan setelah ia takbir. Hal itu jika dia memiliki praduga kuat bahwa orang yang akan ditariknya mau.
3. Dalam perpindahan rukun, makmum mulai bergerak pada saat imam sudah sempurna dalam pekerjaan rukunnya. Dalam sujud makmum mulai bergerak ketika imam sudah meletakkan dahinya ke tempat sujud. Dalam rukû‘ makmum baru bergerak ketika imam sudah meluruskan badannya. Dalam duduk, makmum baru bergerak setelah tegaknya imam. Ketika salam makmum baru salam ketika imam selesai melakukan salam yang kedua.
4. Makmum masbûq tetap disunnatkan membaca bacaan imam, ketika ia ikut dalam rukun itu. Misalnya seseorang ikut pada imam di saat tasyahhud, maka selain ikut tasyahhud ia juga sunnat membaca doa tasyahhud yang disyariatkan.
5. Makmum mengangkat kedua tangan saat bangun dari tasyahhud awal, walaupun bagi makmum pada saat itu bukan waktu tasyahhud, seperti halnya jika makmum baru ikut di rakaat kedua imam.
Makruh-makruh dalam Shalat Jamaah :
1.Makmum berdiri sejajar dengan imam, atau berada di belakang imam melebihi dari tiga hasta.
2.Sendirian dalam shaf, atau berdiri di shaf belakang padahal shaf di depannya belum penuh.
3.Shalat di atas imam atau sebaliknya: imam di lantai dasar sedangkan makmum di lantai atas, atau sebaliknya. Hal ini apabila masih bisa shalat di tempat yang datar (tidak bertingkat).
4.Orang baligh bermakmum kepada anak kecil yang sudah pintar. Kalau belum pintar maka tidak sah.
5.Orang yang adil bermakmum kepada imam yang fasik.
6.Orang fasih bermakmum kepada orang yang mengucapkan kata-kata dengan mengulang huruf seperti mengulang-ngulang wau atau fâ’ (seperti bicaranya orang gugup).
7.Orang fasih bermakmum kepada orang lahn (bacaannya tidak tepat) yang tidak merusak makna. Apabila sampai merusak makna dan tidak mau berusaha untuk memperbaiki bacaannya, maka tidak sah bermakmum kepadanya.
8.Bermakmum pada makmum masbûq setelah salamnya imam. Maksudnya bermakmum kepada makmum masbûq yang sedang menambah rakaat. Atau, pada saat semua makmum masbûq berdiri (setelah salamnya imam), ada di antara mereka yang maju untuk menjadi imam. Hal ini selain makruh juga dapat menghilangkan keutamaan jamaah.[4]
9.Bersamaan dengan imam dalam mengerjakan rukun, baik berupa rukun fi’li atau qauli. Untuk yang qauli adalah seperti membaca Fâtihah: pada saat imam membaca Fâtihah makmum sunnat mendengarkannya (tidak membaca sendiri). Hal itu apabila makmum yakin bisa menyusuli rukû‘ bersama imam. Bedahalnya jika imam membaca Fâtihah dan surat dengan cepat, jika makmum tidak membaca bersama dikhawatirkan terlambat dari imam, maka makmum tidak makruh membaca Fâtihah bersama imam.
=========
Dari buku : Shalat itu Indah dan Mudah (Buku Tuntunan Shalat)
Diterbitkan oleh Pustaka SIDOGIRI
Pondok Pesantren Sidogiri. Sidogiri Kraton Pasuruan Jawa Timur
PO. Box 22 Pasuruan 67101. Telp. 0343 420444 Fax. 0343 428751
=========
FOOTNOTE
[0] Lihat Fath al-Allâm juz 2 hlm 556.
[1] Ibid. hlm 535.
[2] Satu hasta = 61,2 cm (61,2 cm x 3 = 183,6 cm) Lihat Fikih Kontekstual hlm 14-15.
[3] Lihat Bughyat al-Musytarsyidîn hlm.70.
[4] Lihat Bughyat al-Musytarsyidîn hlm.72.