Bab VIII Shalat Ma‘dzûr
Shalat memang harus dilakukan dengan cara berdiri. Tapi, jika berhalangan (udzur), maka bisa dikerjakan dengan duduk, berbaring, atau terlentang, sesuai dengan tingkatan halangannya.
Jika shalat berdiri tidak bisa, maka boleh melakukannya dengan duduk. Jika tidak mampu duduk, maka dengan tidur miring. Jika tidak mampu tidur miring maka tidur terlentang.
Ukuran udzur (halangan) dalam hal ini ada dua macam, yaitu hissi (ukuran indera) dansyar’i (ukuran syariat).
Udzur hissi misalnya ketika mengerjakan shalat dengan berdiri, dikhawatirkan bisa berakibat buruk, misalnya sakitnya jadi parah; atau ketika shalat di atas perahu, khawatir kepalanya pusing/mabuk laut.
Sedangkan udzur syar’i, misalnya orang yang lumpuh, orang yang tidak mungkin diobati kecuali dengan duduk atau tidur terlentang, orang yang dâ’im al-hadats (selalu hadas) dan jika duduk maka hadasnya bisa dihentikan.[1]
Adapun cara shalat duduk, tidur miring atau terlentang adalah seperti berikut:
a. Cara Shalat dengan Duduk
Cara duduk: mushalli boleh memilih, antara duduk bersila atau duduk iftirâsy atau dengan menselonjorkan kaki. Akan tetapi lebih baik dengan duduk iftirâsy. Ada sekelompok ulama di antaranya Imam Subki dan Adzra‘i mengatakan bahwa bersila lebih utama karena untuk membedakan antara duduk yang mewakili berdiri dengan duduk tasyahhud. Imam Mawardi menyatakan bahwa perempuan lebih utama duduk bersila, agar auratnya lebih tertutup; sedangkan laki-laki lebih utama iftirâsy.
Cara rukû’: paling sedikit membungkukkan badan sampai dahi lurus di depan lutut. Sedangkan cara yang sempurna adalah meluruskan dahi ke tempat sujud.
Cara sujud, dilakukan sebagaimana orang yang kuat shalat berdiri. Bila tidak mampu untuk melakukan sujud seperti biasa, maka lakukan dengan membungkuk seperti cara rukû‘ akan tetapi lebih rendah. Kalau tidak bisa membungkukkan tubuh, maka cukup melakukan isyarat dengan menundukkan kepala. Isyarat dalam sujud lebih rendah daripada rukû‘.
b. Cara Shalat dengan Tidur Miring
Cara berbaring: 1) posisi kepala berada di sebelah utara (tubuh bagian kanan berada di bawah); 2) tubuh bagian depan menghadap kiblat. Kalau tidak bisa menghadap seluruhnya, maka cukup wajah saja.
Cara rukû‘ dan sujud: dilakukan dengan isyarat kepala. Isyarat sujud lebih rendah daripada isyarat rukû‘. Namun apabila bisa melakukan rukû‘ dan sujud sebagaimana orang yang berdiri maka wajib dikerjakan sebagaimana orang yang shalat berdiri. Kalau tidak bisa menggunakan isyarat kepala, maka gerakan-gerakan shalat dilakukan dengan isyarat mata. Dalam keadaan ini antara isyarat rukû‘ dan isyarat sujud tidak berbeda.
c. Cara Shalat dengan Tidur Terlentang
Cara berbaring: kepala berada di arah yang berlawanan dengan kiblat (di Indonesia kepala ada di timur). Agar bagian depan tubuh bisa dihadapkan ke kiblat maka, wajib menaruh penyangga di bawah bagian tubuhnya. Apabila sulit, maka wajib menghadapkan wajah dan telapak kaki. Jika tidak bisa maka menghadapkan kedua telapak kaki saja ke arah kiblat.
Cara rukû‘ dan sujud: menggunakan isyarat kepala dengan menoleh sampai dahi atau wajahnya didekatkan ke tempat shalat. Dalam sujud, isyarat kepala lebih rendah daripada rukû‘. Jika tidak bisa melakukannya dengan kepala, maka lakukanlahdengan mengedipkan mata. Dalam keadaan ini kedipan untuk rukû‘ dan sujud tidak berbeda. Jika masih tidak bisa, maka cukup dengan isyarat di dalam hati atau pikiran, baik itu gerakan yang wajib atau sunnat. Begitu juga, jika tidak mampu untuk mengucapkan bacaan-bacaan shalat dengan mulut, maka ucapkanlah dengan isyarat dalam hati
============
Dari buku : Shalat itu Indah dan Mudah (Buku Tuntunan Shalat)
Diterbitkan oleh Pustaka SIDOGIRI
Pondok Pesantren Sidogiri. Sidogiri Kraton Pasuruan Jawa Timur
PO. Box 22 Pasuruan 67101. Telp. 0343 420444 Fax. 0343 428751
============
FOOTNOTE
[1] Lihat Iânat al-Thâlibîn, juz 1 hlm.160-161.
DOKUMEN FB :