Perjalanan merupakan suatu yang membuat fisik dan pikiran menjadi penat. Oleh karena itu, syariat mempersilakan seorang musafir untuk melakukan shalat yang lebih ringan. Allah justru senang jika seorang hamba melaksanakan keringanan yang telah diberikan-Nya. Dalam hadits Rasulullah saw disebutkan:
Artinya: Dari Ibnu Umar r.a Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya Allah SWT senang jika keringanan-keringanan yang diberikan-Nya dikerjakan, sebagaimana Allah tidak suka jika kemaksiatan-kemaksiatan-Nya dikerjakan. (HR. Ahmad)
A. Keringanan Meng-qashar Shalat
Seorang musafir mendapat keringanan melakukan shalat qashar atau mempersedikit jumlah rakaat shalat. Qashar hanya bisa dilakukan untuk shalat empat rakaat menjadi dua rakaat. Tidak berlaku untuk shalat shalat maghrib (3 rakaat) atau shalat subuh (2 rakaat).
Shalat maghrib, tidak bisa di-qashar, karena shalat maghrib memang tidak bisa diparuh dua. Lagipula, shalat maghrib dijadikan witir (berjumlah ganjil) di (penghujung) siang hari. Pada akhirnya, ketika diparuh menjadi dua, maka nilai dari tujuan witir bisa hilang.
Sedangkan shalat shubuh tidak bisa di-qashar, karena ketika diparuh dua maka menjadi satu. Padahal dalam Islam tidak ada shalat satu rakaat, kecuali shalat witir. [1]
Definisi Qashar
Definisi dari Qashar, sebagaimana tertera dalam kitab-kitab fikih ialah: meringkas shalat empat rakaat menjadi dua rakaat. Apabila melihat definisi ini, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa musafir yang sudah memenuhi persyaratan untuk meng-qashar shalat hanya bisa meng-qashar shalat rubâ’iyah (shalat yang hitungan rakaatnya berjumlah empat), yaitu shalat zhuhur, ashar dan isya’. Sedangkan shalat maghrib dan shubuh tidak bisa di-qashar.
Syarat-syarat Qashar
Untuk diperbolehkan meng-qashar seorang musafir harus memenuhi sembilan syarat:
1. Perjalanannya jauh (safar thawîl).
Maksudnya, perjalanannya itu mencapai jarak 2 marhalah atau 16 farsakh (48 mil) atau lebih. Mengenai konversi 2 marhalah ke kilometer, masih terjadi beda pendapat:
Perjalanan sejauh dua marhalah ini tidak meninjau waktu, dengan artian, apabila jarak dua marhalah bisa dilalui dalam waktu yang singkat (dengan memakai pesawat, misalnya), musafir tetap diperbolehkan meng-qashar shalatnya. Penghitungan jarak tersebut diukur keberangkatannya saja, tidak dihitung dengan pulangnya.
2. Tahu bahwa qashar diperbolehkan.
Orang yang tidak tahu jika qashar itu diperbolehkan, maka qashar-nya tidak sah, sebab dianggap talâ’ub atau hanya sekedar bermain-main dalam melaksanakan ibadah.
3. Perjalanannya diperbolehkan (mubah).
Perjalanan mubah ini mencakup pada perjalanan yang wajib, sunnat dan makruh. Apabila perjalanan musafir adalah perjalanan maksiat (haram), maka ia tidak diperkenankan untuk melaksanakan qashar shalat. Sebab tujuan syariat memperbolehkan qashar adalah dalam rangka rukhsah (memberi dispensasi hukum). Sedangkan rukhsah tidak bisa dikaitkan pada kemaksiatan sebagaimana kaidah yang telah dirumuskan oleh ulama fikih: “Rukhshah tidak bisa dikaitkan dengan maksiat”.
Musafir yang tergolong maksiat ada tiga:
4. Memiliki tujuan.
Memiliki tujuan yang sudah lumrah menjadi tujuan dalam perjalanan (ghardhun shahîh), seperti berdagang, ziarah, silaturrahim, dll. Jadi, apabila kepergiannya tidak memiliki tujuan ghardhun shahîh, seperti rekreasi atau sekedar jalan-jalan, maka tidak diperkenankan untuk melakukan qashar shalat.
5. Tempat tujuannya jelas.
Yakni, musafir diperbolehkan melaksanakan qashar apabila tempat tujuannya jelas, dan tahu bahwa tempat yang dituju mencapai jarak 2 marhalah, meskipun tidak menentukan alamat detail dari tempat tujuan. Seperti halnya orang Bangkalan hendak pergi ke Jember, si musafir tidak harus menentukan Jember mana yang menjadi tempat tujuan.
Apabila tidak memiliki tempat tujuan yang jelas, seperti orang yang bingung (hâ’im) yang tidak tahu ke mana dia akan pergi, atau orang yang mencari barang/orang hilang yang masih belum diketahui tempatnya, maka musafir seperti ini tidak boleh melakukan qashar meskipun perjalanannya sudah mencapai 2 marhalah.
Termasuk dalam klasifikasi ini ialah musafir yang berstatus pengikut (ghairu mustaqil). Seperti istri yang ikut suami, atau pegawai yang ikut majikannya. Musafir model ini tidak boleh melakukan qashar. Akan tetapi terdapat perbedaan antara, musafir yang tidak punya tujuan jelas dengan musafir yang berstatus pengikut: yang pertama, tidak boleh melakukan qashar sama sekali meskipun perjalanannya sudah mencapai jarak 2 marhalah; sedangkan yang kedua baru diperbolehkan melakukan qashar jika perjalanannya sudah mencapai 2 marhalah.
6. Tidak bermakmum kepada orang yang menyempurnakan shalatnya.
Musafir yang mau meng-qashar shalatnya disyaratkan tidak bermakmum kepada: 1) Orang yang tidak qashar, baik orang itu musafir atau mukim; 2) Musafir lain yang masih diragukan: apakah shalatnya di-qashar atau tidak.
Musafir yang meng-qashar apabila bermakmum terhadap salah satu dari dua orang yang disebut di atas, meskipun hanya dalam sebagian rakaat, tetap berkewajiban untuk menyempurnakan shalatnya. Namun apabila ia bermakmum pada musafir lain yang masih diragukan, apakah dia meng-qashar shalatnya atau tidak, dan si makmum menggantungkan niatnya seperti “Saya akan qashar apabila imam qashar, dan akan tidak qashar apabila imam tidak qashar”, maka ia boleh qashar apabila ternyata imamnya qashar. Tapi apabila ternyata si imam tidak qashar, maka ia juga tidak boleh qashar.
7. Niat qashar ketika takbîratul ihram.
Seorang musafir yang mau melakukan qashar, harus niat qashar ketika takbîratul ihrâm. Contoh bacaan niat qashar adalah seperti:
Artinya: Saya niat shalat fardhu zhuhur dua rakaat dengan diqashar (jadi ma’mum/imam) karena Allah Ta’ala
Artinya: Saya niat shalat fardhu ashar dua rakaat dengan diqashar (jadi ma’mum/imam) karena Allah Ta’ala
Artinya: Saya niat shalat fardhu isya’ dua rakaat dengan diqashar (jadi ma’mum/imam) karena Allah Ta’ala.
8. Tetap dalam perjalanan sampai selesainya shalat.
Di saat musafir melakukan shalat qashar, dia harus tetap berstatus sebagai orang yang sedang melakukan perjalanan, tidak mukim, sehingga apabila di pertengahan shalatnya si musafir sudah tidak berstatus musafir lagi, baik dengan niat mukim di tengah-tengah shalat atau ragu: apakah dia niat mukim atau tidak, maka musafir tersebut wajib menyempurnakan shalatnya.
9. Menjaga dari hal-hal yang dapat menafikan niat qashar.
Musafir yang melakukan shalat qashar harus menjaga niat qashar-nya dari hal-hal yang dapat menafikan terhadap niatnya selama ia shalat, sehingga apabila dalam pertengahan shalatnya ragu, apakah dia niat qashar atau tidak, maka dia tidak boleh meng-qashar shalatnya dan seketika itu juga harus itmâm (menyempurnakan shalatnya menjadi empat rakaat).
Begitu pula apabila seorang musafir bermakmum, setelah mendapat dua rakaat, ternyata imamnya bangun, dan si makmum (musafir) ragu: apakah si imam bangun karena lupa atau malah untuk menyempurnakan salatnya. Nah, dalam kasus seperti ini, si musafir tetap harus menyempurnakan shalatnya.
============
Dari buku : Shalat itu Indah dan Mudah (Buku Tuntunan Shalat)
Diterbitkan oleh Pustaka SIDOGIRI
Pondok Pesantren Sidogiri. Sidogiri Kraton Pasuruan Jawa Timur
PO. Box 22 Pasuruan 67101. Telp. 0343 420444 Fax. 0343 428751
============
FOOTNOTE