B. Keringanan Men-jama’ Shalat
Definisi Jama’
Seorang musafir bisa men-jama’ shalatnya jika berada dalam perjalanan yang diperbolehkan untuk meng-qashar shalat, seperti yang telah diterangkan di atas.
Syarat-syarat Jama’
a. Syarat-syarat Jama’ Taqdîm
Syarat-syarat jama’ taqdîm ada empat:
1. Tartîb (dilakukan secara berurutan).
Apabila musafir mau melakukan jama’ shalat dengan jama’ taqdîm, maka dia harus mendahulukan shalat yang punya waktu terlebih dahulu. Semisal musafir akan men-jama’ shalat maghrib dengan isya’, maka dia harus mengerjakan shalat maghrib terlebih dahulu. Apabila yang dikerjakan terlebih dahulu adalah shalat isya’, maka shalat isya’nya tidak sah. Dan, apabila dia masih mau melakukan jama’, maka harus mengulangi shalat isya’nya setelah shalat maghrib. Bahkan apabila setelah mengerjakan jama’ taqdîm secara berurutan, ia baru ingat bahwa shalat yang pertama tidak sah, maka secara otomatis shalat yang kedua tidak dianggap, sebab dengan begitu ia berarti tidak mengerjakan syarat jama’ taqdîm yang berupa berurutan. Namun, menurut pendapat yang shahîh, shalat tersebut dianggap sebagai shalat sunnat.
2. Niat jama’ pada waktu shalat yang pertama.
Apabila musafir hendak melakukan shalat jama’ dengan jama’ taqdîm, maka ia harus berniat jama’ pada waktu pelaksanaan shalat yang pertama. Jadi, selagi ia masih ada dalam shalat yang pertama, waktu niat jama’ masih ada. Namun, yang lebih utama, niat jama’ dilakukan bersamaan dengan takbîratul ihrâm.
Adapun contoh bacaan lafal niatnya:
a. Niat shalat zhuhur di-jama’ taqdîm dengan ashar:
Artinya: Saya melakukan shalat fardhu zhuhur sebanyak empat rakaat dikumpulkan dengan shalat ashar dengan jama’ taqdîm (menjadi makmum/imam) karena Allah Ta’ala.
b. Lafal Niat shalat maghrib di-jama’ taqdîm dengan isya’:
Artinya: Saya melakukan shalat fardhu maghrib sebanyak tiga rakaat dikumpulkan dengan shalat isya’ dengan jama’ taqdîm (menjadi makmum/imam) karena Allah Ta’ala.
3. Bersegera (Muwalah).
Maksudnya, antara kedua shalat tidak ada selang waktu yang dianggap lama oleh ‘uruf (kebiasaan). Apabila dalam jama’ terdapat pemisah (renggang waktu) yang dianggap lama oleh ‘uruf, seperti melakukan shalat sunnat, maka ia tidak dapat melakukan jama’.
4. Masih berstatus musafir sampai selesainya shalat yang kedua.
Orang yang men-jama’ shalatnya harus berstatus musafir sampai selesainya shalat yang kedua. Apabila sebelum melaksanakan shalat yang kedua ada niat mukim, maka tidak boleh melakukan jama’ sebab udzurnya dianggap habis.
Catatan: Diperkenankannya men-jama’ shalat, di samping harus memenuhi beberapa syarat yang telah disebutkan di atas, syarat-syarat yang ada dalam qashar juga harus terpenuhi semua.
b. Syarat-syarat Jama’ Ta’khîr
Syarat syarat jama’ ta’khîr ada dua:
1. Niat jama’ di waktu shalat yang pertama.
Waktu niat dalam jama’ ta’khîr ialah mulai masuknya waktu shalat yang pertama sampai tersisa waktu kira-kira memuat satu rakaat. Misalnya yang akan di jama’ ta’khir adalah shalat zhuhur dengan ashar, maka niat jama’ ta’khîr bisa dilakukan mulai masuk waktu zhuhur sampai tersisa waktu satu rakaat. Jadi, apabila seseorang yang hendak melakukan jama’ ta’khîr, namun tidak niat jama’ sampai waktu shalat yang pertama habis, maka orang tersebut berdosa dan shalat yang pertama menjadi qadha’, bukan jama’.
Pada saat melaksanakan shalat tidak perlu berniat jama’ lagi, cukup niat jama’ yang sudah dilakukan pada waktunya shalat yang pertama. Niat shalatnya seperti shalat biasa.
2. Tetap berada dalam perjalanan sampai selesainya shalat yang kedua.
Apabila sebelum selesainya shalat kedua, ia berubah status menjadi mukim (baik dengan niat mukim di tengah-tengah shalat atau ragu: apakah dia niat mukim atau tidak) maka shalat yang pertama tidak jadi dan harus di-qadhâ’, hanya saja si musafir tidak berdosa.
Sedangkan tartîb (berurutan) dan muwâlat (bersegera) tidak menjadi persyaratan dalam jama’ ta’khîr. Dengan kata lain, musafir bebas memilih, shalat mana yang akan didahulukan, dan apakah ia mau melaksanakannya dengan muwâlat atau tidak. Akan tetapi ketika waktu shalat yang kedua sudah sempit maka ia wajib mendahulukan shalat yang kedua.
Keterangan: Sebenarnya, menurut sebagian ulama bolehnya melaksanakan jama’ tidak hanya untuk musafir saja, namun boleh juga bagi orang yang sakit keras, jika misalnya ia mengerjakan shalat satu persatu di masing-masing waktunya, maka sangat menyulitkan (masyaqqah syadîdah). Ini merupakan pendapat Imam Nawawi dalam kitab al-Majmû’ yang didukung oleh beberapa ulama yang lain.
Cara shalat yang paling ringan adalah melakukan jama’ ta’khîr zhuhur-ashar di akhir waktu ashar, lalu melakukan jama’ taqdîm maghrib-isya’ di awal waktu maghrib. Dengan demikian, seseorang bisa melakukan empat shalat itu hanya dengan satu kali berwudhu.
Jama’ Qashar secara Bersamaan
Orang yang berada dalam perjalanan bisa melakukan jama’ dan qashar sekaligus, asalkan sudah memenuhi syarat untuk melakukan keduanya. Dengan melakukan jama’-qashar sekaligus, maka seorang musafir setelah melakukan shalat zhuhur dua rakaat, ia langsung shalat ashar dua rakaat; atau setelah shalat maghrib tiga rakaat, langsung melakukan shalat isya’ dua rakaat.
Contoh bacaan niatnya sebagai berikut:
a. Lafal Niat shalat zhuhur di-jama’ taqdîm dengan ashar secara qashar.
Artinya: Saya niat shalat fardhu zhuhur dua rakaat di-jama’ taqdîm dengan ashar sambil diqashar karena Allah Ta’ala.
b. Lafal Niat shalat ashar di-jama’ taqdîm dengan zhuhur secara qashar.
Artinya: Saya niat shalat fardhu ashar dua rakaat di-jama’ taqdîm dengan zhuhur sambil diqashar karena Allah Ta’ala.
============
Dari buku : Shalat itu Indah dan Mudah (Buku Tuntunan Shalat)
Diterbitkan oleh Pustaka SIDOGIRI
Pondok Pesantren Sidogiri. Sidogiri Kraton Pasuruan Jawa Timur
PO. Box 22 Pasuruan 67101. Telp. 0343 420444 Fax. 0343 428751