965. Makalah : Tegakkan Ukhuwah Islamiyah dengan bermazhab

Dahulu kita “terikat” pada kesatuan dalam aqidah (aqidah state) atau jama’atul muslimin (jama’ah kaum muslim) dan berakhir pada masa kekhalifahan Turki Ustmani.
Sebuah episode sejarah keemasan Turki saat dipimpin oleh Khalifah Sultan Abdul Hamid II di awal abad ke-20.
Saat itu Theodore Hertzl, pemimpin Gerakan Zionis Internasional, mendatangi Abdul Hamid untuk meminta agar Turki Utsmani mau membagi sebagian tanah Palestina untuk dijadikan negara Israel. Permintaan Hertzl ini disertai dengan bujuk rayu dan janji, jika keinginannya dituruti maka Turki dan juga Sultan Abdul Hamid II akan diberi hadiah sangat besar oleh gerakan Zionis Internasional.
Namun dengan sikap tegas Abdul Hamid mengusir Hertzl seraya berkata, “Turki tidak akan pernah sekali pun menyerahkan Tanah Palestina kepada kamu hai orang-orang Yahudi. Tanah Palestina bukanlah milik Turki, melainkan milik seluruh umat Islam dunia. Jangan bermimpi bisa menginjak Tanah Palestina selama saya masih hidup!”
Sebab itu, Hertzl dan para tokoh Zionis lainnya merancang suatu konspirasi untuk menghancurkan kekhalifahan Islam Turki Utsmani sehingga kekhalifahan ini benar-benar ambruk pada tahun 1924 dan Turki pun diubah menjadi negeri Sekuler.
Keberakhiran kekhalifahan pada dasarnya karena terpengaruh paham individualisme dalam skala negara (nasionalisme) yang dilancarkan oleh kaum Zionis Yahudi. Paham nasionalisme untuk memecah belah umat Islam atau upaya meruntuhkan Ukhuwah Islamiyah. Kita telah terpecah belah ke dalam beberapa wilayah atau negara atau kesatuan dalam negara (nation state) yang dikenal dengan propaganda nasionalisme. Salah satu hasutan kaum Zionis Yahudi adalah menumbuhkan nasionalisme Arab.
Secara perlahan namun pasti, lembaga-lembaga kajian Islam yang didirikan para orientalis Barat (kaum Zionis Yahudi) ini meracuni pemikiran umat Islam Turki. Para orientalis menjelek-jelekkan sistem Islam dan membangga-banggakan sistem nasionalisme. Dari sinilah lahir gerakan nasionalisme Arab.
Jenderal Allenby mengirim seorang perwira Yahudi Inggris bernama Edward Terrence Lawrence ke Hijaz untuk menemui para pemimpin di sana. TE. Lawrence ini diterima dengan sangat baik dan seluruh hasutannya di makan mentah-mentah oleh tokoh-tokoh Hijaz. Maka orang-orang dari Hijaz ini kemudian membangkitkan nasionalisme Arab dan mengajak tokoh-tokoh pesisir Barat Saudi untuk berontak terhadap kekuasaan kekhalifahan Turki Utsmaniyah, dan setelah itu mendirikan Kerajaan Islam Saudi Arabia.
Paham nasionalisme adalah paham individualisme dalam skala besar yakni skala negara. Dengan terhasut paham nasionalisme (individualisme skala besar) mengakibatkan “keadaan perang” di negara atau wilayah saudara muslim lainnya seperti di Palestina, Afghanistan, dll, tidak dianggap atau dirasakan sebagai keadaan perang di negara kaum muslim lainnya.
Sedangkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Kamu akan melihat orang-orang mukmin dalam hal saling mengasihi, mencintai, dan menyayangi bagaikan satu tubuh. Apabila ada salah satu anggota tubuh yang sakit, maka seluruh tubuhnya akan ikut terjaga dan panas (turut merasakan sakitnya).” (HR Bukhari 5552) (HR Muslim 4685)
Bahkan bisa saja terjadi karena nasionalisme, antara dua negara seperti Indonesia dengan Malaysia berperang padahal yang berperang adalah sama-sama muslim.
Lawrence selain menghasut paham nasionalisme untuk meruntuhkan Ukhuwah Islamiyah, dia menyelidiki dimana letak kekuatan umat Islam dan berkesimpulan bahwa kekuatan umat Islam terletak kepada ketaatan dengan mazhab (bermazhab) dan istiqomah mengikuti tharikat-tharikat tasawuf. Lawrence mengupah ulama-ulama yang anti tharikat dan anti mazhab untuk menulis sebuah buku yang menyerang tharikat dan mazhab. Buku tersebut diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dan dibiayai oleh pihak orientalis.
Salah satu cara fitnah atau hasutan atau ghazwul fikri (perang pemahaman) yang dilakukan oleh kaum Zionis Yahudi agar timbul  perselisihan di antara sesama muslim adalah dengan mengangkat kembali pemahaman ala pemahaman ulama Ibnu Taimiyyah. Sasarannya adalah agar timbul perselisihan karena perbedaan pemahaman dengan menghasut agar umat Islam memahami Al Qur’an dan As Sunnah dengan akal pikiran masing-masing tanpa perlu mengikuti pemahaman imam atau pemimpin ijtihad kaum muslim (Imam Mujtahid Mutlak) alias Imam Mazhab yang empat.
Ulama Ibnu Taimiyyah semula bermazhab Hambali, bertalaqqi (mengaji) kepada ulama-ulama bermazhab Hambali.
Namun pada akhirnya ulama Ibnu Taimiyyah memahami Al Qur’an dan As Sunnah  lebih menyandarkan dengan belajar sendiri (secara otodidak) melalui cara muthola’ah (menelaah kitab) dan memahaminya dengan akal pikiran sendiri (pemahaman secara ilmiah).
Para ulama telah menyampaikan bahwa jika memahami Al Qur’an dan As Sunnah dengan belajar sendiri (secara otodidak)  melalui cara muthola’ah (menelaah kitab) dan memahaminya dengan akal pikiran sendiri, kemungkinan besar akan berakibat negative seperti,
1. Ibadah fasidah (ibadah yang rusak) , ibadah yang kehilangan ruhnya atau aspek bathin
2. Tasybihillah Bikholqihi , penyerupaan Allah dengan makhluq Nya
Ibadah fasidah (ibadah yang rusak) ditimbulkan dari kesalahpahaman misalkan kesalapahaman tentang bid’ah yang dapat menjerumuskan kedalam kekufuran sebagaimana yang diuraikan dalam tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/12/06/2011/11/03/ahli-bidah-sebenarnya/ 
atau kesalahpahaman berakibat pengingkaran hadits Rasulullah sebagaimana contoh yang diuraikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/11/22/tidak-cukup/ 
Tasybihillah Bikholqihi , penyerupaan Allah dengan makhluq Nya berakibat terjerumus kedalam kekufuran.
Imam besar ahli hadis dan tafsir, Jalaluddin As-Suyuthi dalam “Tanbiat Al-Ghabiy Bi Tabriat Ibn ‘Arabi” mengatakan “Ia (ayat-ayat mutasyabihat) memiliki makna-makna khusus yang berbeda dengan makna yang dipahami oleh orang biasa. Barangsiapa memahami kata wajh Allah, yad , ain dan istiwa sebagaimana makna yang selama ini diketahui (wajah Allah, tangan, mata, bertempat), ia kafir secara pasti.”
Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H/1182 M) dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad, “Sunu ‘Aqaidakum Minat Tamassuki Bi Dzahiri Ma Tasyabaha Minal Kitabi Was Sunnati Lianna Dzalika Min Ushulil Kufri”, “Jagalah aqidahmu dari berpegang dengan dzahir ayat dan hadis mutasyabihat, karena hal itu salah satu pangkal kekufuran”.
Begitupula peringatan yang disampaikan oleh khataman Khulafaur Rasyidin, Imam Sayyidina Ali ra dalam riwayat berikut,
Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra berkata : “Sebagian golongan dari umat Islam ini ketika kiamat telah dekat akan kembali menjadi orang-orang kafir.“
Seseorang bertanya kepadanya : “Wahai Amirul Mukminin apakah sebab kekufuran mereka? Adakah karena membuat ajaran baru atau karena pengingkaran?”
Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra menjawab : “Mereka menjadi kafir karena pengingkaran. Mereka mengingkari Pencipta mereka (Allah Subhanahu wa ta’ala) dan mensifati-Nya dengan sifat-sifat benda dan anggota-anggota badan.” (Imam Ibn Al-Mu’allim Al-Qurasyi (w. 725 H) dalam Kitab Najm Al-Muhtadi Wa Rajm Al-Mu’tadi).
Ulama-ulama terdahulu juga telah memperingatkan agar menghindari kitab-kitab ulama Ibnu Taimiyyah karena pemahamannya telah menyelisihi pemahaman Imam Mazhab yang Empat, sebagaimana yang disampaikan dalam tulisan padahttp://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2010/02/ahlussunnahbantahtaimiyah.pdf   maupun padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/12/07/2011/07/28/semula-bermazhab-hambali/ 
Memang  ulama Ibnu Taimiyyah membaca Al Qur’an , Tafsir bil Matsur, Hadits Shohih, Sunan, Musnad, lalu ulama Ibnu Taimiyyah pun berjtihad dengan pendapat beliau. Apa yang ulama Ibnu Taimiyyah katakan tentang kitab-kitab tersebut, pada hakikatnya adalah hasil ijtihad dan ra’yu beliau sendiri.
Sumbernya memang Al Quran dan As Sunnah, tapi apa yang ulama Ibnu Taimiyyah sampaikan semata-mata lahir dari kepala beliau sendiri. Setiap upaya pemahaman bisa benar dan bisa pula salah. Kemungkinan salahnya semakin besar jika yang melakukan upaya pemahaman (ijtihad) tidak dikenal oleh jumhur ulama berkompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak.
Kesalahpahaman besar telah terjadi ketika ulama Ibnu Taimiyyah mengatakan bahwa apa yang beliau pahami dan sampaikan adalah pemahaman Salafush Sholeh. Jika apa yang ulama Ibnu Taimiyyah pahami dan sampaikan sesuai dengan pemahaman Salafush Sholeh tentu tidaklah masalah namun ketika apa yang ulama Ibnu Taimiyyah pahami dan sampaikan tidak sesuai dengan pemahaman sebenarnya Salafush Sholeh maka pada hakikatnya ini termasuk fitnah terhadap para Salafush Sholeh.  Fitnah akhir zaman.
Setelah 350 tahun ulama Ibnu Taimiyyah wafat , ada ulama yang terpincut dengan pemahaman beliau yakni  ulama Muhammad bin Abdul Wahhab sebagaimana yang dapat kita ketahui dalam tulisan padahttp://arisandi.com/?p=964  berikut kutipannya
***awal kutipan****
Di antara karya-karya ulama terdahulu yang paling terkesan dalam jiwanya adalah karya-karya Syeikh al-Islam Ibnu Taimiyah. Beliau adalah mujaddid besar abad ke 7 Hijriyah yang sangat terkenal.
Demikianlah meresapnya pengaruh dan gaya Ibnu Taimiyah dalam jiwanya, sehingga Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab bagaikan duplikat(salinan) Ibnu Taimiyah. Khususnya dalam aspek ketauhidan, seakan-akan semua yang diidam-idamkan oleh Ibnu Taimiyah semasa hidupnya yang penuh ranjau dan tekanan dari pihak berkuasa, semuanya telah ditebus dengan kejayaan Ibnu `Abdul Wahab yang hidup pada abad ke 12 Hijriyah  itu
Setelah beberapa lama menetap di Mekah dan Madinah, kemudian beliau berpindah ke Basrah. Di sini beliau bermukim lebih lama, sehingga banyak ilmu-ilmu yang diperolehinya, terutaman di bidang hadith danmusthalahnya, fiqh dan usul fiqhnya, gramatika (ilmu qawa’id) dan tidak ketinggalan pula lughatnya semua.
Lengkaplah sudah ilmu yang diperlukan oleh seorang yang pintar yang kemudian dikembangkan sendiri melalui metode otodidak (belajar sendiri) sebagaimana lazimnya para ulama besar Islam mengembangkan ilmu-ilmunya. Di mana bimbingan guru hanyalah sebagai modal dasar yang selanjutnya untuk dapat dikembangkan dan digali sendiri oleh yang bersangkutan.
****akhir kutipan*****
Ulama Muhammad bin Abdul Wahhab mengikuti pemahaman ulama Ibnu Taimiyyah yang menisbatkan kepada Salafush Sholeh dan dikenal sebagai sekte Salafi dan karena bercampur dengan pemahaman ulama Muhammad bin Abdul Wahhab sendiri maka dikenal sebagai sekte Salafi Wahabi atau disingkat sekte Wahabi. Dinisbatkan kepada nama ayahnya sekedar untuk menghindari kesalahpahaman.
Syaikh  Ahmad ibn Hajar al- Butami dalam biografi Ulama Muhammad ibnu Abdil Wahhab yang juga ditashhihkan oleh Ulama Abdul Aziz bin Abdillah bin Bazz, mengakui Wahhabi adalah ajaran Ulama Muhammad bin Abdil Wahhab.
– Di halaman 59 disebutkan :  ﻓﻘﺎﻣﺖ ﺍﻟﺜﻮﺭﺍﺕ ﻋﻠﻰ ﻳﺪ ﺩﻋﺎﺓ ﺍﻟﻮﻫﺎﺑﻴﻴﻦ  “maka tegaklah revolusi di atas tangan para da’i Wahhabi”
– Di halaman 60 disebutkan :  ﻋﻠﻰ ﺃﺳﺎﺱ ﻣﻦ ﺍﻟﺪﻋﻮﺓ ﺍﻟﺪﻳﻨﻴﺔ ﺍﻟﻮﻫﺎﺑﻴﺔ ﻓﻲ ﻣﻜﺔ  “atas dasar dari dakwah agama wahhabi di Mekkah”  ,  ﻳﺪﻳﻨﻮﻥ ﺑﺎﻹﺳﻼﻡ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻤﺬﻫﺐ ﺍﻟﻮﻫﺎﺑﻲ , “mereka beragama dengan Islam atas Mazhab Wahhabi”
Pengikut pemahaman ulama Ibnu Taimiyyah (salafi)  mempunyai dua sisi yang berlawanan.
Sisi pertama adalah sebagaimana pemahaman ulama Muhammad bin Abdul Wahhab dengan ditandai mereka membenci berkelompok atau berorganisasi atau berjamaah minal muslim.
Sisi kedua adalah sebagaimana pemahaman ulama Jamaludin Al-Afghany bersama muridnya ulama Muhammad Abduh dan dilanjutkan oleh ulama seperti ulama Rasjid Ridha ditandai mereka tidak membenci berkelompok atau berorganisasi atau berjama’ah minal muslimin dan dikenal dengan upaya pergerakan (harakah) atau perpolitikan (siyasi).
Contoh perselisihan di antara dua sisi pemahaman ulama Ibnu Taimiyyah dengan adanya fatwa ketua Lajnah Daimah, Ulama Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz (Salafi Wahabi) tentang Ikhwanul Muslimin, sebagaimana yang dapat kita ketahui dalam tulisan pada http://nasihatonline.wordpress.com/2010/09/24/fatwa-fatwa-ulama-ahlus-sunnah-tentang-kelompok-kelompok-islam-kontemporer/ 
Namun kedua-dua jalur pemahaman tersebut telah dihasut untuk tidak lagi mentaati atau mengikuti pemahaman pemimpin ijtihad kaum muslim (Imam Mujtahid Mutlak) alias Imam Mazhab yang empat. Mereka dihasut untuk memahami Al Qur’an dan As Sunnah dengan akal pikiran sendiri.
Hal serupa, kaum Zionis Yahudi menghasut kaum liberalisme untuk memahami Al Qur’an dan As Sunnah dengan akal pikiran sendiri, yang dikatakan oleh mereka sebagai pemahaman yang menyesuaikan dengan keadaan zaman (modernisasi/pembaharuan) atau pemahaman bersifat pragmatis (kepentingan). Sebagaimana contoh diuraikan dalam tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/04/28/mengangkat-taimiyah/ 
Contoh perselisihan diantara pengikut pemahaman ulama Ibnu Taimiyyah dapat kita ketahui dalam tulisan pada
Perbedaan pemahaman di antara mereka sehingga menimbulkan perselisihan membuktikan bahwa  apa yang mereka pahami adalah semata-mata berdasarkan akal pikiran mereka sendiri
Andaikan apa yang dipahami oleh mereka bersumber dari lisannya ulama-ulama yang sholeh yang tersambung kepada lisannya Sayyidina Muhammad Shallallahu alaihi wasallam pastilah tidak akan bertentangan karena apa yang disampaikan oleh Rasulullah adalah apa yang diwahyukanNya dan seluruh yang berasal dari Allah Azza wa Jalla , pastilah tidak bertentangan
Al Qur’an adalah firmanNya yang disampaikan melalui malaikat Jibril.
As Sunnah adalah apa yang diwahyukanNya.
Hadits Qudsi adalah firmanNya yang disampaikan dengan redaksi/matan berasal dari Rasululah
Firman Allah Azza wa Jalla,
أَفَلاَ يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِندِ غَيْرِ اللّهِ لَوَجَدُواْ فِيهِ اخْتِلاَفاً كَثِيراً
Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur’an ? Kalau kiranya Al Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (QS An Nisaa 4 : 82)
Kita telah mendapatkan perselisihan karena perbedaan pamahaman. Oleh karenanya marilah kita kembalikan kepada Al Qur’an dan As Sunnah.
Firman Allah ta’ala yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya“. (QS An Nisaa [4]:59 )
Permasalahannya adalah mengembalikan berdasarkan pemahaman siapa ?
Kita ikuti Sunnah Rasulullah bahwa jika kita mendapatkan perselisihan karena perbedaan pemahaman / pendapat maka agar selamat dari kesesatan kita disuruh untuk mengikuti as-sawad al a’zham atau mengikuti kesepakatan jumhur ulama
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menyampaikan, “Sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat pada kesesatan. Oleh karena itu, apabila kalian melihat terjadi perselisihan maka ikutilah as-sawad al a’zham (jumhur ulama).” (HR. Ibnu Majah, Abdullah bin Hamid, at Tabrani, al Lalika’i, Abu Nu’aim. Menurut Al Hafidz As Suyuthi dalam Jamius Shoghir, ini adalah hadits Shohih)
Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari XII/37 menukil perkataan Imam Thabari rahimahullah yang menyatakan: “Berkata kaum (yakni para ulama), bahwa jamaah adalah Sawadul A’dzam.
Kemudian diceritakan dari Ibnu Sirin dari Abi Mas’ud, bahwa beliau mewasiatkan kepada orang yang bertanya kepadanya ketika ‘Utsman dibunuh, untuk berpegang teguh pada Jamaah, karena Allah tidak akan mengumpulkan umat Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam kesesatan. Dan dalam hadits dinyatakan bahwa ketika manusia tidak mempunyai imam, dan manusia berpecah belah menjadi kelompok-kelompok maka janganlah mengikuti salah satu firqah/sekte. Hindarilah semua firqah/sekte itu jika kalian mampu untuk menghindari terjatuh ke dalam keburukan”.
Jangan sekali-kali mengikuti pemahaman sebuah sekte atau kelompok yang menyempal dari kaum muslimin walaupun mereka mengaku-aku sebagai yang dimaksud al ghuroba karena boleh jadi mereka adalah yang dimaksud oleh Rasulullah sebagai “orang muda” bagaikan  meluncurnya anak panah dari busurnya. Selengkapnya dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/10/15/orang-orang-muda/ 
Dari Ibnu ‘Abbas r.a. berkata Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “hendaklah kamu selalu bersama jamaah muslimin dan imam mereka“
Aku bertanya; kalau tidak ada jamaah muslimin dan imam bagaimana?
Nabi menjawab; hendaklah kau jauhi seluruh firqah (kelompok-kelompok / sekte) itu, sekalipun kau gigit akar-akar pohon hingga kematian merenggutmu kamu harus tetap seperti itu. (Riwayat Bukhari VI615-616, XIII/35. Muslim XII/135-238 Baghawi dalam Syarh Sunnah XV/14. Ibnu Majah no. 3979, 3981. Hakim IV/432. Abu Dawud no. 4244-4247.Baghawi XV/8-10. Ahmad V/386-387 dan hal. 403-404, 406 dan hal. 391-399)
Ciri-ciri ulama yang pemahamannya menyebabkan perselisihan telah diuraikan dalam tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/12/19/ciri-ciri-mereka/ 
Dari dahulu sampai sekarang , jumhur ulama telah sepakat bahwa ulama yang berkompetensi sebagai pemimpin ijtihad kaum muslim (Imam Mujtahid Mutlak) adalah para Imam Mazhab yang empat. Memang ada Imam Mazhab yang lain selain yang berempat namun pada akhirnya pendapat / pemahaman mereka karena tidak komprehensive atau tidak menyeluruh sehingga kaum muslim mencukupkannya pada Imam Mazhab yang empat. 
Contoh ulama yang masih berpegang teguh kepada pemahaman/pendapat Imam Mazhab adalah Mufti Mesir Profesor Doktor Ali Jum`ah sebagaimana contoh yang terurai dalam tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/10/30/hukum-penutup-muka/ 
Untuk menegakkan ukhuwah Islamiyah maka gigitlah As Sunnah dan sunnah Khulafaur Rasyidin berdasarkan pemahaman pemimpin ijtihad (Imam Mujtahid) / Imam Mazhab dan penjelasan dari para pengikut Imam Mazhab sambil merujuk darimana mereka mengambil yaitu Al Quran dan as Sunnah. Janganlah memahaminya dengan akal pikiran sendiri atau mengikut pemahaman ulama yang tidak dikenal berkompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa menguraikan Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad) .
Ibnul Mubarak berkata :”Sanad merupakan bagian dari agama, kalaulah bukan karena sanad, maka pasti akan bisa berkata siapa saja yang mau dengan apa saja yang diinginkannya.” (Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Muqoddimah kitab Shahihnya 1/47 no:32 )
Dari Ibnu Abbas ra Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda…”Barangsiapa yg berkata mengenai Al-Qur’an tanpa ilmu maka ia menyediakan tempatnya sendiri di dalam neraka” (HR.Tirmidzi)
Imam Syafi’i ~rahimahullah mengatakan “tiada ilmu tanpa sanad”.
Al-Hafidh Imam Attsauri ~rahimullah mengatakan “Penuntut ilmu tanpa sanad adalah bagaikan orang yang ingin naik ke atap rumah tanpa tangga
Bahkan Al-Imam Abu Yazid Al-Bustamiy , quddisa sirruh (Makna tafsir QS.Al-Kahfi 60) ; “Barangsiapa tidak memiliki susunan guru dalam bimbingan agamanya, tidak ragu lagi niscaya gurunya syetan” Tafsir Ruhul-Bayan Juz 5 hal. 203
Sanad ilmu / sanad guru sama pentingnya dengan sanad hadits.
Sanad hadits adalah otentifikasi atau kebenaran sumber perolehan matan/redaksi hadits dari lisan Rasulullah.
Sedangkan Sanad ilmu atau sanad guru adalah otentifikasi atau kebenaran sumber perolehan penjelasan baik Al Qur’an maupun As Sunnah dari lisan Rasulullah.
Kita memahami Al Qur’an dan As Sunnah berdasarkan apa yang kita dengar dari apa yang disampaikan oleh ulama-ulama terdahulu yang tersambung dengan lisannya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Inilah yang dinamakan bertalaqqi (mengaji) dengan ulama bersanad ilmu atau bersanad guru tersambung kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Hal yang harus kita ingat bahwa Al Qur’an pada awalnya tidaklah dibukukan. Ayat-ayat Al Qur’an hanya dibacakan dan dihafal (imla) kemudian dipahami bersama dengan yang menyampaikannya.
Hal yang akan ditanyakan seperti :
Apakah yang kamu pahami telah disampaikan / dikatakan oleh ulama-ulama terdahulu yang tersambung lisannya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ?
Siapakah ulama-ulama terdahulu yang mengatakan hal itu ?
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda yang artinya “Sampaikan dariku sekalipun satu ayat dan ceritakanlah (apa yang kalian dengar) dari Bani Isra’il dan itu tidak apa (dosa). Dan siapa yang berdusta atasku dengan sengaja maka bersiap-siaplah menempati tempat duduknya di neraka” (HR Bukhari)
Hakikat makna hadits tersebut adalah kita hanya boleh menyampaikan satu ayat yang diperoleh dari orang yang disampaikan secara turun temurun sampai kepada lisannya Sayyidina Muhammad bin Abdullah Shallallahu alaihi wasallam.
Kita tidak diperkenankan menyampaikan apa yang kita pahami dengan akal pikiran sendiri dengan cara membaca dan memahami namun kita sampaikan apa yang kita dengar dan pahami dari lisan mereka yang sanad ilmunya tersambung kepada lisannya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam karena hanya perkataan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang merupakan kebenaran atau ilmuNya.
Contoh sanad Ilmu atau sanad guru Imam Syafi’i ra
1. Baginda Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam
2. Baginda Abdullah bin Umar bin Al-Khottob ra
3. Al-Imam Nafi’, Tabi’ Abdullah bin Umar ra
4. Al-Imam Malik bin Anas ra
5. Al-Imam Syafei’ Muhammad bin Idris ra
Al Imam Syafi’i ra mendapatkan penjelasan Al Qur’an dan As Sunnah dari lisannya Al-Imam Malik bin Anas ra,
Al-Imam Malik bin Anas ra mendapatkan penjelasan Al Qur’an dan As Sunnah dari lisannya Al-Imam Nafi’, Tabi’ Abdullah bin Umar ra,
Al-Imam Nafi’, Tabi’ Abdullah bin Umar ra mendapatkan penjelasan Al Qur’an dan As Sunnah dari lisannya Baginda Abdullah bin Umar bin Al-Khottob ra,
Baginda Abdullah bin Umar bin Al-Khottob ra mendapatkan penjelasan Al Qur’an dan As Sunnah dari lisannya Baginda Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam
Salah satu cara mempertahankan sanad ilmu atau sanad guru adalah dengan mengikuti pendapat/pemahaman pemimpin ijtihad kaum muslim (Imam Mujtahid Mutlak) alias Imam Mazhab yang empat dan penjelasan dari para pengikut Imam Mazhab sambil merujuk darimana mereka mengambil yaitu Al Quran dan as Sunnah.
Ulama yang tidak mau bermazhab , pada hakikatnya telah memutuskan rantai sanad ilmu atau sanad guru, berhenti pada akal pikirannya sendiri dimana didalamnya ada unsur hawa nafsu atau kepentingan.
Marilah kita tegakkan ukhuwah Islamiya dengan mengikuti pemahaman / pendapat Imam Mazhab yang empat dan penjelasan dari para ulama pengikut Imam Mazhab sambil merujuk darimana mereka mengambil yaitu Al Quran dan as Sunnah
Marilah memahami Al Qur’an dan As Sunnah dengan bertalaqqi (mengaji) kepada ulama yang bermazhab ditambah dengan mutho’laah (menelaah) kitab-kitab Imam Mazhab dan para pengikutnya.
Ikutilah Imam Mazhab yang telah disepakati dalam suatu wilayah / negara agar mudah saling belajar dan saling mengingatkan. Di negara kita, pada umumnya adalah bermazhab Imam Syafi’i . Imam Syafi”i ~rahimahullah adalah imam mazhab yang cukup luas wawasannya karena bertalaqqi (mengaji) langsung kepada Salafush Sholeh dari berbagai tempat, mulai dari tempat tinggal awalnya di Makkah, kemudian pindah ke Madinah,  pindah ke Yaman, pindah ke Iraq,  pindah ke Persia,  kembali lagi ke Makkah, dari sini pindah lagi ke Madinah dan akhirnya ke Mesir. Perlu dimaklumi bahwa perpindahan beliau itu bukanlah untuk berniaga, bukan untuk turis, tetapi untuk mencari ilmu, mencari hadits-hadits, untuk pengetahuan agama. Jadi tidak heran kalau Imam Syafi’i ~rahimahullah  lebih banyak mendapatkan hadits dari lisannya Salafush Sholeh, melebihi dari yang didapat oleh Imam Hanafi ~rahimahullah dan Imam Maliki ~rahimahullah 
Namun dalam hal menetapkan perkara kewajiban yang jika ditinggalkan berdosa, menetapkan perkara larangan yang jika dilanggar berdosa dan menetapkan perkara pengharaman yang jika dilanggar berdosa atau membuat fatwa atau menetapkan penegakkan hukum syari’ah maka sebaiknya tetap memperbandingkan pendapat antara Imam Mazhab yang empat. Oleh karenanya pada perguruan tinggi Islam, fakultas syari’ah diperlukan jurusan  perbandingan mazhab dan hukum.
Hal yang harus kita ingat selalu janganlah menjadikan akal pikiran kita sebagai berhala
Allah Azza wa Jalla berfirman,
اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ 
Mereka menjadikan para rahib dan pendeta mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah“. (QS at-Taubah [9]:31 )
Ketika Nabi ditanya terkait dengan ayat ini, “apakah mereka menyembah para rahib dan pendeta sehingga dikatakan menjadikan mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah?”
Nabi menjawab, “tidak”
« أما أنهم لم يكونوا يعبدونهم ولكنهم كانوا إذا أحلوا لهم شيئاً استحلوه وإذا حرموا عليهم شيئاً حرموه »
Mereka tidak menyembah para rahib dan pendeta itu, tetapi jika para rahib dan pendeta itu menghalalkan sesuatu bagi mereka, mereka menganggapnya halal, dan jika para rahib dan pendeta itu mengharamkan bagi mereka sesuatu, mereka mengharamkannya
Pada riwayat yang lain disebutkan, Rasulullah bersabda ” mereka (para rahib dan pendeta) itu telah menetapkan haram terhadap sesuatu yang halal, dan menghalalkan sesuatu yang haram, kemudian mereka mengikutinya. Yang demikian itulah penyembahannya kepada mereka.” (Riwayat Tarmizi)
Firman Allah ta’ala yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu dan janganlah kamu melampaui batas, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang melampaui batas.” (Qs. al-Mâ’idah [5]: 87).
Mereka yang mengada-ada atau membuat perkara baru (bid’ah) yang bukan kewajiban menjadi kewajiban (ditinggalkan berdosa) atau sebaliknya, yang tidak diharamkan menjadi haram (dikerjakan berdosa) atau sebaliknya dan yang tidak dilarang menjadi dilarang (dikerjakan berdosa) atau sebaliknya adalah yang disebut sebagai ahli bid’ah.
Oleh karenanya ahli bid’ah termasuk pelaku perbuatan syirik, karena penyembahan kepada selain Allah, penyembahan diantara pembuat bid’ah (perkara baru) dengan pengikutnya,  perbuatan yang tidak ada ampunannya.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda
إِنَّ اللهَ حَجَبَ اَلتَّوْبَةَ عَنْ صَاحِبِ كُلِّ بِدْعَةٍ
Sesungguhnya Allah menutup taubat dari semua ahli bid’ah”. [Ash-Shahihah No. 1620]
Begitu pula dalam sebuah harokah, organisasi, organisasi masyarakat  kita dapat temukan aturan-aturan (nidhom) yang harus ditaati seluruh anggota berisikan larangan dan kewajiban yang disebut idari atau aturan / anggaran dasar.  Aturan-aturan inipun tidak boleh melanggar agama atau melanggar apa yang telah ditetapkanNya. Agama adalah perintahNya dan laranganNya
Dari Ibnu ‘Abbas r.a. berkata Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “di dalam agama itu tidak ada pemahaman berdasarkan akal pikiran, sesungguhnya agama itu dari Tuhan, perintah-Nya dan larangan-Nya.” (Hadits riwayat Ath-Thabarani)
Adalah hal yang sangat fatal dalam sebuah  harokah (pergerakkan) memerintahkan anggotanya untuk melakukan bom bunuh diri karena tidak ada perintah dalam Al Qur’an dan As Sunnah untuk melakukan tindakan bom bunuh diri. Alasan mereka adalah berjihad di jalan Allah , menegakkan syariat Islam.
Ulama sufi, Syaikh Ibnu Athoillah mengatakan “Janganlah kamu merasa bahwa tanpamu Syariat Islam tak kan tegak. Syariat Islam telah tegak bahkan sebelum kamu ada.  Syariat Islam tak membutuhkanmu, kaulah yg butuh pada Syariat Islam”
Syariat Islam telah ditegakkan oleh Rasulullah dan Salafush Sholeh dengan pengorbanan jiwa raga dan harta dalam peperangan-peperangan yang telah mereka lalui. Perkara syariat telah “dibukukan” dan ditetapkan hukum perkaranya (istinbat) oleh  para Imam Mazhab yang empat kedalam 5 hukum perkara yakni Wajib (fardhu), Sunnah(mandub), haram, makruh, mubah. Jadi kita hanya tinggal menjalankan syariat Islam.
Perkara syariat adalah syarat yang harus dipenuhi sebagai hamba Allah  yakni menjalankan segala apa yang telah ditetapkanNya atau diwajibkanNya, wajib dijalankan dan wajib dijauhi, meliputi perkara kewajiban yang jika ditinggalkan berdosa, menjauhi segala yang telah dilarangNya yang jika dilanggar berdosa dan menjauhi segala yang telah diharamkanNya yang jika dilanggar berdosa
Perkara syariat tidak tergantung apakah “diberlakukan” atau belum “diberlakukan” oleh penguasa negeri. Di negara manapun kita tinggal maka kita harus menjalankan perkara syariat. Jika penguasa negeri yang muslim “membiarkan” hukum-hukum yang berlaku tidak sesuai dengan syariat Islam maka mereka akan mempertanggung jawabkan atas pembiaran tersebut di akhirat kelak.  Itulah resiko jadi penguasa negeri.
Untuk itulah kita perlu untuk ikut memilih pemimpin walaupun hukum yang berlaku belum memenuhi syariat Islam agar pemimpin yang kita pilih, dengan kekuasaan yang diperoleh dapat memberlakukan syariat Islam dalam kepemimpinannya dan dalam kehidupan bernegara.
Hal yang aneh terjadi, ada yang tidak ikut memilih pemimpin negeri namun setelah terpilih pempin negeri, mereka taati karena pemimpinnya “masih sholat” walaupun pemimpinya tidak menjalankan syariat. Ada juga yang tidak ikut memlih pemimpin negeri namun setelah terpilih pemimpin negeri mereka masih saja teriak-teriak “tegakkan syariat”. Seharusnyalah mereka ikut memilih dan mensosialisasikan pemimpin yang akan menjalankan syariat Islam.
Rasulullah bersabda : “Tidak boleh bagi tiga orang berada dimanapun di bumi ini, tanpa mengambil salah seorang diantara mereka sebagai amir (pemimpin) 
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Rasulullah bersabda:  “Barangsiapa memilih seseorang menjadi pemimpin untuk suatu kelompok, yang di kelompok itu ada orang yang lebih diridhai Allah dari pada orang tersebut, maka ia telah berkhianat kepada Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman.” (HR. Hakim)
Dalam sejarah Islam kita kenal adanya ahlu a-halli wa al-‘aqdi yang merupakan demokrasi berdasarkan perwakilan yang berkompetensi dan terpercaya.  Ketetapan/fatwa/kebijaksanaan diambil dengan permusyawaratan / perwakilan.
Musyawarah untuk mufakat sistem perwakilan yang berkompetensi dan terpercaya atau ahlu a-halli wa al-‘aqdi telah dicontohkan oleh para Khulafaur Rasyidin dalam menetapkan khalifah pertama setelah wafatnya Sayyidina Muhammad shallallahu alaihi wasallam.
Begitu pula yang dimaksud oleh ulama-ulama kita dahulu yang ikut mendirikan negara kita dalam menetapkan sila ke 4 dari Pancasila yakni “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan”.  Memberikan kepercayaan kepada wakil-wakil yang berkompeten dan dipercayai untuk melaksanakan musyawarah untuk suatu  mufakat.
Namun dalam perkembangannya di negara kita, orang-orang kemudian merubahnya  menjadi demokrasi sebebas-bebasnya, tidak ada bedanya antara pemilih yang jahat dengan pemilih yang baik, (semua satu suara ) dalam menetapkan Presiden dan Wakil presiden, Kepala Pemerintahan Daerah seperti Gubernur dan Bupati. Itu semua terjadi karena mereka mengaku muslim namun tidak menjalankan syariat Islam, syarat menjadi hamba Allah Azza wa Jalla.
Sering timbul pertanyaan bukankah bermazhab hanya bagi mereka yang tidak mampu berijtihad ?
Apakah bahan untuk melakukan ijtihad masih memadai pada zaman kini ?Hadits-hadits yang telah dibukukan hanyalah sebagian saja dan sebagian lagi dalam bentuk hafalan dan para penghafal hadits ini sudah tidak dapat kita temukan lagi. Para Imam Mazhab yang empat mengumpulkan hadits jauh lebih banyak daripada hadits yang telah dibukukan selain itu para Imam Mazhab yang empat berkompetensi dalam berijtihad sekaligus beristinbat, menetapkan hukum perkara kedalam lima hukum perkara yakni wajib (fardhu), sunnah (mandub), haram, makruh, mubah. Para ahli hadits pun pada umumnya hanya berkompetensi berijtihad, menganalisa sanad hadits dan matan hadits dan mereka tidak menyampaikan hukum perkara. Imam Bukhari dan Imam Muslim pun bertalaqqi (mengaji) kepada murid ulama bermazhab.
Pertanyaan lain adalah, bolehkah kita mengikuti pendapat dari Imam Mazhab yang empat yang paling baik, paling shohih atau yang tarjih (paling kuat) ?
Kembali lagi pada jawaban di atas , apa dasar kita menentukan lebih baik, lebih shohih, lebih kuat (tarjih) ?  Akal pikiran kita sendiri ?  mau berhalakan akal pikiran ?
Tulisan kali ini kami akhiri dengan nasehat untuk kami pribadi dan para pembaca pada umumnya untuk tidak memusuhi siapapun yang telah bersyahadat walaupun berbeda pemahaman, karena kita bersaudara. Manusia yang mempunyai rasa permusuhan terhadap manusia yang telah bersyahadat hanyalah kaum Yahudi dan orang-orang musyrik
Firman Allah ta’ala yang artinya, “orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang beriman adalah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik” ( QS Al Maaidah [5]: 82 )
Jadi kalau mempunyai rasa permusuhan terhadap manusia yang telah bersyahadat atau memerangi manusia yang telah bersyahadat maka boleh jadi telah menjadi musyrik karena terjerumus kedalam kekufuran seperti tanpa disadari telah menjadi ahli bid’ah, mengada-ada atau membuat perkara baru (bid’ah) dalam perkara larangan maupun kewajiban yang merupakan hak Allah ta’ala menetapkanNya.
Dari Ibnu ‘Abbas r.a. berkata Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya di masa kemudian akan ada peperangan di antara orang-orang yang beriman.” Seorang Sahabat bertanya: “Mengapa kita (orang-orang yang beriman) memerangi orang yang beriman, yang mereka itu sama berkata: ‘Kami telah beriman’.” Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Ya, karena mengada-adakan di dalam agama (mengada-ada dalam perkara yang merupakan hak Allah ta’ala menetapkannya yakni perkara kewajiban, larangan dan pengharaman) , apabila mereka mengerjakan agama dengan pemahaman berdasarkan akal pikiran, padahal di dalam agama itu tidak ada pemahaman berdasarkan akal pikiran, sesungguhnya agama itu dari Tuhan, perintah-Nya dan larangan-Nya.” (Hadits riwayat Ath-Thabarani).
Firman Allah Azza wa Jalla
wai’tashimuu bihabli allaahi jamii’an walaa tafarraquu waudzkuruu ni’mata allaahi ‘alaykum idz kuntum a’daa-an fa-allafa bayna quluubikum fa-ashbahtum bini’matihi ikhwaanan
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah secara berjama’ah, dan janganlah kamu bercerai berai , dan ingatlah nikmat Allah atas kamu semua ketika kamu bermusuh-musuhan maka Dia (Allah) menjinakkan antara hati-hati kamu  maka kamu menjadi bersaudara”  (QS Ali Imron [3]: 103) 
“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara”. ( Qs. Al-Hujjarat :10)
Hai orang-orang yang beriman, barang siapa di antara kamu yang murtad dari agamanya maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mu’min, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui.” (QS Al Ma’iadah [5]:54)
Diriwayatkan hadits dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Demi Allah, kalian tidak akan masuk surga hingga kalian beriman. Belum sempurna keimanan kalian hingga kalian saling mencintai.” (HR Muslim)
Wassalam
Zon di Jonggol,  Kab Bogor 16830

Pos terkait