966. Makalah: Pemerintahan Islam

Pada zaman kini belum ada satupun ulama atau umaro yang berlaku sebagai Khalifah Islam.
Khalifah Islam adalah pemimpin Islam ditaati dan diikuti oleh seluruh umat Islam tanpa batas wilayah / negara.
Periode kehidupan umat Islam di dunia telah digambarkan oleh Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam,  “Kalian akan mengalami babak Kenabian selama masa yang Allah kehendaki, kemudian babak kekhalifahan mengikuti manhaj Kenabian selama masa yang Allah kehendaki, kemudian babak Raja-raja yang menggigit,selama masa yang Allah kehendaki, kemudian babak para penguasa yang memaksakan kehendak selama masa yang Allah kehendaki, kemudian kalian akan mengalami babak kekhalifahan mengikuti manhaj Kenabian, kemudian Nabi diam.” (HR Ahmad)
Sebagaimana kita ketahui Ummat Islam dewasa ini sedang menjalani babak keempat dari lima babak perjalanan sejarahnya di akhir zaman.
Tiga babak sebelumnya telah dilalui:
Babak pertama, babak An-Nubuwwah (Kenabian) yakni masa ketika manhaj kenabian berlangsung
Babak kedua, babak Khilafatun ’ala Minhaj An-Nubuwwah (Kekhalifahan yang mengikuti Sistem / Metode Kenabian),
Babak ketiga, babak Mulkan ’Aadhdhon (Raja-raja yang menggigit)., masa ketika raja-raja masih “mengigit” / berpegangan pada Al-Qur’an dan Hadits.
Sesudah berlalunya babak ketiga yang ditandai dengan tigabelas abad masa kepemimpinan Kerajaan Daulat Bani Umayyah, kemudian Kerajaan Daulat Bani Abbasiyyah dan terakhir Kesultanan Utsmani Turki, maka selanjutnya ummat Islam memasuki babak keempat, babak Mulkan Jabbriyyan (Penguasa-penguasa yang memaksakan kehendak seraya mengabaikan kehendak Allah dan RasulNya).
Babak keempat diawali semenjak runtuhnya Kesultanan Utsmani Turki yang sekaligus merupakan kekhalifahan Islam terakhir pada tahun 1924. Setelah runtuhnya sistem pemerintahan Islam, maka selanjutnya ummat Islam mulai menjalani kehidupan dengan mengekor kepada pola kehidupan bermasyarakat dan bernegara ala Barat.
Mulailah di berbagai negeri muslim didirikan di atasnya berbagai nation-state (negara bedasarkan kesatuan bangsa / wilayah). Padahal sebelumnya semenjak Nabi shollallahu ’alaih wa sallam menjadi kepala negara Daulah Islamiyyah (Negara Islam) pertama di Madinah, ummat Islam hidup dalam sistem aqidah-state (negara berdasarkan kesatuan aqidah) selama ribuan tahun.
Pemerintahan Islam adalah terjadi pada masa ummat Islam dalam kesatuan aqidah (aqidah state) tidak dibatasi oleh wilayah atau negara. Oleh karenannya ketika itu ummat Islam bersatu dalam Islam maka dipimpin oleh seorang khalifah dibantu pemimpin-pemimpin berdasarkan wilayah kekuasaan. 
Pada saat ini tidak ada lagi pemerintahan Islam karena ummat Islam terpecah dalam beberapa wilayah / negara (nation state), yang ada adalah penguasa negeri yang memerintah dengan berlandaskan syariat Islam atau pemerintahan Islami, itupun tidak sepenuhnya berlandaskan syariat Islam.
Contohnya mereka masih menjadikan kaum kafir sebagai “pemimpin” mereka seperti dalam PBB.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Rasulullah bersabda:  “Barangsiapa memilih seseorang menjadi pemimpin untuk suatu kelompok, yang di kelompok itu ada orang yang lebih diridhai Allah dari pada orang tersebut, maka ia telah berkhianat kepada Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman.” (HR. Hakim)
Contoh lainnya penguasa-penguasa negeri mengaku muslim , mengaku menerapkan syariat Islam dalam kepemimpinannya namun kenyataannya menjadikan kaum yang dimurkai oleh Allah Azza wa Jalla sebagai teman, penasehat, pelindung.
Rasulullah bersabda: “ Demi Allah, yang diriku ada dalam genggaman tanganNya, tidaklah mendengar dari hal aku ini seseorangpun dari ummat sekarang ini, Yahudi, dan tidak pula Nasrani, kemudian tidak mereka mau beriman kepadaku, melainkan masuklah dia ke dalam neraka.”
Ibnu Mardawih meriwayatkan dari Abu Dzar, dia berkata, “Saya bertanya kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam tentang orang-orang yang dimurkai“, beliau bersabda, ‘Kaum Yahudi.’ Saya bertanya tentang orang-orang yang sesat, beliau bersabda, “Kaum Nasrani.
Hamad bin Salamah meriwayatkan dari Adi bin Hatim, dia berkata, “Saya bertanya kepada RasulullahShallallahu alaihi wasallam ihwal ‘bukan jalannya orang-orang yang dimurkai’. Beliau bersabda, “Yaitu kaum Yahudi.’ Dan bertanya ihwal ‘bukan pula jalannya orang-orang yang sesat’. “Beliau bersabda, ‘Kaum Nasrani adalah orang-orang yang sesat.
Firman Allah Azza wa Jalla
Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang menjadikan suatu kaum yang dimurkai Allah sebagai teman? Orang-orang itu bukan dari golongan kamu dan bukan (pula) dari golongan mereka. Dan mereka bersumpah untuk menguatkan kebohongan, sedang mereka mengetahui“. (QS Al Mujaadilah [58]:14 )
Janganlah orang-orang mu’min mengambil orang-orang kafir menjadi wali (pemimpin) dan meninggalkan orang-orang mu’min. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah…” (Qs. Ali-Imran : 28)
Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak, atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka.” (Qs. Al Mujadilah : 22)
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang, di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya” , (QS Ali Imran, 118)
Beginilah kamu, kamu menyukai mereka, padahal mereka tidak menyukai kamu, dan kamu beriman kepada kitab-kitab semuanya. Apabila mereka menjumpai kamu, mereka berkata “Kami beriman”, dan apabila mereka menyendiri, mereka menggigit ujung jari antaran marah bercampur benci terhadap kamu. Katakanlah (kepada mereka): “Matilah kamu karena kemarahanmu itu”. Sesungguhnya Allah mengetahui segala isi hati“. (QS Ali Imran, 119)
Hal yang harus kita sadari, pada zaman ini penguasa di suatu negara tidak mungkin “ditaati” oleh kaum muslim di negara lain atau pengusa di suatu negara tidak mungkin “memerintah” kaum muslim di negara lain.
Pemerintah Islam telah tiada ketika keruntuhan kekhalifahan Turki Ustmani sebagaimana yang disampaikan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
Diriwayatkan oleh Umamah al Bahiliy dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, ”Ikatan-ikatan islam akan lepas satu demi satu. Apabila lepas satu ikatan, akan diikuti oleh lepasnya ikatan berikutnya. Ikatan islam yang pertama kali lepas adalah pemerintahan dan yang terakhir adalah shalat.” (HR. Ahmad)
Kapankah dijanjikan Allah Azza wa Jalla , kekhalifahan akan kembali dalam dunia Islam ?
Rasulullah bersabda “Andaikan dunia tinggal sehari sungguh Allah akan panjangkan hari tersebut sehingga diutus padanya seorang lelaki dari ahli baitku namanya serupa namaku dan nama ayahnya serupa nama ayahku. Ia akan penuhi bumi dengan kejujuran dan keadilan sebagaimana sebelumnya dipenuhi dengan kezaliman dan penganiayaan.” (HR abu Dawud 9435)
Makna “Andaikan dunia tinggal sehari” adalah pada akhir zaman dimana lelaki keturunan Nabi Muhammad shallallahu ’alaihi wa sallam tersebut adalah Imam Mahdi. Ia akan diizinkan Allah untuk merubah keadaan dunia yang penuh kezaliman dan penganiayaan menjadi penuh kejujuran dan keadilan.
Imam Mahdi yang akan mengantarkan kaum muslim meninggalkan babak keempat, babak Mulkan Jabbriyyan (penguasa-penguasa yang memaksakan kehendak seraya mengabaikan kehendak Allah dan RasulNya) menuju kembali babak kekhalifahan mengikuti manhaj Kenabian sebagaimana periodisasi  kehidupan umat Islam di dunia telah digambarkan oleh Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam di atas.
Rasulullah bersabda “Aku kabarkan berita gembira mengenai Al-Mahdi yang diutus Allah ke tengah ummatku ketika banyak terjadi perselisihan antar-manusia dan gempa-gempa. Ia akan penuhi bumi dengan keadilan dan kejujuran sebagaimana sebelumnya dipenuhi dengan kesewenang-wenangan dan kezaliman.”(HR Ahmad 10898).
Rasulullah bersabda “Akan terjadi perselisihan setelah wafatnya seorang pemimpin, maka keluarlah seorang lelaki dari penduduk Madinah mencari perlindungan ke Mekkah, lalu datanglah kepada lelaki ini beberapa orang dari penduduk Mekkah, lalu mereka membai’at Imam Mahdi secara paksa, maka ia dibai’at di antara Rukun dengan Maqam Ibrahim (di depan Ka’bah). Kemudian diutuslah sepasukan manusia dari penduduk Syam, maka mereka dibenamkan di sebuah daerah bernama Al-Baida yang berada di antara Mekkah dan Madinah.” (HR Abu Dawud 3737)
Pesan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, “Ketika kalian melihatnya (kehadiran Imam Mahdi), maka berbai’at-lah dengannya walaupun harus merangkak-rangkak di atas salju karena sesungguhnya dia adalah Khalifatullah Al-Mahdi.” (HR Abu Dawud 4074)
Banyak ghazawat (perang) akan dipimpin Imam Mahdi. Dan –subhaanallah– Allah akan senantiasa menjanjikan kemenangan baginya.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam “Kalian perangi jazirah Arab dan Allah beri kalian kemenangan. Kemudian Persia (Iran), dan Allah beri kalian kemenangan. Kemudian kalian perangi Rum, dan Allah beri kalian kemenangan. Kemudian kalian perangi Dajjal,dan Allah beri kalian kemenangan.” (HR Muslim 5161)
Dalam hadits di atas yang diperangi pertama kali adalah jazirah Arab karena pada akhir zaman nanti jazirah Arab , pada masa akhir babak Mulkan Jabbriyyan (penguasa-penguasa yang memaksakan kehendak seraya mengabaikan kehendak Allah dan RasulNya) mereka akan kembali mengalami masa jahiliyah , keadaan mereka benar-benar mengabaikan kehendak Allah dan RasulNya. Kemudian diperangi wilayah Persia (Iran)  untuk meluruskan kesalahpahaman-kesalahpahaman saudara-saudara kita kaum Syiah.  Kemudian diperangi wilayah Rum , meluruskan kaum Nasrani yang telah disesatkan oleh kaum Yahudi melalui Paulus (Yahudi dari Tarsus). Kemudian terakhir memerangi Dajjal.
Jadi jelaslah bahwa kekhalifahan akan kembali pada akhir zaman yang waktunya hanya Allah Azza wa Jalla yang tahu.
Hal yang harus kita ingat bahwa apa pun yang telah terjadi adalah kehendak Allah Azza wa Jalla. Oleh karenanya kita harus menghadapi kehendak Allah ta’ala dengan sikap dan perbuatan yang dicintai Allah Ar Rahmaan Ar Rahiim.
Kita harus menjalankan Syariat Islam bagaimanapun keadaan yang telah dikehendaki Allah Azza wa Jalla dengan semampu kita.
Rasulullah bersabda, “Biarkanlah apa yang aku tinggalkan untuk kalian, hanyasanya orang-orang sebelum kalian binasa karena mereka gemar bertanya dan menyelisihi nabi mereka, jika aku melarang kalian dari sesuatu maka jauhilah, dan apabila aku perintahkan kalian dengan sesuatu maka kerjakanlah semampu kalian.” (HR Bukhari 6744) Sumber: http://www.indoquran.com/index.php?surano=76&ayatno=19&action=display&option=com_bukhari.
Ulama sufi, Syaikh Ibnu Athoillah mengatakan “Janganlah kamu merasa bahwa tanpamu Syariat Islam tak kan tegak. Syariat Islam telah tegak bahkan sebelum kamu ada.  Syariat Islam tak membutuhkanmu, kaulah yg butuh pada Syariat Islam”
Syariat Islam telah ditegakkan oleh Rasulullah dan Salafush Sholeh dengan pengorbanan jiwa raga dan harta dalam peperangan-peperangan yang telah mereka lalui.
Perkara syariat telah “dibukukan” dan ditetapkan hukum perkaranya (istinbat) oleh  para Imam Mazhab yang empat kedalam 5 hukum perkara yakni Wajib (fardhu), Sunnah(mandub), haram, makruh, mubah.
Jadi kita hanya tinggal menjalankan syariat Islam. Tidak ada lagi namanya perang jihad menegakkan syariat Islam karena belum ada lagi Khalifah Islam yang menetapkannya sebagai perang jihad yang ada tinggallah jihad melawan hawa nafsu, jihad menjalankan syariat Islam.
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda , “Kalian datang dari melakukan suatu amal yang paling baik, dan kalian datang dari jihad kecil menuju jihad yang lebih besar, yaitu: seorang hamba melawan hawa nafsunya.”
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda,  “Kita baru saja kembali dari medan perang kecil ke medan perang yang lebih besar, yaitu melawan hawa nafsu
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda, “hendaklah kamu selalu bersama jamaah muslimin dan imam mereka ! “
Aku bertanya; “kalau tidak ada jamaah muslimin dan imam bagaimana ?”
Nabi menjawab; hendaklah kau jauhi seluruh firqah (kelompok-kelompok / sekte) itu, sekalipun kau gigit akar-akar pohon hingga kematian merenggutmu kamu harus tetap seperti itu
Firman Allah Azza wa Jalla,  wau’bud rabbaka hattaa ya’tiyaka alyaqiinu,  “dan taatilah Tuhanmu sampai kematian menjemputmu” (QS Al Hijr : 99)
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda
المجاهد من جاهد نفسه في طاعة الله
“Seorang mujahid adalah orang yang mengendalikan hawa nafsunya untuk mentaati Allah”
Perkara syariat adalah syarat yang harus dipenuhi sebagai hamba Allah  yakni menjalankan segala apa yang telah ditetapkanNya atau diwajibkanNya, wajib dijalankan dan wajib dijauhi, meliputi perkara kewajiban yang jika ditinggalkan berdosa, menjauhi segala yang telah dilarangNya yang jika dilanggar berdosa dan menjauhi segala yang telah diharamkanNya yang jika dilanggar berdosa.
Perkara syariat tidak tergantung apakah “diberlakukan” atau belum “diberlakukan” oleh penguasa negeri. Di negara manapun kita tinggal maka kita harus menjalankan perkara syariat. Jika penguasa negeri yang muslim “membiarkan” hukum-hukum yang berlaku tidak sesuai dengan syariat Islam maka mereka akan mempertanggung jawabkan atas pembiaran tersebut di akhirat kelak.  Itulah resiko jadi penguasa negeri.
Untuk itulah kita perlu untuk ikut memilih pemimpin walaupun hukum yang berlaku belum memenuhi syariat Islam agar pemimpin yang kita pilih, dengan kekuasaan yang diperoleh dapat memberlakukan syariat Islam dalam kepemimpinannya dan dalam kehidupan bernegara.
Hal yang aneh terjadi, ada yang tidak ikut memilih pemimpin negeri namun setelah terpilih pempin negeri, mereka taati karena pemimpinnya “masih sholat” walaupun pemimpinya tidak menjalankan syariat. Ada juga yang tidak ikut memlih pemimpin negeri namun setelah terpilih pemimpin negeri mereka masih saja teriak-teriak “tegakkan syariat”. Seharusnyalah mereka ikut memilih dan mensosialisasikan pemimpin yang akan menjalankan syariat Islam.
Rasulullah bersabda : “Tidak boleh bagi tiga orang berada dimanapun di bumi ini, tanpa mengambil salah seorang diantara mereka sebagai amir (pemimpin) 
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Rasulullah bersabda:  “Barangsiapa memilih seseorang menjadi pemimpin untuk suatu kelompok, yang di kelompok itu ada orang yang lebih diridhai Allah dari pada orang tersebut, maka ia telah berkhianat kepada Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman.” (HR. Hakim)
Dalam sejarah Islam kita kenal adanya ahlu a-halli wa al-‘aqdi yang merupakan demokrasi berdasarkan perwakilan yang berkompetensi dan terpercaya.  Ketetapan/fatwa/kebijaksanaan diambil dengan permusyawaratan / perwakilan.
Musyawarah untuk mufakat sistem perwakilan yang berkompetensi dan terpercaya atau ahlu a-halli wa al-‘aqdi telah dicontohkan oleh para Khulafaur Rasyidin dalam menetapkan khalifah pertama setelah wafatnya Sayyidina Muhammad shallallahu alaihi wasallam.
Begitu pula yang dimaksud oleh ulama-ulama kita dahulu yang ikut mendirikan negara kita dalam menetapkan sila ke 4 dari Pancasila yakni “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan”.  Memberikan kepercayaan kepada wakil-wakil yang berkompeten dan dipercayai untuk melaksanakan musyawarah untuk suatu  mufakat.
Namun dalam perkembangannya di negara kita, orang-orang kemudian merubahnya  menjadi demokrasi sebebas-bebasnya, tidak ada bedanya antara pemilih yang jahat dengan pemilih yang baik, (semua satu suara ) dalam menetapkan Presiden dan Wakil presiden, Kepala Pemerintahan Daerah seperti Gubernur dan Bupati. Itu semua terjadi karena mereka mengaku muslim namun tidak menjalankan syariat Islam, syarat menjadi hamba Allah Azza wa Jalla
Kehendak Allah Azza wa Jalla,  kita berada pada masa babak Mulkan Jabbriyyan (penguasa-penguasa yang memaksakan kehendak seraya mengabaikan kehendak Allah dan RasulNya) dalam bentuk pemerintahan NKRI.
Kita menerima atau mentaati hukum-hukum yang berlaku di negara kita bukan berarti mengabaikan hukum Allah ta’ala namun kita terima dan taati hanya yang tidak menyelisihi Al Qur’an dan Hadits.
Firman Allah Azza wa Jalla yang artinya “wahai orang-orang beriman taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rosul-Nya dan ulil amri di antara kamu ” (QS An Nisa’ : 59 )
Dalam ayat tersebut, Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan orang-orang yang beriman untuk mentaati Allah , Rasul-Nya dan ulil amri. Hanya saja ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya adalah ketaatan mutlak, sedangkan ketaaatan kepada ulil amri tergantung kepada ketaatan mereka kepada Allah dan Rasul-Nya.
Adapun maksud dari ulil amri dalam ayat tersebut menurut Ibnu Abbas ra, sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Thobari dalam tafsirnya adalah para pakar fiqh dan para ulama yang komitmen dengan ajaran Islam.
Sedangkan Ibnu Katsir berpendapat bahwa ulil amri di atas mencakup para ulama dan umara ( pemimpin ). Ini sesuai dengan apa yang kita dapati dalam perjalanan sejarah Islam pertama, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adalah sosok ulama dan umara sekaligus. Begitu juga para Khulafa’ Rasyidin sesudahnya : Sayyidina Abu Bakar ra, Sayyidina  Umar ra , Sayyidina  Ustman ra  dan Sayyidina Ali ra, begitu juga beberapa khalifah dari bani Umayah dan bani Abbas.
Namun dalam perkembangan sejarah Islam selanjutnya, sangat jarang kita dapatkan seorang pemimpin negara yang benar-benar paham terhadap Syariat Islam. Dari sini, mulailah terpisah antara ulama dan umara. Dalam posisi seperti ini, manakah yang harus kita taati terlebih dahulu, ulama atau umara ?
Kalau kita perhatikan ayat di atas secara seksama, akan kita dapati bahwa ketaatan kepada ulil amri tergantung kepada ketaatan mereka kepada Allah dan Rasul-Nya. Sedang orang yang paling mengetahui tentang perintah Allah dan Rasul-Nya adalah para ulama, dengan demikian ketaatan kepada para ulama lebih didahulukan daripada ketaatan kepada umara, karena umara sendiri wajib mentaati ulama yang komitmen dengan ajaran Islam.
Oleh karenanya, kita mentaati ulama, karena mereka mentaati Allah Azza wa Jalla dan Rasulullah shallallahu  ‘alaihi wasallam, begitu juga kita mentaati umara’ karena mereka mentaati para ulama .
Maka, sangatlah indah jika para umara dan ulama tersebut saling bekerjasama untuk memimpin, mengajak, dan memerintahkan umat ini kepada hal-hal yang baik dan bermanfaat di dunia dan akherat, serta melarang hal-hal yang jelek yang akan membawa mudharat bagi bangsa dan umat.
Suatu negara akan baik dan maju jika para pemimpin dan ulamanya baik, sebaliknya jika keduanya rusak, maka negarapun pasti akan rusak.  Dua kelompok manusia, jika mereka baik, maka masyarakat akan baik, sebaliknya jika mereka rusak, maka masyarakatpun akan ikut rusak, mereka itu adalah para ulama dan umara.
Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830

Pos terkait