Berkah Manut Dawuh Kiai Najib, Kisah Nyata Hidup Bahagia.
Seorang santri baru saja diterima bekerja di bank. Sangkin gembiranya, dia ingin matur kepada Mbah Yai Najib dan mohon doa restu. Saat sowan, seperti biasa, Mbah Yai tanya-tanya segala hal tentang si tamu. Bagaimana kabarnya, keluarganya, dan seterusnya.
“Dulu kuliahnya apa, Kang?”
“Ekonomi, Yai.”
Mbah Yai senyap sejenak.
“Nanti jangan kerja di bank ya, Kang.”
Mak jlegeeeeer! Kaget betul si santri. Bagai disambar petir. Lha wong itu hajat yang mau disampaikan. Padahal dia sama sekali belum matur apa-apa terkait pekerjaan barunya itu.
“Ng.. nggih, Yai.”
Si santri urung menyampaikan hajatnya. Tak ada sanggahan apalagi kata ‘tapi’. Ia hanya minta didoakan dan mohon pangestu Mbah Yai.
Tentu saja dhawuh Mbah Yai ini khusus tertuju untuk si santri itu. Bukan untuk santri-santri lain, apalagi masyarakat umum di luar sana. Bukan untuk mendiskreditkan bank dan pegawai bank. Melainkan dhawuh khusus untuk si santri dengan berbagai kondisinya saat itu. Ibarat resep dokter, dhawuh Mbah Yai ini bukan obat generik.
Keluar dari ndalem si santri masih lemas. Ya wajar saja. Ia lulusan ekonomi, masih muda dan banyak cita-cita, belum mulai kerja, baru dapat pekerjaan yang lumayan mapan. Tapi disuruh lepas. Logikanya tak terima. Namun akhirnya ia memantapkan hati atas dhawuh Mbah Yai. Ia pun mundur dari pekerjaan yang baru didapatkannya. Waton manut.
Ndilalah, alias qadarallah, setelah berbagai lika-liku hidup ia lalui, santri ini tetap bisa bekerja dengan layak dan berkecukupan. Ia jadi dosen plat merah suatu kampus di daerah asalnya. Dan yang paling penting adalah ketenteraman hati yang diperoleh, sebab manut dhawuh gurunya.
Ada lagi kejadian serupa, tapi bukan dialami santri yang mukim di pondok. Melainkan orang luar yang ‘kebetulan’ sowan ke pondok.
Tersebutlah seorang pensiunan pejabat dengan pangkat cukup bergengsi. Terbersit di hatinya cita-cita agar anak-anaknya jadi orang yang soleh-solehah. Ia pun berencana mencari pesantren untuk belajar anak-anaknya itu.
Demi tujuan tersebut, ia mengontrak sebuah rumah khusus di Jogja. Entah mengapa pilihannya di Jogja, aku tak tahu. Selama ngontrak itu ia survey pesantren-pesantren seantero Jogja. Sekaligus sowan kepada para pengasuhnya. Salah satu sosok yang disowani adalah Mbah Yai Najib.
“Pak Kiai,” kata pria itu, “Saya ingin memondokkan anak saya, mohon saran dan doa panjenengan agar anak-anak saya jadi orang yang soleh.”
“Amin, amin, amin,” jawab Mbah Yai, “Tapi ada syaratnya.”
“Apa syaratnya, Pak Kiai?”
“Syaratnya,” ujar Mbah Yai, “Membiayai anak ya harus dengan rejeki yang halal.”
Pria itu tercenung sejenak, kemudian menyanggupi dengan mantap, “Siap insyaallah, Kiai.”
Singkat kisah, pria ini kemudian menginventarisasi seluruh harta kekayaannya. Jumlahnya miliaran rupiah. Ia sisir betul mana harta yang betul-betul halal, mana yang hasil sikut kanan kiri, mana yang tak jelas. Hingga akhirnya ketemulah jumlah lima juta rupiah harta yang menurutnya betul-betul bersih.
Dengan uang lima juta itulah ia mulai kehidupan yang baru. Ia mulai berwirausaha dari bawah, berbekal keyakinan dan kepatuhan atas dhawuh Mbah Yai Najib. Ia yakin betul bahwa manut dhawuh ulama soleh ada berkahnya sendiri.
Benar saja. Usahanya berkembang. Hidupnya berkecukupan, dan sanggup memondokkan anak-anaknya tanpa kekurangan. Hatinya tenang, keluarganya berkah. Sangkin cintanya kepada Mbah Yai, salah satu anaknya dinamai sesuai nama beliau: Muhammad Najib Abdul Qodir.
Dan ketika kemarin mendengar Mbah Yai wafat, ia yang sudah matang dengan berbagai problema kehidupan itu merengek seperti anak kecil. Sebagaimana kita dan santri-santri lainnya.
Lahul Fatihah.
Kalibening, 19-1-2021 .
Penulis: Zia Ul Haq, santri Kiai Najib Krapyak.
*Demikian kisah Berkah Manut Dawuh Kiai Najib, Kisah Nyata Hidup Bahagia, semoga bermanfaat.