Pertanyaan: Bolehkah Memutar Tangan Saat Takbirotul Ihrom?
Assalamu alaikum Wr. Wb.
Mohon bantuan jawabannya. Masalah takbirotul ihrom. Di daerah saya sering saya temui orang yang saat akan meletakkan tanganya ke perut melakukan gerakan memutar dan ketika saya tanya kenapa engkau melakukan gerakan memutar? Ia menjawab: mendahulukan yang kanan (tayamun). Pertanyaan: Apakah benar mendahulukan anggota yang kanan masuk pada gerakan sholat? kalau ada referensinya mohon disertakan, terimakasih atas jawabannya. Wassalamualaikum.
[Agung Irfani].
Jawaban atas pertanyaan Bolehkah Memutar Tangan Saat Takbirotul Ihrom?
Wa’alaikum salam Wr. Wb.
Saya belum menemukan keterangan ibarat memutar kedua tangan sebelum meletakkannya dibawah dada, dan sependek pengetahuan saya, dalam sholat tidak dikenal istilah tayamun. Berikut kaifiyat yang bisa di temui dalam kitab fiqih:
I’anatuth Tholibin juz 1 hal 134:
(ويجب إسماعه) أي التكبير، (نفسه) إن كان صحيح السمع، ولا عارض من نحو لغط. (كسائر ركن قولي) من الفاتحة والتشهد والسلام. ويعتبر إسماع المندوب القولي لحصول السنة
“Wajib memperdengarkan takbir terhadap dirinya sendiri jika orang tersebut pendengarannya sehat, dan juga tidak ada yang menghalangi seumpama kegaduhan (suara), demikian juga (wajib mengeraskan) pada seluruh rukun-rukun yang bersifat qauliyah (ucapan), semisal Al-Fatihah, Tasyahud dan salam. (hendaknya dibaca keras sekiranya dapat didengar dirinya sendiri) pada bacaan yang dihukmi mandub (sunnah) sepaya bisa mendapatkan kesunnahan (shalat)” [Fathul Mu’in].
Disunnahkan mengangkat kedua telapak tangan pada saat takbiratul Ihram atau salah satunya, jika memang sulit untuk mengangkat keduanya atau ada sebab lainnya dan harus dalam keadaan terbukan – jika tertutup hokumnya makruh-, jari-jari renggang antara satu dengan yang lainnya, tingginya sejajar dengan dua pundak (منكبيه).
Prakteknya sebagai berikut, dijelaskan dalam kitab Fathul Mu’in:
بحيث يحاذي أطراف أصابعه على أذنيه، وإبهاماه شحمتي أذنيه، وراحتاه منكبيه، للاتباع. وهذه الكيفية تسن
“Ujung jari sejajar dengan ujung telinga, ibu jari sejajar dengan putik telinga, dan kedua tapak tangan sejajar dengan kedua pundak, karena Ittiba’ (mengikuti) Rasulullah. Cara seperti inilah yang disunnahkan”.
Dijelaskan dalam Kitab I’anah Thalibin tentang Ittaba’ yang dimaksud pada keterangan diatas, sebagai berikut;
(قوله: للاتباع) دليل لسنية الرفع حذو منكبيه، وهو ما رواه ابن عمر: أنه كان يرفع يديه حذو منكبيه إذا افتتح الصلاة
“(Dan mengenai perkataan “lilittaba’”) dalil untuk kesunnahan mengangkat tangan sejajar pundak, adalah sebagaimana yang diriwayatkan Ibnu Umar; bahwa sesungguhnya Nabi Shalallahu ‘alayhi wa sallam mengangkat tangan sejajar dengan pundak ketika memulai shalat”
Disunnahkan juga meletakkan kedua tangan di bawah dada dan di atas pusat, sebagai bentuk Ittiba’ kepada Nabi, serta pergelangan kiri dipegang oleh tangan kanan. Berikut redaksinya,
(ووضعهما تحت صدره) وفوق سرته، للاتباع. (آخذا بيمينه) كوع (يساره) وردهما
Mengenai “Lil-ittiba’/karena mengikuti (Rasul)” diatas, dijabarkan dalam I’anah Thalibin sebagai berikut;
(قوله: للاتباع) وهو ما رواه ابن خزيمة في صحيحه، عن وائل بن حجر، أنه قال: صليت مع النبي فوضع يده اليمنى على يده اليسرى تحت صدره
“Mengenai (للاتباع) adalah sebagaimana diriwayatkan Ibnu Khuzaimah didalam kitab Shahihnya, dari Wail bin Hajar mengatakan, “aku shalat bersama Nabi, kemudian meletakkan tangan kanan diatas tangan kiri dan dibawah dada”.
Di dalam Nihayatuz Zain, karangan Al-Imam An-Nawawi Ats-Tsaniy, juga dijelaskan hal yang sama;
(ووضعهما) أي الكفين (تحت صدره آخذاً بـيمينه يساره) أي قابضاً كوع يساره بكفه اليمنى ويجعلهما تحت صدره وفوق سرته مائلتين إلى جهة يساره قليلاً، لخبر مسلم عن وائل: «أنه رفع يديه حين دخل في الصلاة ثم وضع يده اليمنى على اليسرى»
“(Disunnahkan) meletakkan kedua tangan dibawah dadanya, tangan kanan memegang tangan kiri yaitu pergelangan tangan kiri dipegang dengan telapak tangan kanan dan diletakkan dibawah dada serta diatas pusat agak condong (geser) kearah (sebelah) kiri sedikit, berdasarkan hadits Imam Muslim dari Wail ; sesungguhnya Nabi memasuki shalat mengangkat tangannya kemudian meletakkan tangan kanannya diatas tangan kiri”
Di dalam Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzab karangan Al-Imam Hujjatul Islam An-Nawawi, 4/114, didalam kitab tersebut dijelaskan ;
واستحباب وضع اليمنى على اليسرى بعد تكبيرة الإحرام ويجعلهما تحت صدره فوق سرته هذا مذهبنا المشهور وبه قال الجمهور وقال أبو حنيفة وسفيان الثوري واسحاق بن راهويه وأبو إسحاق المروزي من أصحابنا يجعلهما تحت سرته وعن علي بن أبي طالب رضي الله عنه روايتان كالمذهبين وعن احمد روايتان كالمذهبين ورواية ثالثة أنه مخير بينهما ولا ترجيح وبهذا قال الأوزاعي وبن المنذر
وعن مالك رحمه الله روايتان أحداهما يضعهما تحت صدره والثانية يرسلهما ولا يضع إحداهما على الأخرى وهذه رواية جمهور أصحابه وهي الأشهر عندهم وهي مذهب الليث بن سعد وعن مالك رحمه الله أيضا
“Disunnahkan meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri setelah takbiratul Ihram dan meletakkan keduanya dibawah dada dan di atas pusat, inilah yang masyhur dari Madzhab kami (madzhab Syafi’iyyah), dan demikian juga Jumhur ulama dan Imam Abu Hanifah, dan Imam Sufyan Ats-Tsauriy, Imam Ishaq bin Rohawaih, Imam Abu Ishaq Al-Marwazi dari kalangan ashab kami (ulama syafi’iiyah) meletakkan keduanya (tangan kanan dan kiri) dibawah pusat, dan dari Ali bin Abi Thalib ada dua riwayat sebagaimana dua pendapat, dan Imam Ahmad ada dua riwayat/pendapat, dan ada riwayat ketiga yang memilih diantara dua keduanya dan tidak melakukan tarjih dan dalam hal ini berkata Imam Auza’iy dan Ibnu Mundzir, dan dari Imam Malik ada dua riwayat/pendapat salah satunya meletakkan keduanya (tangan kiri dan kanan) dibawah dada, dan yang kedua yaitu melepaskan (kebawah) dan tidak meletakkan pada salah satunya, inilah riwayat/pendapat jumhur ulama dalam madzhabnya dan yang masyhur dalam madzhab mereka yaitu madzhab Laits bin Said dan juga dari Imam Malik rahimahullah”.
Begini: secara fiqh seperti itu. kalau secara thoriqoh ya seperti itu, untuk menengahi yang penting usahakan tidak sampai bergerak 3 kali agar tidak disalahkan dengan dianggap tidak sah. dan tentunya diletakkan di bawah pusar, atau antara dada dan pusar, atau di dada di bawah puting kiri itu ada semua. yang penting dihindari terjadinya dianggap batalnya shalat dengan perbuatan itu yakni bergerak berkelanjutan sampai tiga kali.
Wallohu a’lam. Semoga bermanfaat.
[Mujawib: Ical Rizaldysantrialit, Penawar Rinduku].
Sumber Baca Disini
Silahkan baca juga artikel terkait.