F0010. BENARKAH KITA TIDAK BOLEH BERAMAL DENGAN HADIST DHOIF

BENARKAH KITA TIDAK BOLEH BERAMAL DENGAN HADIST DHOIF
Hadits dha‘if, menurut golongan tertentu ,di anggap sesuatu yang remeh dan bahkan dianggap serta disamakan dengn Hadis palsu, sehingga ketika seseorang menyampaikan dan menggunakan hadits dha‘if dalam membuat dalil, maka mereka akan cepat-cepat tertawa dan menolaknya. 
Hal tersebut muncul karena sikap fanatik, minimnya pengetahuan serta di kuasai nafsu syahwat tampil menyelisih, lantaran menolak hadits dhaif secara mutlak adalah sangat bertentangan dengan apa yang telah digariskan oleh ulama-ulama Islam (ijma’) bahwa hadits dha‘if boleh diamalkan dalam hal fadha’ilul ‘amal (keutamaan-keutamaan amal), mau‘idzah (nasehat) dan lain-lain. Selain itu, juga bertentangan dengan ketetapan madzhab 4, karena Imam Abu Hanifah, Ahmad bin Hanbal, Malik bin Anas menerima hadits mursal (salah satu jenis hadits dha‘if) dan menerimanya dalam membuat hujjah secara mutlak tanpa syarat. Sedangkan menurut asy-Syafi‘i hadits mursal juga boleh dijadikan hujjah jika ada hadits mursal lain atau hadits musnad yang sama dengan isi matannya. 
Klasifikasi hadits dapat dibagi menjadi 2:
1. Maqbul, (diterima ) yaitu hadits shahih dan hasan; baik shahih li dzatih (asli shahih) atau shahih li ghairih (hadits yang semula hasan kemudian terangkat derajatnya menjadi shahih karena ada penguat baik berupa syahid atau mutabi‘), hasan li dzatih (asli hasan) atau hasan li ghairih (hadits yang semula dha‘if kemudian terangkat derajatnya menjadi hasan karena adanya penguat baik berupa syahid atau mutabi‘). Dan hadits-hadits tersebut mutlak boleh dibuat dalil atau hujjah tanpa ada khilaf.
2. Mardud (ditolak) yaitu hadits-hadits dha‘if termasuk hadits mursal.
Sedangkan dalam sisi mengambil hujjah dari hadits dha‘if, ulama masih berselisih pendapat:
1. Tidak bisa diamalkan mutlak. Pendapat ini disampaikan oleh al-Hafizh Ibnul ‘Arabi dan kemudian diikuti al-Albani dan pengikut-pengikutnya.
2. Bisa diamalkan mutlak, pendapat sebagian kecil ulama .
Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan: “Boleh mengamalkan hadits dha‘if jika dalam satu masalah tidak ada hadits lain dan tidak ada hadits yang menentangnya.” Pendapat ini juga disetujui Abu Dawud. Lihat Madza fi Sya‘ban hlm. 77 dan Hasyiyah al-Fath al-Mubin Ibni Hajar karya Hasan bin Ali hlm. 95. 
3. Di-tafshil, jika berkaitan dengan akidah, tafsir dan hukum (halal atau haram), maka tidak boleh , kecuali hadits dha’if tersebut diterima para ulama (baik dalam fatwa dan pengamalan) , maka diperbolehkan mengambil hujjah dari hadits dha’if tersebut.
An-Nawawi dalam al-Adzkar mengatakan: “Kecuali untuk berhati-hati seperti ketika ada hadits dha‘if yang berbicara tentang makruhnya jual beli atau nikah, maka dianjurkan untuk menghindarinya meski tidak wajib. Lihat al-Adzkar hlm. 8.
Seperti hadits ”Setiap hutang yang menarik manfaat adalah riba”. Hadits ini dinilai mayoritas ulama (selain al-Ghazali dan Imam al-Haramain) adalah hadits dha‘if dan semestinya tidak boleh dibuat hujjah dalam hal keharaman hutang yang menerik keuntungan. Namun, karena adanya ma‘na (pendapat) yang sama dari shahabat, maka hadits ini dapat dibuat hujjah. Lihat I‘anah ath-Thalibin 3/65. 
dan Jika berkaitan dengan fadha’ilul ’amal (keutamaan-keutamaan amal), manaqib (cerita), targhib dan tarhib (untuk motifasi menggembirakan atau menakut-nakuti dalam amal) dan mau’izhah (nasehat), maka menurut mayoritas ulama (Ahlussunnah wal Jama’ah) boleh diamalkan bahkan sunnah dengan syarat-syarat:
1. Tidak dha‘if sekali
2. Niat berhati-hati dalam mengamalkan
3. Masuk kaidah secara umum yang bisa diamalkan .
(Lihat al-Adzkar an-Nawawi hlm. 7-8 dan al-Fath al-Mubin dan hasyiyah Hasan bin Ali al-Muddabighi hlm. 95)
Sedangkan hadits yang dha‘if sekali jika mempunyai banyak riwayat dan saling menguatkan antara satu dengan yang lain juga bisa dibuat hujjah (dalam fadha’ilul ‘amal), begitu menurut al-‘Allamah ar-Ramli .
( Lihat dalam Madza fi Sya’ban karya Sayyid Muhammad hlm. 79.)
Ibnu Shalah mengutip dari al-Hafizh Ibnul ‘Arabi al-Maliki, bahwa tidak boleh mengamalkan hadits dha‘if secara mutlak (baik dalam hukum halal-haram maupun fadha’ilul ‘amal). Namun, pendapat tersebut ditolak ulama lain, di antaranya adalah Sayyid Alawi al-Maliki. Beliau mengatakan: “Mengherankan sekali pendapat yang dinyatakan oleh al-Hafizh Ibnul ‘Arabi tersebut, karena sesungguhnya mengamalkan hadits dha‘if adalah untuk memperoleh keutamaan dengan adanya tanda dha‘if dan tanpa menimbulkan mafsadah (kerusakan). Lagi pula, mungkin maksud dari Ibnul ‘Arabi tersebut adalah hadits yang sangat dha‘if sehingga dianggap gugur dari derajat untuk dibuat hujjah atau sekadar I‘tibar sekalipun.” 
( Pendapat Sayyid Alawi tersebut ditulis dalam kitab al-Manhal Lathif fi Ahkam al-Hadits adh-Dha‘if dan dinukil Sayyid Muhammad dalam Madza fi Sya’ban hlm. 80. Pendapat tersebut dikuatkan oleh Ibnu Hajar al-Haitami dalam mukaddimah al-Fath al-Mubin syarah Arba‘in Nawawiyyah beserta hasyiyah Hasan bin Ali. )
Sayyid Muhammad ‘Alawi mengatakan bahwa mengamalkan hadits dha‘if dalam fadha’ilul ‘amal adalah mujma‘ ‘alaih (konsensus ulama) seperti yang dituturkan an-Nawawi dalam kitab-kitabnya, Ahmad bin Hanbal, Ibnul Mubarak, Sufyan at-Tsauri, Sufyan bin ‘Uyainah, al-Anbari dan lain-lain . Keterangan senada, bahwa mengamalkan hadits dha‘if adalah mujma’ ‘alaih, adalah apa yang disampaikan oleh al-Allamah Ibnu Hajar al- Haitami dalam al-Fath al-Mubin dan al-Fatawi al-Kubra bab puasa.
Di antara ulama yang menyetujui boleh mengamalkan hadits dha‘if adalah al-Hafizh al-‘Iraqi, al-Hafizh Ibnu Hajar, Zakariyya al-Anshari, as-Suyuthi, al-Laknawi dan lain-lain . ( Al-Manhal Lathif Ushul al-Hadits asy-Syarif hlm. 52-53.)
Dari keterangan di atas, memilih pendapat pertama berarti menyelisih mayoritas Ahlussunah wal Jama‘ah bahkan ijma’ ulama. Oleh sebab itu, memilih pendapat pertama dan menganggap yang paling benar (artinya pendapat yang kedua dan ketiga adalah salah) seperti yang dipilih ulama-ulama Wahhabi -Nashiruddin al-Albani dan sefaham dengannya- adalah bentuk ketidakjujuran dalam memilih pendapat ulama. Apalagi jika sampai melakukan penghinaan atau menilai jahil (bodoh) orang-orang yang tidak sependapat dengan dirinya, yakni memilih pendapat mayoritas ulama (pendapat ketiga). Karena hal itu semakin menunjukkan ekstrimisme dalam menjalankan syariat Allah dan semakin jauh dari perilaku yang diajarkan oleh Rasulallah dan shahabat-shahabatnya. So berdalil dengn Hadist Dho`if sesuai dengn syrat2 diatas jelas jelas sependapat dengna mayoritas Ulama….kenapa mesti minder?

Pos terkait