Oleh Mbah Jenggot
Salah satu metode meruntuhkan ajaran Islam yang paling kuno dan sudah jadi langganan orang kafir adalah menghembuskan keragu-raguan kepada keshahihan hadits-hadits Nabawi. Tasykik (menyusupkan keragu-raguan) model ini sebenarnya metode klasik yang sering dilancarkan para orientalis zaman dulu. Triknya pun sebenarnya terbilang ketinggalan zaman alias sudah out of date. Meski demikian, bila ditembakkan kepada kalangan awam yang gagap dengan esensi ajaran Islam, ternyata jurus ini terkadang masih ampuh juga.
Yang jelas bukan karena keampuhan jurusnya, tetapi memang dasarnya pertahanan fikrah umat Islam ini terlalu lemah dan rentan terhadap berbagai serangan, bahkan yang paling lemah sekalipun. Sehingga hanya sekali gebrak saja sudah jatuh bertekuk lutut.
Padahal bila kita sedikit saja punya latar belakang pemahaman ilmu hadits, pastilah kita dengan mudah akan merontokkan semua tuduhan miring tentang keabsahan hadits nabawi. Kami akan sampaikan tiga contoh tuduhan orientalis dan jawaban singkatnya.
1. Tuduhan Bahwa Hadits Tidak Ditulis di Masa Nabi.
Para orientalis seringkali mengatakan bahwa hadits baru ditulis seratus tahun lebih setelah Rasulullah SAW wafat. Sehingga sangat besar kemungkinan terjadinya pemalsuan. Sedangkan di masa Rasulullah SAW hadits itu tidak pernah ditulis. Tuduhan ini pun seringkali mengecoh orang awam untuk membenarkan tasykik.
Padahal para orientalis itu sungguh-sungguh keliru dalam hal ini. Memang benar ada ungkapan Imam Malik yang bisa disalah-pahami, tapi ungkapan Imam Malik yang menyebutkan bahwa orang yang menulis hadits adalah Ibnu Syihab Az-Zuhri (wafat 123 H) sebenarnya terkait dengan penulisan yang bersifat pengumpulan. Maksudnya adalah bahwa Az-Zuhri merupakan orang yang pertama kali mengumpulkan naskah-naskah hadits menjadi satu. Sedangkan penulisan hadits sebenarnya sudah dilakukan di masa Rasulullah SAW masih hidup, meski tidak dilakukan oleh semua shahabat.
Penelitian menunjukkan bahwa di masa Rasulullah SAW masih hidup, tidak kurang ada 52 orang shahabat yang kerjanya menulis dan mencatat hadits-hadits beliau. Sedangkan di kalangan tabi`in ada 247 yang melakukan hal serupa.
2. Teori Projecting Back
Di antara argumen yang dilancarkan oleh para orientalis adalah teori projecting back. Teori ini berkesimpulan bahwa hampir semua hadits itu hanyalah karangan para ahli fiqih yang hidup di abad ke 2 dan ke 3 hijriyah tapi dibuat seolah-olah berasal dari Rasulullah SAW. Salah satu tokohnya adalah Joseph Scacht dalam bukunya “The Origins Of Mohammadan Juresprudence” dan “An Introduction to Islamic Law.” Salah satu ungkapannya adalah ‘Kita tidak akan menemukan satu buah hadits hukum yang berasal dari Nabi yang dapat dipertimbangkan shahih’.
Tentu saja orang awam dan terbelakang dengan ajaran Islam akan terkagum-kagum dengan lontaran semacam ini. Dan dengan mudah akan langsung membenarkannya. Padahal, teori itu mudah sekali dipatahkan. Adalah seorang Dr. Mustafa Al-Azhami, seorang peraih gelar doktor pada Universitas Cambridge di Inggris, yang melakukannya dengan mudah. Beliau mengambil sebuah naskah hadits yang dituduhkannya sebagai karangan ulama saja untuk dijadikan bahan penelitian yang menumbangkan tuduhan keji musuh Islam.
Naskah itu milik As-Suhail bin Abu Shalih (w. 138 H). Ayahnya yaitu Abu Shalih adalah seorang murid Abu Hurairah. Sehingga haditsnya punya runtutan rawi yang jelas dari Suhail dari Ayahnya dari Abu Hurairah dari Rasulullah SAW. Naskah ini mengandung 49 hadits yang setelah diteliti sampai ke generasi ke tiga yaitu generasi Suhail, ternyata jumlah rawinya mencapai 20 sampai 30 orang yang masing-masing berdomisili di beragam penjuru dunia yang berjauhan di masa itu. Sangat mustahil untuk ukuran masa itu mereka berkumpul untuk membuat sebuah hadits palsu sehingga redaksinya bisa mirip persis. Salah satu hadits itu adalah :
‘Bila salah seorang dari kamu bangun dari tidurnya, maka hendaklah dia mencuci tangannya, karena dia tidak tahu semalam tangannya berada di mana’.
Dalam naskah Suhail hadits ini ada pada urutan ke 7 dan pada jenjang pertama (tabaqah ula) diriwayatkan oleh 5 orang shahabat yaitu Abu Hurairah, Ibnu Umar, Jabir, Aisyah dan Ali ra. Abu Hurairah sendiri lalu meriwayatkan hadits ini kepada 13 orang tabi`in. Ke-13 orang ini lalu menyebar ke berbagai penjuru dunia. 8 orang tinggal di Madinah, seorang tinggal di Kufah, 2 orang tinggal di Bashrah, seorang tinggal di Yaman dan seorang lagi tinggal di Syam.
Ke-13 tabi`in ini lalu meriwayatkan lagi hadits itu kepada generasi berikutnya Atba`ut-tabi`in dan jumlah mereka menjadi 16 orang. 6 orang tinggal di Madinah, 4 orang di Bashrah, 2 orang di Kufah, 1 orang di Mekkah, 1 orang di Yaman, 1 orang di Khurasan dan 1 orang di Himsh Syam.
Maka amat mustahil ada 16 orang yang domisilinya terpencar-pencar di beragam ujung dunia itu pernah berkumpul bersama pada suatu saat untuk membuat hadits palsu bersama yang redaksinya sama. Atau mustahil pula mereka masing-masing di rumahnya membuat hadits lalu kebetulan semua bisa sama sampai pada tingkat redaksinya. Kalau kejadiannya di masa sekarang ini, mungkin saja bisa dilakukan lewat diskusi di milis atau lewat SMS. Tapi di masa itu untuk menempuh satu kota dengan kota lain dibutuhkan waktu berbulan-bulan dengan naik unta.
Padahal ke 16 orang itu baru dari jalur Abu Hurairah saja. Apabila jumlah rawi itu ditambah dengan yang dari ke 4 shahabat lainnya, maka jumlahnya akan menjadi lebih banyak.
3. Tuduhan Bahwa Hadits Terlalu Banyak
Orang yang awam dengan ilmu hadits pasti dengan mudah akan menganggukkan kepala, manakala mendengar argumen musuh Islam yang mengatakan bahwa secara logika tidak bisa diterima adanya jumlah hadits nabi yang mencapai ratusan ribu. Mereka sering mempertanyakan, “Apakah pekerjaan Nabi itu hanya bicara saja? Pastilah ada banyak sekali hadits palsu.”
Padahal adanya hadits yang mencapai ratusan ribu itu sebenarnya hanya karena cara penghitungannya saja. Rupanya para orientalis itu dan para murid-muridnya memang betul-betul bodoh dengan ilmu hadits. Ternyata mereka tidak tahu bagaimana cara menghitung hadits nabi. Mereka menduga bahwa hadits nabi itu hanya matannya saja.
Padahal dalam ilmu hadits, hadits adalah gabungan antara matan dan sanadnya. Karenanya, bila terdapat matan hadits yang sama namun sanadnya berbeda misalnya 10 jalur sanad, tetap akan dihitung sebagai 10 hadits dan bukan satu hadits saja. Dari sisi ini saja sudah terbukti bahwa mereka yang melontarkan tuduhan sebenarnya tidak tahu duduk persoalannya.
Sayang sekali umat Islam tercinta ini ternyata terlalu percaya dengan nama-nama besar orientalis, padahal sikap dan cara mereka mempertanyakan sesuatu sudah mencerminkan bahwa mereka justru sama sekali tidak kompeten untuk bicara masalah hadits. Silahkan belajar saja terlebih dahulu ilmu hadits kepada para ulama, baru kalau sudah punya ilmu sedikit-sedikit dan ada yang masih kurang jelas, silahkan ditanyakan. Sedangkan lancang melemparkan kritik tanpa pernah paham ilmunya, justru mempermalukan diri sendiri. Kita sungguh ikut merasa kasihan dan berduka cita atas kejadian seperti ini.
4. Pesan Buat Para Pengingkar Hadits ( Inkarus Sunnah )
Maka para pengingkar hadits dari kalangan muslimin sebenarnya perlu membuka mata untuk tahu dari manakah sebenarnya pemikiran keliru itu mereka lahap. Tidak lain dari para orientalis yang sejak awal sudah punya niat tidak baik terhadap Islam. Seharusnya mereka perlu sedikit lebih mawas diri untuk belajar dan memperdalam ilmu agama secara benar, agar tidak terlalu mudah terlena dengan bujuk rayu musuh Islam. Sayangnya kebanyakan mereka justru terlalu awam dengan ajaran Islam, ditambah terlalu mudah terpesona dengan apa yang lahir dari mulut musuh-musuh Islam. Seolah-olah barat itu sumber kebenaran satu-satunya. Padahal justru barat-lah yang banyak berhutang ilmu pengetahuan kepada dunia Islam.
Terus terang, metodologi penulisan hadits yang ada di dunia Islam ini hanya ada satu-satunya di dunia, bahkan sepanjang sejarah peradaban manusia. Seharusnya, barat itu datang baik-baik untuk melihat dan mengagumi buah karya anak manusia. Ilmu penulisan hadits dengan segala keistimewaannya yang kita warisi ini tidak akan pernah lagi tercipta di muka bumi. Seharusnya, Imam Al-Bukhari, Imam Muslim dan para muhaddits lainnya mendapat pulitzer atau nobel untuk karya mereka. Bahkan mungkin semua jenis penghargaan atas karya cipta yang pernah ada di atas lembaran kerak bumi ini tidak pernah bisa sebanding dengan apa yang telah mereka lakukan.
Cabang ilmu ini telah berdiri tegak dengan gagahnya lebih dari seribu tahun lamanya. Setiap kali ada orang datang mencelanya atau menafikannya, setiap kali punya ilmu ini membuktikan keagungannya.