Kisah Tuan Guru Tretetet Sang Wali Tanpa Pondok Pesantren
Nama beliau adalah Tuan Guru Haji Ahmad, tapi beliau lebih familiar dengan nama “Tuan Guru Tretetet”. Gelar “Tretetet” itu konon disematkan padanya karena beliau gemar tertawa, dan suara tawa beliau serupa itu. Beliau adalah seorang waliyullah, Kekasih Allah, Murobbi Mursyid tanpa murid, Tuan Guru tanpa pesantren.
Tuan Guru Tretetet adalah pejalan kaki, kerap melintasi desa-desa, se-Pulau Lombok. Setiap beliau melewati suatu desa, pekerjaan beliau ada tiga : (1) mendidik masyarakat lewat obrolan santai, (2) menyapa anak-anak kecil dan mendoakan mereka, (3) meminta sedekah pada orang-orang kaya untuk disalurkan pada kaum papa.
Tuan Guru Tretetet dikenal dengan reputasinya membuat rumah-rumah orang kaya terbakar. Orang kaya medit maksudnya, yakni mereka yang menolak menyerahkan sedekah yang dimintai Tuan Guru Tretetet untuk disalurkan pada kaum papa. Tapi bukan beliau yang membakarnya, rumah mereka terbakar sendiri.
Beliau tidak pernah butuh uang, Beliau sudah selesai dengan dunia. Tapi di saku jubahnya seperti selalu ada uang. Bila ada yang datang mengeluhkan hutang, beliau akan merogoh saku dan mengeluarkan uang sejumlah persis yang dibutuhkan orang yang berhutang. Tapi kita tidak bisa mengarang kesusahan didepan beliau, sebab beliau tau.
“Kutebaraq siq Neneq (saya diberitahu Allah)”, katanya.
Saking dekatnya Tuan Guru Tretetet dengan Allah, ada hadits qudsi yang berlaku untuk beliau : “Barangsiapa yang Ku pilih sebagai kekasih, maka Aku menjadi mata baginya untuk melihat, dan kaki baginya untuk melangkah, dst”.
Banyak saksi yang melihat beliau berada di suatu kabupaten dan dalam tempo yang tidak logis berpindah ke kabupaten lain. Bagi beliau, tidak ada yang jauh di bumi Allah, jarak dilipatkan Allah untuknya. Beliau sangat yaqin Allah maha pemurah, takkan membiarkannya kesusahan. Tentu, itu jenis keyaqinan yang bukan cuma di lidah.
Ketika beliau meninggal, banyak beras diantar kerumah beliau. Warga terhenyak karena di tiap butir beras terdapat ukiran asma Allah. Bahkan butir beras hormat pada beliau. Sebab, jangankan makan, apapun yang beliau lakukan nama Allah turut serta. Berdiri, “Allah”. Berjalan, “Allah” . Tidak ada yang tidak Allah. Semuanya Allah.
Ada kisah paling legendaris tentang Tuan Guru Tretetet. Tersebutlah seorang buruh tani asal Dasan Geres, Lombok Timur. Ia ingin sekali melihat menemui ka’bah. Majikannya sendiri (asal Pohgading) akan berangkat haji lagi tahun ini. Dengan penghasilan sebagai buruh, mungkin seratus tahun lagi ia bisa pergi haji. Tapi suatu hari, tanpa sengaja ia bertemu Tuan Guru Tretetet di jalan. Tiba-tiba Tuan Guru berseru dan menunjuk mukanya : “Haji kamu, haji. Allah”. Si buruh ternganga. Tapi Tuan Guru bahkan memintanya roah (selamatan). Dalam keadaan ragu luar biasa, ia memberitahu istri dan timbullah kepanikan. Bagaimana mau roah (selamatan), kalau untuk makan besok siang saja tidak ada ?? Tapi mereka memutuskan untuk tetap mengundang keluarga dan tetangga, sambil menahan malu. Esok paginya, Tuan Guru datang bersama beberapa orang yang membawa sapi, beras, dll.
“Gorok sapi ini, gorok. Haji kamu. Allah”, kemudian beliau pergi.
Si buruh mengundang lebih banyak orang lagi. Berbilang waktu setelah majikannya berangkat ke Mekkah, si buruh masih di desa. Gunjingan sudah menyebar, menertawainya, menyebutnya mulai sakit jiwa karena terobsesi naik haji tapi tidak sadar diri sebagai orang miskin. Tapi saat putus asa hampir menguasai sepenuhnya, Tuan Guru muncul dimuka rumahnya dan memenuhi janji.
“Berangkat kamu. Allah”.
Si buruh tidak lantas gembira karena oleh Tuan Guru ia malah dibawa ke kebun singkong. Si buruh pasrah, terutama ketika Tuan Guru menyuruhnya tidur di gubuk. Si buruh memejamkan mata, patuh dan tidur. Ketika terjaga, entah bagaimana ia sudah berada di Kota Suci Mekkah. Si buruh melongo. Untuk memastikan dirinya tidak bermimpi, si buruh meminta izin Tuan Guru untuk mencari majikannya. Tuan Guru Tretetet menunjukkan tempat majikannya, tapi ia sendiri enggan diketahui. Si buruh diminta untuk menjaga rahasia keberadaan Tuan Guru. Si Buruh menyanggupi.
Ketika disambangi buruhnya yang lapuk, giliran si majikan yang melongo. “Kamu ni ??”.
“Inggih Bapak”.
“Tetu kamu ni (ini betulan kamu) ??”.
“Tetungku Bapak (betul, bapak)”.
“Sai kancem (kamu sama siapa) ??”.
“Ndeqku kanggo becerite (saya ndak boleh cerita)”.
Sebanyak tiga kali si buruh menemui majikannya. Ia sempat pula pamit pada si majikan setelah lunas seluruh proses haji. Si buruh pulang dengan proses yang sama, yakni tidur dan tiba-tiba sudah di kebun singkong saja. Tuan Guru Tretetet berseru riang ketika ia terbangun : “Sekarang namamu Muhammad Soleh, Terima hajimu, Mabrur, Allah”.
Lantas, Muhammad Soleh diminta memakai jubah. Seumur-umur tidak pernah ia berjubah. Ketika pulang ke kampung, tetangga menertawainya. Semakin menjadi-jadilah gunjingan itu. Malu betul dia. Sampai akhirnya, ketika si majikan pulang ke Lombok dan mengadakan tasyakuran, si majikan menuturkan pertemuannya dengan si buruh di Mekkah sebanyak tiga kali. “Hebat, sang walin Neneq kancen lalo (hebat, mungkin dia pergi bersama waliyullah)”.
Gegerlah orang-orang di kampung itu karena pengakuan si majikan tersebar. Di kemudian hari, si buruh bahkan dianggap sebagai waliyullah dan dipertuan-gurukan dengan nama : Tuan Guru Haji Muhammad Soleh.