PERTANYAAN :
Asslamaulaikum. Dumateng Poro Asatidz. Mau bertanya : Hal-hal apa sajakah yang membolehkan seseorang membatalkan sholatnya ? Baik Fardlu maupun Sunnah ? Matur nuwun. [Nur Hupi].
JAWABAN :
Wa’alaikumsalam.
1. MEMUTUS IBADAH
Memutus ibadah wajib setelah masuk didalamnya dengan tanpa adanya MUSAWWIGH (hal yang memperbolehkannya secara syar’i) hukumnya TIDAK DIPERKENANKAN menurut kesepakan ulama fiqh karena memutusnya tanpa alasan berarti mempermainkan kemuliaan suatu ibadah sebagaimana firman Allah “Dan janganlah kalian membatalkan amal-amal kalian” (QS. Muhammad, 33).Sedang memutuskannya disertai MUSAWWIGH (hal yang memperbolehkannya secara syar’i) maka diperbolehkan menurut syariat, maka boleh memutus shalat sebab hendak membunuh ular karena ada perintah membunuhnya, menyelamatkan harta benda yang bernilai baik miliknya sendiri atau orang lain, menolong orang yang mengaduh meminta bantuan, memperingatkan orang yang tidak tahu atau tidur yang hendak dicelakai semacam ular dan tidak memungkinkan baginya hanya peringatan dengan bacaan tasbih.Ibadah PUASA boleh diputuskan demi menyelamatkan orang yang tenggelam, mengkhawatirkan keselamatan diri, atau karena sedeng menyusui.
Sedang memutus ibadah sunah setelah masuk didalamnya maka terdapat perbedaan pendapat diantara para ulama fiqh, kalangan Hanafiyyah dan malikiyyah menilai juga tidak diperbolehkan tanpa adanya udzur seperti halnya ibadah wajib diatas dengan alasan karena meskipun berbentuk sunnah ia juga merupakan ibadah yang wajib disempurnakan saat seseorang tengah menunaikannya dan tidak boleh dibatalkan ditengah jalan.
Kalangan Syafi’iyyah dan Hanabilah berpendapat selain dalam ibadah haji dan umrah boleh memutuskannya berdasarkan hadits “Ibadah sunnah pengendali dirnya (bila berkehendak silahkan diteruskan atau diputuskan)” HR. at-Tirmidzi, namun yang lebih utama adalah menyempurnakannya.Sedang dalam ibadah Haji dan umrah maka wajib disempurnakan meski ibadahnya telah dianggap rusak karena nilai sunnah dalam haji dan umrah seperti nilai fardhunya.
– Al-Mausuuah al-Fiqhiyyah 34/51 :
الكتاب : الموسوعة الفقهية الكويتية ج 34 – الصفحة 51صادر عن : وزارة الأوقاف والشئون الإسلامية – الكويتعدد الأجزاء : 45 جزءاقَطْعُ الْعِبَادَةِ :2 – قَطْعُ الْعِبَادَةِ الْوَاجِبَةِ بَعْدَ الشُّرُوعِ فِيهَا بِلاَ مُسَوِّغٍ شَرْعِيٍّ غَيْرُ جَائِزٍ بِاتِّفَاقِ الْفُقَهَاءِ ، لأَِنَّ قَطْعَهَا بِلاَ مُسَوِّغٍ شَرْعِيٍّ عَبَثٌ يَتَنَافَى مَعَ حُرْمَةِ الْعِبَادَةِ ، وَوَرَدَ النَّهْيُ عَنْ إِفْسَادِ الْعِبَادَةِ ، قَال تَعَالَى : { وَلاَ تُبْطِلُوا أَعْمَالَكُمْ } (1) ، أَمَّا قَطْعُهَا بِمُسَوِّغٍ شَرْعِيٍّ فَمَشْرُوعٌ ، فَتُقْطَعُ الصَّلاَةُ لِقَتْل حَيَّةٍ وَنَحْوِهَا لِلأَْمْرِ بِقَتْلِهَا ، وَخَوْفِ ضَيَاعِ مَالٍ لَهُ قِيمَةٌ لَهُ أَوْ لِغَيْرِهِ ، وَلإِِغَاثَةِ مَلْهُوفٍ ، وَتَنْبِيهِ غَافِلٍ أَوْ نَائِمٍ قَصَدَتْ إِلَيْهِ نَحْوَ حَيَّةٍ ، وَلاَ يُمْكِنُ تَنْبِيهُهُ بِتَسْبِيحٍ ، وَيُقْطَعُ الصَّوْمُ لإِِنْقَاذِ غَرِيقٍ ، وَخَوْفٍ عَلَى نَفْسٍ ، أَوْ رَضِيعٍ (2) .أَمَّا قَطْعُ التَّطَوُّعِ بَعْدَ الشُّرُوعِ فِيهِ فَقَدِ اخْتَلَفَ الْفُقَهَاءُ فِي حُكْمِهِ فَقَال الْحَنَفِيَّةُ وَالْمَالِكِيَّةُ : لاَ يَجُوزُ قَطْعُهُ بَعْدَ الشُّرُوعِ بِلاَ عُذْرٍ كَالْفَرْضِ وَيَجِبُ إِتْمَامُهُ ، لأَِنَّهُ عِبَادَةٌ ، وَيَلْزَمُ بِالشُّرُوعِ فِيهِ ، وَلاَ يَجُوزُ إِبْطَالُهُ ، لأَِنَّهُ عِبَادَةٌ .وَقَال الشَّافِعِيَّةُ وَالْحَنَابِلَةُ : يَجُوزُ قَطْعُ التَّطَوُّعِ ، عَدَا الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ ، لِحَدِيثِ الْمُتَنَفِّل أَمِيرُ نَفْسِهِ (3) وَلَكِنْ يُسْتَحَبُّ إِتْمَامُهُ ، أَمَّا الْحَجُّ وَالْعُمْرَةُ فَيَجِبُ إِتْمَامُهُمَا ، وَإِنْ فَسَدَا إِذَا شَرَعَ فِيهِمَا ، لأَِنَّ نَفْلَهُمَا كَفَرْضِهِمَا ( ر : تَطَوُّعٌ ف 21 ) .__________(1) سورة محمد / 33 .(2) رد المحتار 1 / 440 ، بدائع الصنائع 1 / 281 ، حاشية الدسوقي 1 / 281 ، المغني 2 / 49 ، 249 ، المجموع 4 / 81 وما بعدها 94 – 105 ، 106 وما بعدها .(3) ( 1 ) حديث : ” المتنقل أمير نفسه ” . أخرجه الترمذي ( 3 / 100 ) من حديث أم هانئ بلفظ ” الصائم أمير أو أمين نفسه ” . وأخرجه الحاكم ( 1 / 439 ) وصححه ووافقه الذهبي .
2. HAL YANG KARENANYA DIPUTUSKAN SHALAT
Memutus shalat terkadang wajib karena situasi darurat dan terkadang boleh karena adanya udzur. Memutus shalat wajib karena situasi darurat, diantaranya :
1.Shalat boleh diputus meskipun shalat wajib karena minta tolongnya seseorang yang mengaduh meskipun tidak minta pertolongan pada orang yang tengah shalat, seperti saat ia melihat seseorang jatuh didalam air, diterkam binatang, dianiaya orang dhalim dan ia mampu memberi pertolongan.Menurut Hanafiyyah memutus shalat karena akibat panggilan salah satu dari kedua orang tua bila bukan karena meminta pertolongan (seperti contoh diatas) hukumnya tidak boleh karena memutus shalat tanpa darurat tidak diperbolehkan.
2.Shalat juga boleh diputus bila seorang yang tengah shalat memiliki praduga akan terjatuhnya orang yang buta, anak kecil atau selain mereka berdua dalam semacam sumur atau lainnya, seperti bolehnya memutus shalat saat melihat akan terlalap dan terbakarnya harta benda oleh kobaran api, diserngnya kambing oleh anjing hutan, karena didalamnya terdapat unsure menyelamatkan jiwa dan harta benda dan masih memungkinkannya menjalankan shalat setelah memutusnya sebab “Hak-hak Allah dibangun berdasarkan kemurahan”
Hal-hal yang dianggap udzur yang membolehkan seseorang memutus shalat meskipun shalat wajib:
1.Pencurian harta benda meski pun milik orang lain bila harta yang dicuri bernilai satu dirham keatas.
2.Kekhawatiran seorang ibu akan anaknya, hangusnya masakan, membludaknya panci masakan.Seorang dukun bayi bila mengkhawatirkan matinya atau cacatnya anak yang hendak dilahirkan atau cacatnya ibu yang sedang melahirkan maka ia wajib mengakhirkan shalatnya atau memutuskannya saat sedang menjalaninya.
3.Kekhawatiran musafir dari seorang pencuri atau begal.
4.Membunuh binatang buas bila membutuhkan perbuatan banyak saat membunuhnya.
5.Menembalikan hewan tunggangan yang lepas.
6.Menahan dua hal yang menjijikkan (yang keluar dari qubul dan dubur) meskipun akan hilang darinya berjamaah.
7.Panggilan salah seorang dari kedua orang tua dalam shalat sunnah, yang mereka tidak mengetahui bahwa ia tengah shalat, sedang dalam shalat wajib maka tidak boleh menjawabnya kecuali dalam keadaan darurat, hal ni menjadi kesepakatan ulama (keterangan dari kitab Muraaqi al-falaah hal 60, kitab hanafiyyah). [ Al-Fiqh al-Islaam II/220 ]. Wallahu a’lam bis showaab. [Masaji Antoro].
– Al-Fiqh al-Islaam II/220 :
الكتاب : الفِقْهُ الإسلاميُّ وأدلَّتُهُ ج 2 – الصفحة 220الشَّامل للأدلّة الشَّرعيَّة والآراء المذهبيَّة وأهمّ النَّظريَّات الفقهيَّة وتحقيق الأحاديث النَّبويَّة وتخريجهاثالثاً ـ ما تقطع الصلاة لأجله:قد يجب قطع الصلاة لضرورة، وقد يباح لعذر (2) .أما ما يجب قطع الصلاة له لضرورة فهو ما يأتي:1ً – تقطع الصلاة ولو فرضاً باستغاثة شخص ملهوف، ولو لم يستغث بالمصلي بعينه، كما لو شاهد إنساناً وقع في الماء، أو صال عليه حيوان، أو اعتدى عليه ظالم، وهو قادر على إغاثته.ولا يجب عند الحنفية قطع الصلاة بنداء أحد الأبوين من غير استغاثة؛ لأن قطع الصلاة لا يجوز إلا لضرورة.2ً – وتقطع الصلاة أيضاً إذا غلب على ظن المصلي خوف تردي أعمى، أو صغير أو غيرهما في بئر ونحوه. كما تقطع الصلاة خوف اندلاع النار واحتراق المتاع ومهاجمة الذئب الغنم؛ لما في ذلك من إحياء النفس أوالمال، وإمكان تدارك الصلاة بعد قطعها، لأن أداء حق الله تعالى مبني على المسامحة.وأما ما يجوز قطع الصلاة له ولو فرضاً لعذر فهو ما يأتي:1ً – سرقة المتاع، ولو كان المسروق لغيره، إذا كان المسروق يساوي درهماً فأكثر.2ً – خوف المرأة على ولدها، أو خوف فوران القدر، أواحتراق الطعام على النار. ولو خافت القابلة (الداية) موت الولد أو تلف عضو منه، أو تلف أمه بتركها، وجب عليها تأخير الصلاة عن وقتها، وقطعها لو كانت فيها.3ً – مخافة المسافر من اللصوص أو قطاع الطرق.4ً – قتل الحيوان المؤذي إذا احتاج قتله إلى عمل كثير.5ً – رد الدابة إذا شردت.6ً – مدافعة الأخبثين (البول والغائط) وإن فاتته الجماعة.7ً – نداء أحد الأبوين في صلاة النافلة، وهولا يعلم أنه في الصلاة، أما في الفريضة فلا يجيبه إلا للضرر، وهذا متفق عليه.(2) مراقي الفلاح: ص60.