Mbah Kyai Kami, KH R Najib Abdul Qodir Munawwir Krapyak
Tahun 2012 adalah terakhir kali aku ikut rihlah Madrasah Huffazh Al-Munawwir Krapyak. Yakni program dwitahun berupa ziarah dan silaturahim para santri bersama Mbah Yai Najib. Tahun itu rihlah kami ke ‘barat’, menyusur Cirebon, Jakarta, hingga Banten.
Salah satu destinasi ziarah di Jakarta adalah makam Habib Husein bin Abubakar Alaydrus di kampung nelayan Luar Batang, Jakarta Utara. Dulu, selama dua tahun merantau di Jakarta, aku beberapa kali ziarah ke situ. Maka saat rihlah pun aku dipercaya Mbah Yai menjadi penunjuk jalan.
“Kang Dhiya, kene ning arep,” titah beliau. Maka akupun berjalan di depan bersama beliau, almarhum Romo Kiai Abdul Hafizh, Gus Mas’udi, dan Ibu Nyai.
Setelah berjalan beberapa ratus meter dari parkiran, kami sampai di lokasi makam. Betul-betul nostalgia rasanya. Terakhir kali aku ziarah ke sini bersama seorang kawan asal Tegal, Husein al-Haddad, yang cuma berdiri mematung di depan makam sebentar, lalu pulang. Juga bersama kawan STAN, Sya’nu Yughni, yang ziarah justru bawa dan baca kitab untuk tabarrukan.
Sampai di pelataran masjid, teman-teman mulai cari toilet untuk buang air dan wudhu. Tak terkecuali aku. Sengaja kupersilakan teman-teman mendahului, biar aku dapat antrian paling akhir.
Setengah jam kemudian, setelah semua teman habis, aku ambil wudhu. Tak apalah kalau ketinggalan tahlil rombongan. Baru saja kubuka keran, Kang Rahmat memanggil-manggilku, “Plek! Koplek (panggilanku saat di pondok)! Ndang cepet o! Wis dinteni Pak Yai!”
Makdeg! Ditunggu Pak Yai? Lha ngapain? Kukira tahlilan sudah dimulai sejak tadi, ternyata belum. Akupun bergegas wudhu lalu masuk area makam. Kulihat teman-teman menatapku heran. Akupun tak kalah heran. Mungkin Mbah Yai menghendaki para santri penuh dahulu baru mau mulai tahlil.
Kutuju lokasi duduk Mbah Yai yang bersimpuh pas di samping cungkup makam. Aku duduk di samping beliau dan bertanya,
“Dalem, Yai..”
“Asmane habib sopo, Kang?”
Deg! Jadi beliau belum memulai tahlilan hanya untuk menanyakan nama wali yang kami ziarahi ini. Padahal pas di cungkup makam itu ada plakat nama sang wali, Habib Husein Alaydrus, beserta sahabat kinasihnya, Haji Abdul Qadir. Beliau juga bisa tanyakan ke orang-orang sekitar, atau kepada penjaga makam. Beliau semata-mata bertanya padaku untuk menghargai ‘si penunjuk jalan’ ini.
“Habib Husein bin Abubakar Alaydrus, Yai,” jawabku mantap.
“Oh iya. Lungguh kene wae,” sahut beliau dan tahlilpun dimulai.
Ketika sampai di Banten, kami ziarah ke makam Maulana Yusuf. Di lokasi ini, seusai ziarah, kami istirahat cukup lama karena sudah sangat lelah. Teman-teman santri berpencar entah dimana. Akupun tak tahu Mbah Yai rehat dimana. Lokasinya sangat ramai saat itu, banyak rombongan lain dari berbagai daerah yang hendak ziarah.
Akupun sempatkan diri jalan-jalan mengitari lokasi. Melihat-lihat dagangan oleh-oleh khas Banten, icip-icip jajanan, hingga bakul golok yang menggelar dagangannya di emper musola. Saat melihat-lihat golok itulah kurasa ada yang aneh. Di dekat lokasi itu ada pria yang rebah lesehan, berkaos oblong, tanpa alas dan jelas sangat kukenal.
“Lha, itu Mbah Yai!” bentakku dalam hati. Di samping beliau rebah, ada Bu Nyai yang duduk sambil sesekali mengipas-ngipasi beliau. Sementara di sekitar beliau berdua ramai peziarah lain yang sama-sama sedang selonjoran istirahat.
Sebagai santri, aku takkan bisa melihat fenomena itu sebagai hal yang biasa saja. Aku juga tak bisa memandang kiaku sebagai ‘orang biasa’. Sosok sepuh penjaga Quran, ulama qiraah sab’ah, pengasuh salah satu pesantren tua di tanah Jawa, rebah lesehan tanpa alas berbaur di keramaian.
Akupun clingak-clinguk mencari teman santri lain, tak ada. Spontan, kulari ke bis mencari bantal, alas, tikar, kasur gelar, apapun yang bisa kuambil. Sampai di bis, semua perangkat tidur sudah dikuasai teman-teman. Berkali-kali coba kubangunkan, susahnya minta ampun.
Mbah Yai tidak banyak berceramah, beliau jarang dhawuh (berupa nasehat keagamaan) selain dalam forum resmi semisal syawalan. Kami sebagai santri lebih kerap menyerap ajaran-ajaran beliau melalui laku dan teladan. Ya, sekedar menyerap, sama sekali belum seujung kukupun bisa mengamalkan.
Kalibening, 6/12/2018
Demikian Mbah Kyai Kami, KH R Najib Abdul Qodir Munawwir Krapyak. Semoga bermanfaat.
Penulis: Zia Ul Haq, Alumni Madrasah Huffadz Pesantren Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta
Editor: Mas Ahmad